Ungkapan legendaris di atas adalah dari Julius Caesar, yang bermakna ‘ saya datang, saya lihat dan saya menang’. Sebuah pesan yang dikirim keseorang temannya di Roma ketika Caesar berangkat perang melawan Pharnaces, yang mencoba membangkitkan wilayah Timur kekaisaran Roma, dan juga daerah Spanyol dan Gaul untuk memberontak terhadap Caesar. Tekad Caesar itu muncul ba’da sembilan bulan berada dalam pelukan sihir cinta atau Bewichched Cleopatra. Cintanya pada Sang Ratu Mesir yang muncul dari balik permadani itu telah membuatnya lupa diri dan hanya menghabiskan waktunya untuk bersenang-senang, dalam orgy dan pesta gila-gilaan.
Ungkapan itu mirip ucapan pahlawan perang dunia ke dua Amerika Serikat Jendral Douglas Mc Arthur ‘ I shall Return’ setelah mengalami kekalahan beruntung dan berniat untuk comeback Di Medan perang Asia pasifik melawan Jepang. Dan ungkapan itu biasanya dinisbahkan kepada orang-orang yang telah memiliki segalanya, harta, tahta dan wanita, sebagai ekpressi rasa percaya diri yang besar. Biasanya jika seseorang telah memiliki harta, maka tahta akan segera dimiliki juga, atau sebaliknya. Atau jika mau dan beruntung, cinta pun dengan mudah dapat dimiliki. Tapi tak selamanya orang yang memiliki harta dan tahta secara otomatis juga dapat memiliki cinta: cinta sejati. Cinta sejatilah yang biasanya sanggup mendatangkan harta sekaligus tahta.
Dalam roman atau novel Sitti Nurbaya karya Marah Rusli, seorang antagonis, Datuk Meringgih, dengan kekayaan dan kekuasan yang dimilikinya, toch tak mampu membeli cinta Sitti Nurbaya yang tulus, kendati untuk sementara bisa memperistrinya. Malahan karena cinta Sitti yang hanya tertuju kepada kekasihnya, Samsulbahri, sang datuk yang kaya raya dan punya kekuasaan karena mampu melakukan permberontakan terhadap kompeni Belanda, meracun Istrinya tersebut. Urusan mabuk cinta yang berkelindan dengan kebencian yang buta, serta perlawanan terhadap segala otoritas ; adat budaya, kekuasaan dan kapital, adalah tipikal novel Indonesia modern. Ada yang berbasiskan realitas masyarakat ataupun yang sekedar fiksi.
Relasi tak berkesudahan antara cinta, tahta dan harta, yang silih berganti menggoda manusia, adalah suatu yang niscaya dan abadi, serta universal. Entah siapa dan dari bangsa apa tiga kata-kata serangkai itu berasal. Tapi kita bisa membaca manifestasinya dalam sebuah kisah mitology Yunani kuno. Dalam roman kisah cinta Helen dan Paris yang mewarnai ‘Perang Troyanya Homerus, dikisahkan sekali waktu Paris, putra mahkota kerajaan Troya, menjadi juri lomba kecantikan tiga Dewi: Hera, istri dewa Zeus yang juga dikenal sebagi Juno, Aphrodite atau Dewi Venus, dan Athene atau dewi Minerva.
Ketiga dewi itu mencoba menyuap Paris untuk menang. Hera menjanjikan Paris kekayaan, Athene dengan kemenangan dalam setiap perang atau kekuasaan. Sedangkan Aphrodite menawarkan Paris seorang gadis yang palinng cantik di dunia. Dan Paris memutuskan memilih wanita. Tentu saja wanita yang dimaksud adalah Helen. Sayangnya wanita yang kemudian dicintai dan menjadi miliknya adalah istri Menelaus, adik Agamemnon, raja Mycenae. Dengan bantuan dewi cinta, Aphrodite yang membujuk Helen, Paris berhasil membawanya kabur. Mengetahui istrinya dibawa kabur, Menelaus melapor pada kakaknya, Agamemnon, maka Perang Troya pun di mulai.
Gara-gara pelarian cinta itu, terjadilah perang sepuluh tahun antara Athena, Sparta atau bangsa Greek melawan Troya yang dibantu oleh bangsa-bangsa Asia Minor dan Thrace. Lokasi Troya berada di wilayah Turki Utara sekarang. Bertahun-tahun bangsa Yunani tak bisa menembus Citadel atau benteng Troya. Hanya karena sebuah trick usulan Odysseus, sebuah Kuda dari kayu berlayar menuju Troya yang menyembunyikan pasukan di dalamnya yang kemudian secara tiba-tiba menyerbu, maka Troya pun jatuh. Helen akhirnya kembali di boyong ke Sparta oleh Menelaus setelah gugurnya Paris.
Dalam kisah di atas, telah terpapar bahwa sebuah cinta tak dengan sendirinya memberi kekuasaan, melainkan kehancuran. Berbeda dengan cerita cinta Cleoptra dengan Antony, dimana cinta justru telah memberi segalanya kepada Cleopatra; tahta dan harta. Dengan memafaatkan cinta Julius Caesar dan Antony sekaligus, Cleopatra bukan saja telah menjadi Ratu Mesir yang subur dan kaya, tapi juga berhasil mendapatkan hadiah wilayah-wilayah dari dua raja kekasihnya itu. bahkan Antony memberikan pada Cleopatra wilayah Siria, Kreta, Siprus, Sisilia, Judea, atau Arabia sebagai hadiah perkawinan.
Alexander The Great, Raja Macedonia, kurang apa? Setelah mengalahkan Darius, raja Persia di medan perang Issus, dan juga di Gaugamela, ia telah menguasai hampir sepertiga bumi dengan segala kekayaannya. Tapi waktu Hephaistion, panglima perang, sahabat, kepercayaan sekaligus kekasihnya – konon Alexander seorang homoseksual -, meninggal, maka Alexander seperti kehilangan segalanya, baginya saat itu dunia telah runtuh. Seorang pengarang telah melukiskan kesedihan Alexander dengan jitu setelah kematian sahabat sekaligus kekasihnya itu : “ Alexander’s grief was frantic and uncontrollable. He had the doctor crucified for negligence, and lay day and night with the body, refusing to be torn away. During this time he refused to eat and drink. His grief is a kind of madness.....A great stone lion was carved as a monument to Hephaistion which can be still be seen at Hamadan.”
Bagaimana dengan Shah Jahan, Sultan yang berkuasa secara mutlak di Kerajaan Islam Hindustan di abad ke 17. Ketika terjadi pemberontakan Deccan, ia dan tentaranya melakukan ekspedisi ke sana untuk memadamkannya dengan membawa anak dan Istri tercintanya, Mumtaz Mahal atau Taj Mahal yang berarti ‘ Cahaya Istana’. Sang Raja tak sanggup berpisah lama dengan istrinya yang cantik dan cerdas itu. selama perjalanan panjang itu, Taj mengandung. Tentu saja berada pada Howdah di punggung gajah yang selalu bergoyang, membuatnya tak bisa beristirahat tenang hingga merusak kesehatannya. Dan Taj Mahal meninggal sewaktu melahirkan.
Sejak itu Shah Jahan hancur hidupnya. Dunia yang telah ditundukkannya tak lagi berarti apa-apa baginya karena telah kehilangan wanita yang paling dicintainya. Shah begitu patah hati, sampai tidak mau makan dan minum lagi. Selama bertahun ia hidup hanya sepeti bayangan, memakai pakaian seadanya, dan menjauhi kemewahan. Tak lagi bergairah pada kekuasaan dan perang, dan menyerahkan nasib kerajaan kepada putranya, Aurangzeb. Semua kekayaannya hanya digunakan dihabiskan untuk membangun Maosoleum mewah dengan taman yang luas dan indah bagi istrinya, Taj Mahal.
Seorang penjelajah Inggeris, Peter Mundy, menggambarkan pembangunan Taj Mahal sbb :
During the next twelve years vast sum of money were spent bringing together the best artist and craftsmen. Master builders, masons, inlayer and caligraphers as well as the materials they worked with, came from all over India and Central Asia. In 1632, the year work began. The building was being created with extraordinary diligence, with gold and silver esteemed common metal and marble but as ordinayi stone. The Taj Mahal employed 20,000 workmen and cost the equivalent of 16, 000,000 Pound Sterling. The magnificent grounds and gardens that surround it took a further ten years to complete. By the 1643 the building was sufficiently complete for the annual memorial service for Taj to be held there for the first time. Standing on a marble terrace overlooking the Yamuna river outside Agra, the superb mausoleum is regarded as the great of Moghul buildings.
Manusia ditakdirkan untuk mencintai segala hal yang menarik, indah dan memberi kenikmatan. Tapi kebanyakan cinta itu lebih besar terhadap wanita dengan dengan segala kecantikan dan keunikannya, tahta dengan segala janji kehormatan dan kekuasaannya. Dan pada harta yang memberi hidup penuh kemudahan dan kesenangan. Cinta terhadap ketika hal tersebut bisa mewujud dalam bentuknya yang sublim, rohaniyah, atau yang sekedar materialistik belaka. Kecintaan yang bersifat tinggi dan menjulang ke dunia spritual jarang terdapat, makanya kisah tentangnya sungguh mengasikkan dan mencerahkan, seperti kisah Romeo dan Julia, Sampek Engtay, atau kisah mistis Laila Majnun. Dalam ranah kekuasaan kita bisa membaca sublimitas kekuasaan Rasulullah, Mahatma Ghandi atau Nelson Mandela. Juga banyak contoh tentang para kapitalis yang berjiwa sinterklas seperti Bill Gates, Rockepeller, atau Henry Ford.
Lalu mengapa seorang Kaisar Agung, Alexander, atau Raja dinasty Moghul yang besar bisa mengalami halnya di atas sedemikian rupa dan dramstis sekali?.......itulah manisfestasi kekuatan cinta yang lebih besar dari segalanya karena bersifat ruhani yang tak bisa dilacak dan dikuasai hakekat dan manifestasinya oleh siapapun, melebihi kekuatan material kekuasaan atau kekayaan yang datangnya bisa secara tiban. Apa sebenarnya terjadi pada kedua Raja diraja tersebut.
Keduanya telah melihat dan membayangkan kekasih pujaannya dengan segala apa. Cinta telah menjadi jiwa dan ruhnya sendiri dan melihat kehidupan di sela-selanya. Ketika sang kekasih harus pergi, maka mereka melihatnya bukan sesuatu yang riel, karena perpisahan dianggap pergi dari jiwa dan hidupnya sendiri, mana mungkin terjadi....oh, tak mungkin, demikian jerit jiwa keduanya. Keduanya lalu bersikeras untuk tetap bersama atau berinteraksi dengan alter egonya yang telah meninggal. Cetusan ini abadi....tak ada bahagia tanpa sang kekasih, tak ada lagi rasa dan sensasi yang bermakan tanpanya. Maka dinikmatinya realitas kesedihan itu sebagai sesuatu yang nikmat. Segala apa yang ada padanya kini, bahkan hidupnya pun telah diabaikan sedemikian rupa. Semua urusan dunia dan materi dibiarkannya terbengkalai, demi terus bersama dengan Sang Kekasih. Keduanya merakan kelezatan menyelam di kelam kesedihan, sampai mati sendiri bersama cinta yang telah kehilangan esensi dan Ruh sejatinya.
Di sini cinta telah berubah menjadi suatu pengharapan abadi dan penuh kahayalan kenikmatan belaka, bahkan bersambung dengan impian manusia tentang kehidupan di surga. Sang pecinta yang majnun biasanya menginginkan kelak akan berada di surga yang sama dengan kakasihnya. Ketika seorang eksplorer, pengarang Inggeris yang telah masuk Islam jatuh sakit, Richard Burton namanya, Istrinya yang sangat mencintainya, Isabel, berniat menyelamatkan jiwa Burton dengan memintanya melakukan conversi ke Katolik. Colin dan Sally Wilson telah menulis tentang niat Isabel itu dengan bagus, “ Now her chief concern was to save her husband’s soul by converting him to Catholism. Convinced that the Moslem and Christian paradise were located in completely different parts of heaven, she was afraid that they would fail to meet in the hereafter if he died as Moslem.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar