Senin, 09 Juni 2014

MENDEBAT DEBAT CAPRES

MENDEBAT DEBAT CAPRES

Akhirnya apa yang lama dinanti-nanti terlaksanan juga tadi malam, yaitu debat capres dan cawapres di Balai Sarbini Jakarta. Terlepas dari mencuatnya hal-hal yang substansial dari jawaban-jawaban para kandidat itu terkait tema debat, ada juga masalah-masalah yang mengganggu terkait dengan moderator, pelaksana, format dan durasi debat.

Moderator dalam debat semalam, Zainal Arifin Mochtar, Master Hukum Gama kelahiran Ujung Pandang, terkesan hanya seperti polantas yang mengatur lalu-lintas jalan dan taat azas. Ia hanya tampak galak kalau penonton dan para pendukung bersorak-sorak. Hanya membacakan sejumlah pertanyaan yang telah dibuat oleh KPU para pakar, sehingga ia sendiri sebagai ahli Hukum Tata Negara menghilang. Mungkin sudah begitu KPU mengaturnya, tapi paling tidak Daeng Mochtar mestinya diberi kebebasan untuk mempertajam masalah dan menegur kandidat yang jawabannya melenceng dan mengawang-awang. Misalnya menanyakan apa maksud kandidat dengan kata-kata atau frasa tertentu yang dilontarkan, misalnya ketika Prabowo mengatakan ‘ Demokrasi Wani Piro’ Karena tidak semua audiens mengerti itu, terutama yang bukan etnis Jawa. Debat capres semalam mestinya juga dianggap sebagai pendidikan politik, disamping sebagai ajang untuk mengetahui struktur dan cara berpikir para kandidat dalam memandang aneka permasalahan bangsa.

Hak siar untuk televisi seharusnya tidak perlu ada, karena debat capres adalah hajat negara yang pasti akan diliput oleh semua station televisi. Akibatnya, SCTV yang semalam mendapat hak siar itu tetap memamfaatkannya untuk menggaet pengiklan sebanyak-banyaknya. Mestinya SCTV mengikuti jadwal dan aturan KPU sebagai wakil negara, bukan sebaliknya, sehingga komersial break yang banyak tidak perlu. Itu bisa dilakukan di awal atau di akhir acara. Setahu saja debat capres di Amrik atau di UK, atau mungkin di banyak negara, tidak pernah diganggu oleh iklan walau hanya sebiji.

Terkait format debat, mungkin diperlukan seorang atau lebih panelis untuk lebih mempertajam dan menggali masalah sehingga publik bisa mengetahui secara detail apa sebenarnya yang nanti akan dilakukan oleh para kandidat terkait isu-isu korupsi, diskriminasi, tidak hanya memberi pandangan yang sangat umum dan abstrak. Panelis bisa mendalami apa sebenarnya sikap para kanddat terhadap kebinekaan dan bagaimana nanti mengatasi bila timbul intoleransi, fanatisme ras, agama dan golongan, bahkan insurgensi. Dengan hanya seorang moderator yang tampak kikuk dan terlalu berhati-hati di antara para capres dan cawapres, hal-hal penting yang sebenarnya ingin diketahui oleh seluruh rakyat Indonesia, tidak mungkin muncul, apalagi bila kesempatan menjawab hanya begitu singkat, antara tiga sampai enam menit.

Sebagai pejabat publik, kendati pada level tertinggi, mestinya para calon diberi alokasi waktu maksimal untuk menyatakan dirinya dan apa yang akan diperbuatnya kelak jika jadi presiden dan wakilnya. Dengan begitu kita akan tahu, seberapa jauh dan dalam pemikirannya, seberapa mantap ia menguasai masalah pada dataran konsepsi, implementasi dan eksekusi nanti. Dengan waktu yang terbatas, kita tidak akan tahu apa filosofi dasar, apa nilai-nilai yang dianut dan setinggi apa empatinya pada rakyat. Dan dalam berdebat juga jangan terkesan diburu-buru waktu, sehingga yang tampil adalah retorika atau semacam persuasi para pengiklan. Kalau begini kata-kata yang muncul jadi mirip mantra atau pusi yang diusahakan singkat tapi padat. Masa memberi pertanyaan kepada para capres dan cawapres kayak pertanyaan kepada finalis Miss atau Putri Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar