Salah satu jargon atau slogan yang kerap terdengar dan popular di stasion-stasion TV beberapa hari ini adalah “ Deradikalisasi”. Kemunculannya menyusul meledaknya ‘Bom’ di kawasan Sarinah-Thamrin di hari Kamis lalu yang menewaskan 8 orang serta puluhan yang luka-luka berat dan ringan, lima diantaranya adalah dari kelompok pengebom atau penyerang. Dan jargon itu sering diungkapkan oleh Komandan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme ( BNPT), Saud Usman Nasution.
Yang dimaksud dengan deradikalisasi oleh beliau adalah upaya pendekatan dialog dan pembinaan kepada kaum jihadis Islam dalam upaya merubah cara pandang, cara berpikir, paradigma atau mindset mereka. dan dialui oleh beliau sendiri bahwa gawean itu sungguh tidak mudah karena menyangkut ideologi yang sudah begitu merasuk tertanam di jiwa para jihadis, terutama para pada pentolannya, seperti AB, AA, S, atau sekarang yang poluler BN. Tentu saja akan susah dan gagal usaha mulia itu jika dibarengi juga dengan usaha pengejaran dan main tembak. Bukannya dengan cara-cara elegan untuk merebut hati mereka dengan menunjukkan niat baik dan tulus berdasar pada prinsip emansipatoris atau demokratis
Singkatnya harus ditempuh dengan jalan politik yang saling menyapa, menage komplik, bukan melulu ‘ security approach’. Jalan ini adalah jalan yang paling ngewongke, menghargai dan paling memberi jalan keluar. Apalagi mereka yang hanya pelaksana jihad di lapangan, belum begitu mendalam pengetahuan ideologinya. Namun naluri poliik atau idealisme mereka telah diarahkah kepada hal-hal yang keluar dari garis ‘ Islam Rahmatam lil alamin”. Mereka yang telah rela menjadi martir bagi sebuah pemahaman radikal itu betapapun adalah insan-insan yang punya kepedulian tinggi pada soal-soal politik ketata negaraan dan kemasyarakaan, bahkan ke masalah globalisasi. Hal ini tidak bias dipungkiri. Mereka bukan kaum urban sensation yang hanya suka bersenang-senang dan mengkhyalkan dunia gemerlap. Andai sejak dulu mereka disalurkan energinya lewat saluran politik resmi, tempat mereka beraktualisasi dan bersosialisasi yang benar, maka tak akan ada kejadian bermain-main bom yang terjadi berulang-ulang sejak reformasi ini. Artinya mereka-mereka yang kemaren telah diapusi secara tanpa sadar oleh para ideolognya mestinya disalurkan bakat-bakat politiknya lewat permainan politik praktis. Jika penanganan terhadap pengikut pemikiran radikal masih seperti cara-cara kolonial, maka itu ngga bakal ada habisnya.
Politik adalah metode untuk menyalurkan ide, gagasan dan aspirasi setiap anggota mayarakat. Dan hal itu ditangkap oleh para kader partai dalam sebuah partai politik untuk diartikulasikan dan diagregasikan. Dalam partai yang berdaulat adalah para kader, dan jika itu berlangsung secara konstan dan konsisten, dimana suara anggota begitu didengar bukan hanya ditampung dan dicatat, maka pasti akan menjadi jalan yang sangat menarik bagi kaum idealis untuk mengartikulasikan kepentingan diri dan rakyat yang ingin dibelanya. Repotnya politik sekarang ini, termasuk di Indonesia sering dikoptasi dan didikte oleh para elite, menegaskan hirarki yang ketat, dan masih bersifat top down dalam pengambilan keputusan, lihat saja rencana munaslub Golkar yang maunya dipaksakan dari atas, serta perpecahan para elite partai yang melulu hanya memikirkan kekuasaan.
Dan tentulah banyak organisasi radikal berkarakter diktatorial ini. Justru institusi-institusi sosial-politik dan keagamaan yang berkarakter begitulah yang boleh jadi telah melahirkan prilaku-prilaku radikal dan mbalelo. Konon menurut sumber kepolisian, haru biru di Jalah Thamrin adalah suatu manifestasi persaingan antar anggota yang mau menjadi elite gerakan juga. Artinya siapapun manusia itu niscaya membutuhkan pengakuan dan penghormatan terhadap peran dan eksistensinya. Dan jika ISIS memang organisasi yang bagus dan terkordinasi dengan baik, maka tentu tidak akan merusak dirnya sendiri dengan tindakan-tindakan brutal yang serampangan. Justru karena ia rapuh dan bersifat monolitik, maka bermunculanlah pengantin-pengantin baru di mana-mana.
Lalu apakah cara represif selamanya bagus ?. Ketika Sarekat Islam pimpinan HOS Cokroaminoto disusupi kaum radikal, yakni SI merah alias PKI, lalu melakukan aksi pemberontakan yang berdasar pada pembelaan pada kaum pekerja, Belanda memberangusnya dengan keras, membubarkan mantel-mantelnya serta menghukum tokoh-tokohnya. Lantas apakah aksi-aksi radikal mereka yang dipimpin Semaun dan Darsono mati dan tekubur selama-lamanya? Nyatanya kembali lagi bermetamorfosis pada gerakan-gerakan yang lebih radikal dibawah Muso dan Amir Syarifuddin di tahun 1947, dan Aidit di tahun 1965. Ketegasan pemerintah orde baru, atau ABRI yang dibantu ormas-ormas Islam apakah betul-betul telah menjadikan gerakan komunis tinggal kenangan abadi?. Ngga juga, nyatanya sekarang banyak buku-buku beredar yang terkesan pro mereka, dan yang terakhir fakta adanya gugatan pelanggaran hak asasi manusia terhadap pembunuhan terhadap mereka dulu yang banyak dan massif di Pengadilan Rakyat Den Haag. Mereka sekarang ibaratnya menjadi ‘ Hantu’ sebagaimana yang dikonstatasi Derrida, yang tentu saja menakutkan karena bisa sewaktu-waktu bermanifestasi.
Dalam kaitan hal tersebut di atas, saya jadi teringat pada seorang Nasution yang yang lain. Siapa yang tak kenal Jenderal Besar Abdul Haris Nasution. Beliau adalah mantan Panglima ABRI yang di masa G 30 S PKI dicoba dibunuh juga bersama tujuh Jenderal lainnya. Jenderal besar yang sudah almarhum ini waktu kecil ditanya oleh seorang sejarawan dari Australia tentang siapakah panglima yang paling dikaguminya. Maka jawab sang jenderal adalah Nabi Muhammad SAW. Itu sunguh logis dan beralasan. Bukankah Rasul adalah seorang ahli strategi perang yang mumpuni sekaligus seorang yang sangat manusiawi dan pengampun. Rasul yang diawal perjuangannya menegakkan Islam selalu dihina, diejek, dilecehkan dan coba dibunuh, malahan telah mengampuni semua seterunya, kaum jahiliyah waktu futuh Mekkah. Beliau bersama 10 ribu kaum muslimin yang memasuki Mekkah tak membunuh siapapun, tapi melakukan pendekatan-pendekatan agama dan kemanusiaan.
Nasution yang jenderal besar itupun melakukan hal yang mirip-mirip Rasul lakukan sewaktu menjadi Panglima Siliwangi ba’da kemerdekaan tahun 1945. Pernah di satu masa beberapa kompi pasukannya yang dikirim untuk mengamankan wilayah Jawa Barat waktu Clash II diracun oleh pengikut Darul Islam pimpinan Kartosuwiryo yang menyamar jadi orang desa. Dan itu membuat sementara komandan dan prajurit sakit hati, hal itu lumrah, tentara juga manusia yang punya perasaan, mana terima rekan-rekan seperjuangannya diracun dan mati berkelojotan oleh racun, lalu ditembaki pula. Namun sang Panglima justru berpikir bahwa tentara tak boleh dendam dan bertindak brutal, harus dirubah pendekatan dengan berusaha bergaul dengan para DI agar bisa percaya pada tentara.
A.H. Nasution pernah mengatakan “ Kalau bicara soal DI itu ( dan yang sejenis berupa gerakan-gerakan radikal yang mencita-citakan Khilafah, pen ) sebenarnya bicara soal politik, bukan Islam. DI itu muncul pada saat Clash I. Dalam menghadapi DI di Jawa Barat, saya sempat juga menyediakan waktu untuk bertemu dengan Kartosuwiryo di Ciawi. Menurut saya , waktu itu dia masih dendam karena tentara kadang-kadang bertindak secara kejam. Keras lawan keras. Tetapi, sekali lagi, kita tidak bisa berjalan dengan cara begitu.” Makanya dimanapun pasukan Siliwangi melakukan operasi militer di negri ini di masa lalu termasuk di wilayah Sulawesi Selatan Barat, telah sukses. Karena metode politik kerakyatan dan keagamaan mereka yang genuine, yang telah ditanamkan oleh Sang Jenderal Besar Nasution.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar