Persoalan narkoba memang ruwet dan bertali-temali dengan masalah-masalah kemiskinan, tata kota, urbanisasi, ekonomi, sosial, budaya, psikologis, kriminal bahkan dengan politik. Demoralisasi tentara Amerika dalam perang Vietnam, kehancuran mental tentara China boleh dibilang berkelindan dengan apa yang disebut ‘Perang Candu’. Kehancuran pisik dan mental 40 % tentara Amerika di Vietnam karena kegilaan mariyuana adalah salah satu penyebab kekalahan mereka di sana. Narkoba menimbulkan efek-efek aneh yang membuat sang drug abuse menjadi berani, nekat, cuek, tapi sembrono dan kehilangan kesadaran, terutama tentang nilai-nilai agama, moral dan kemanusiaan. Sebagai stimulan dan depressan yang mendepres semua aspek kerohanian yang normal, lalu menimbulkan efek halusinogen, terutama ketika bereskalasi menjadi faktor addiktif atau ketagihan, maka narkoba akan segera menjadi penyebab segala rupa kejahatan. Pembunuhan, perampokan, pencurian, penipuan, pesta sex atau perkosaan.
Narkoba juga menimbulkan rasa senang, gembira, nyaman dan nikmat yang luar biasa, yang menyebabkan orang-orang pada ketagihan untuk menikmati dan menikmatinya lagi sampai mati atau masuk penjara. Jarang pengguna narkoba yang sadar sendiri, kecuali disadarkan secara paksa setelah ketangkap. Dan pada kondisi ketergantungan massal inilah, para bandar serta berbagai mafioso di berbagai belahan dunia berkesempatan meraup keuntungan besar dan kelimpahan di atas tubuh-tubuh narkobais yang pelan tapi pasti, satu demi satu bergelimpangan kemudian sekarat. Mereka menari di atas derita orang. Dan sejatinya kalangan bandar inilah yang perlu diperangi secara sungguh-sungguh dan terencana, sebelum mereka begitu berkuasa dan kokoh seperti di negara-negara AS, Mexico, Afghan atau di wilayah segitiga emas, Asia Tenggara.
Meninggalnya seorang polisi dan satu imforman di Matraman, terlukanya dua polisi masing-masing di Koja, Jakarta-Utara dan Medan, adalah sinyal mulai bangkitnya rasa percaya diri yang besar para bandar dan mafia narkoba. Dan tentu saja harus dipangkas dengan rata oleh aparat, terutama oleh Badan Narkotika Nasional. Sebelum sebagian besar generasi muda hancur pisik, mental, dan moralitasnya. Mereka telah seperti pelaku teroris yang secara berani atau nekat menembaki dan menganiaya petugas kepolisian. Tapi tindakan yang mesti ditempuh bukanlah tindakan balas dendam, melainkan tetap dalam kerangka penegakan hukum preventif, represif, dan justisial yang terukur dan terencana.
Pemahaman sosiologis dan kultur wilayah sasaran dan target juga penting. Daerah matraman atau Berlan, tempak Bripka Taufik gugur dalam rangka operasi narkoba sejak dulu memang rawan dengan yang namanya tawuran, perkelahian, pengeroyokan bahkan pembunuhan. Di sini sejak jaman Belanda telah lahir jagoan-jagoan atau preman yang merajai dan menakutkan Jakarta. Berlan di masa kolonial dan kemerdekaan adalah tangsi atau perumahan tentara aktif atau purnawirawan. Anak-anak kolong di asrama ini sangat rajin tawuran atau berkelahi dengan wilayah tetangganya, atau yang agak jauh sekalipun. Di tahun 70 dan 80 an, anak-anak Berlan, sering berebut hegemoni dengan anak-anak kolong dari asrama Siliwangi di sekitar Lapangan Banteng dulu, yang pentolannya adalah Yapto atau Patrik yang mati terbunuh di Cipinang.
Saya tidak tahu persis apakah kelompok warga yang melakukan pengeroyokan terhadap petugas kemaren adalah anak-anak kolong Berlan atau bukan. Tapi hawanya seperti karakter mereka, atau sepertinya ada pengaruh kenakalan Berlan di sana. Memang pengaruh lingkungan terhadap prilaku kelompok atau individu sangat besar. Dan pertanyaan tentang manakah yang lebih dulu ada antara premanisme dan narkobaisme, adalah sejenis dengan tanya mana yang lebih dulu ‘ telur atau ayam. Jika kemudian ada anak-anak berlan yang jadi bandar narkoba, itu sangat disayangkan. Betapa pun mereka adalah putra-putra purnawirawan yang mestinya mewarisi jiwa nasionalisme orang tua mereka, senakal apapun mereka. Mestinya mereka mengikuti jejak Yapto Suryosumarno yang membidani ormas Pemuda Pancasila. Atau Surya Paloh yang kini jadi ketua umum partai yang cukup berpengaruh.
Salah satu seteru dalam soal delinquensi dengan Berlan di masa lalu adalah anak-anak Tanjung Priok. Di tahun 70 an, bila Jakarta Fair sekarang Pekan Raya Jakarta dimulai, maka secara otomatis anak Koja, Cilincing, atau Warakas akan bersatu dalam label dan yel yel Tanjung Priok...Tanjung Priok mengacau keramaian atau pesta rakyat yang digelar sepanjang Thamrin dan Monas. Anak-anak berandal Tanjung Priok ini jumlahnya sangat banyak, kompak, nekat dan degil, sehingga membuat anak-anak Siliwangi dan Berlan emoh terlibat dengan mereka, mereka di keramaian itu akan menepi. Bahkan pihak keamanan pun jarang bisa mengantisipasi pergerakan mereka, tahu-tahu sudah muncul menguasai jalanan dan menggerayangi gadis-gadis serta makan-minum gratis dengan menjarah para penjaja makanan sepanjang jalur yang mereka lalui. Polisi dan warga biasanya hanya terbengong-bengong melihat dengan melongo aksi-aksi karnavalis dan kannibalis mereka dan hanya mengharap air bah beracun itu cepat berlalu.
Di Tanjung Priok pun ada gang-gang dari asrama tentara Angkatan Laut misalnya, seperti Dayak Bravo yang dulu pentolannya pemuda Mandar, yang adalah om penulis sendiri, Abidin. Tapi mereka tidak berlama-lama berkubang dalam lumpur kenakalan, karena mereka cepat cepat mau selesaikan kuliah lalu bekerja. Kebanyakan preman-preman profesional di Tanjung Priok dulu adalah para perantau dari berbagai etnis yang bersaing mencari sesuap nasi di Jakarta atau di seputar Pelabuhan Tanjung Priok. Yang ditakuti masa itu adalah para Daeng dari Makssar yang memang berani-berani, nekat dan pandai memainkan Badik. Mereka-mereka adalah Dg Nuru, Dg Tinggi, Lauseng, Bugis, Effendi Tallo, dll. Mereka bersaing dengan para Jawara dari Banten dan Madura, Batak, Ambon, Manado dll.
Nah, dari latar sosiologis inilah marak bermunculan para bandar, kurir atau pengguna narkoba. Karena kenekatan dan juga generousnya sementara preman itulah maka para warga tak bisa berbuat apa-apa terhadap segala tindakan asosial apapun yang mereka lakukan. Saya pernah melihat di sebuah gang dekat pelabuhan di wilayah Koja, para warga seperti pasrah, dan malah akrab dengan para pendatang yang berprofesi copet, pencuri, bahkan penjaja dan pengguna narkoba. Tentu saja para kriminil itu akan baik-baik saja di sana dan menjaga citra mereka dan terkesan mau menjadi sinterklas di tengah kemiskinan warga. Dan kalau sudah begini, mana ada yang mau lapor kalau para kriminal atau recidivis ada di sana dan terus melakukan pelanggaran hukum.
Saya pikir situasi dan kondisi seperti itu masih terus berlangsung sampai sekarang. Selama kemiskinan belum terkikis, maka pembauran kemiskinan dan kejahatan masih akan terus berlangsung. Itulah sebabnya penyalah gunaan Narkoba sangat susah diberantas. Kesadaran hukum warga akan susah terbangun di tengah hidup yang senin kamis dan serba berkekurangan. Itulah sebabnya para bandar yang pasti royal kepada warga bisa berani dan nekat melecehkan aparat kepolisian yang mau menangkap mereka. dan itu terjadi di mana-mana di Nusantara ini.
Jalan keluar semua itu bukanlah dengan dengan memperberat hukuman atau menghukum mati. Karena warga miskin yang terlanjur punya kedekatan emosional dengan para pengguna, penjaja, bahkan dengan bandar, mana ada yang mau melapor. Mereka memandang para narkobais dari kaca mata kemanusiaan, sedangkan aparat dari kacamata hukum, mana ketemu. Jika aparat juga masih bersikap arogan dan citranya tetap dekat dengan kekerasan serta suap, alias prilaku prit jigo, maka kaum miskin ini tentu tidak rela jika sinterkelas atau teman sependeritaan mereka dicokot petugas dan pergi untuk tidak kembali. Karena itu berarti juga kehilangan penopang hidup.
Jangan sampai penerapan hukuman berat atau hukuman mati menjadi terkesan sebuah “ Politik Hukum belaka” seperti yang disinyalir Foucault. Tidak proporsionalnya hukuman dan kejahatan di jaman ‘Ancient Regime” adalah manifestasi dari ketidak samaan antara terdakwa yang telah dituduh melanggar undang-undang, dan pemerintah yang sangat berkuasa. Dan undang-undang telah dibuat dan dilaksanakan untuk dan atas nama penguasa. Di masa absolute itu, kekejaman dari hukuman adalah manifestasi kekuasaan yang ada pada penguasa. Kalau sudah begitu maka hukum justru jadi tidak berfungsi untuk memelihara ketertiban, mencegah terjadinya kejahatan di waktu yang akan dating, dan memulihkan kembali akibat-akibat jelek dari kejahatan yang ditimbulkan kejahatan pada masyarakat.
Di era modern yang manusianya sangat serakah, bersaing satu sama lain, dan saling menjatuhkan, simbiosis antara kemiskinan dan kejahatan nyaris menjadi suatu yang niscaya. Apalagi jika warga juga sudah dicecoki narkoba pula, serta mulai jadi manusia-manusia pengkhayal, maka kian berkibarlah para bandar. Bukankah AD pelaku perkosaan dan pembunuhan gadis cilik di Cengkeraman yang juga telah membentuk geng anak kecil pengguna narkoba jadi bukti otentk betapa akrabnya kejahatan dan kemiskinan atau lingkungan kumuh. Yah, ini beneran lho, anak-anak kecil..... Bagimana meretas semua itu? mari dicari caranya secara sungguh-sungguh, jangan hanya banyak NATO, NO ACTION, TALK ONLY, atau banyak berdebat di media-media yang justru membuat para bandar dan pengguna keburu kabur dan bersembunyi, bahkan ke rumah-rumah warga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar