Pada akhir musim barat dan awal musim timur, orang Mandar akan berlayar mencari telur ikan terbang ( Cypcilurus ) dengan menghanyutkan “ buaro” atau bubu dari tubuh perahu secepat kilat, Sandeq di perairan yang diyakini banyak ikan terbangnya karena punya salinitas yang tinggi . Para potangnga dan pattalloq akan mengawali semua itu dengan ritual ‘ makkuliwa’ di darat sebelum melaut. Tujuannya untuk menyatakan rasa syukur, berdoa untuk keselamatan, memohon perlindungan, kelimpahan rezeki serta sebagai peneguhan hati. Saat itu para panrita, ustadz, atau ulama akan ma’barazanji. Makkuliwa artinya menyeimbangkan tatanan kehidupan di darat dan di laut. Orang Mandar meyakini jika ritual adat dan keagamaan tidak dilaksanakan, maka dikhawatirkan akan terjadi sesuatu yang membahayakan atau bala selama pelayaran. Bahkan setelah melautpun para potanngnga harus memperhatikan berbagai pantangan atau pamali, juga bagi keluarga di darat yang ditinggalkan.
Berbagai kepercayaan tradisional dalam rangka kehidupan, termasuk budaya Mandar di atas, oleh orang modern akan dianggap sebagai absurd dan tak rasional. Terkait dengan keyakinan agama atau spiritual, orang modern yang merupakan anak peradaban renesans atau aufklarung telah membuangnya sejak dulu dan menganggapnya sebagai penghanbat dan perintang kemajuan orang perorang dan masyarakat. Mereka memuja akal atau ratio, mereka memotong ikatan tradisional, dan maju keabad-abad pencerahan dengan mengandalkan otak, materalisme dan sekularisme. Banyak memang yang telah dimenangkan atas perang melawan tatanan lama yang dianggap kuno dan penuh takhyul. Reformasi melahirkan protestan, revolusi industry melahirkan para kapitalis serakah, dan revolusi Perancis melambungkan demokrasi liberal dan demokrasi rakyat.
Namun apa lacur, semua euporia modernisme, humanisme dan antroposentrime yang telah berlangsung lama beserta mitos-mitosnya itu, sontak kaget, terpaku dan sadar diri, ketika atas nama rasio dan materi orang saling bunuh secara massal dan mendunia pada perang dunia satu dan dua. Rasa sesal dan kekecewaan itu memuncak seiring dengan jatuhnya bom atom di Nagasaki dan Hiroshima Jepang. Diyakini bahwa Jutaan orang mati sia-sia itu adalah buah dari pemujaan akal dan dunia yang berlebihan. Ideology dan pandangan hidup tak bermain dibelakang layar, sebab Stalin, Truman dan Churchil bermain mata untuk melaknat Hitler. Mereka diikat oleh rasionalitas dan kepentingan ekonomi yang sama ( lebensraum ). Stalin yang anti Tuhan dan Truman yang percaya Tuhan telah bersatu dalam kerangka rasional untuk menumbangkan Hitler yang dianggap akan menutup-corong-corong pabrik mereka, serta menggasak pundi-pundi emas mereka yang digenggam erat melebihi Tuhan.
Maka rasionalisme yang eksesif dan jadi mesin membunuh itu pun melahirkan antitesanya, berupa gerakan kembali kea lam bawah sadar, spritualisme, dan kerohanian. Para protagonis anti rasio adalah terutama dari kalangan filsuf eksistensialis, fenomenologi, atau pengikut ajaran intuitisme dan elan vital Henry Bergson. Dan semua mengerucut pada diri seorang Herbert Marcuse yang dengan tanpa tedeng aling-aling mengatakan bahwa rasionalitas masyarakat modern merupakan biang keladi segala bentuk penindasan dan perbudakan manusia atas manusia, eksploitasi alam yang berlebihan. Ia telah menjadi mitos baru dan ideology yang melanggengkan segala kemapanan. Menurut Herbert Marcuse, rasionalitas berasal dari pengertian yunani kuno yang berarti ‘ ratio ‘ atau kemampuan kognitif untuk memilah yang benar dan yang salah dari segala sesuatu yang ada ( being ) dan pada segala realitas.
Namun dalam perjalanannya, rasio tak lagi menjadi batu penjuru kebenaran, tapi telah menjadi sarana atau instrument untuk mengejar tujuan-tujuan baik atau buruk. Rasio yang tadinya kritis terhadap mitos dan segala otonomi kekuasaan, akhirnya telah menjadi mitos juga dan mengabdi pada kekuasaan. Manifestasinya tampak pada pertama, pada perluasan bidang-bidang sosial atau cultural yang tersubordinasi oleh pengambilan keputusan yang rasional. Kedua, industrialisasi kerja sosial yang meniscayakan norma-norma instrumentalistik dari rasional menjadi segalanya. Akhirnya segala mitos dan kepercayaan tradisional terpinggirkan dan menjadi cibiran saja. Sekularisasi menerjang segala bidang kehidupan. Tradisi-tradisi dan adat budaya hanya jadi hiasan dan assesori sosial belaka. Semua tak lagi jadi panutan dan arahan hidup cultural, melainkan menjadi sekedar basa-basi dan penghargaan semu pada nenek moyang yang melahirkan dan meyakininya.
Namun upaya radikal untuk menetralisir rasioanalisme oleh Herbert Marcuse beserta rekan-rekannya dari mashab Frankfurt yang diikuti oleh bendera New Left, Flower Generation seperti, John Lennon, Scout Mc Kenzei, atau gerakan Rastafarian ala Bob Marley, hanya menjadi pelengkap penderita dalam gejolak dunia yang dikuasai oleh budaya kapitalisme yang merupakan derivasi dari budaya rasionalisme. Rasio masih bertengger di puncak peradaban manusia dan susah untuk ditumbangkan meski korban-korbannya terus berjatuhan. Malahan seorang filsuf mashab Frankfurt, Jurgen Habermas telah menyempal dari mainstream pemikiran anti ratio itu, dan justru berkeinginan menjadikan rasionalitas sebagai pemicu kemajuan dan evolusi sosial dengan kredonya ‘’ Perbincangan rasional dalam komunikasi tanpa dominasi “
Sebagai epilog saya ingin bertanya secara jujur, berapa persenkah sekarang orang Mandar yang masih menjadi pemeluk teguh pada yang bernama ritual kulliwa, meuri, macco’bo, mambaca-baca, mellattigi, mappande roppong, mappecaq, massiara kuqbur dll. Pasti banyak yang akan merasa aneh dan asing jika harus mengalami dan mempraktekkan ritual-ritual tradisional tersebut di atas, terutama kalangan anak sekolahan dan generasi muda yang pasti akan berkata, “ hari ginie makkuliwa “ pliis deh!.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar