Jika anda berkendaraan dari arah Senayan atau Jalan Jenderal Sudirman ke arah utara Jakarta, setelah melintasi Jembatan Dukuh Atas, maka anda akan memasuki jalur super modern Jakarta yang sejak tahun 60 an telah dianggap wllayah Metropolitan dan kosmopolitan yang sesungguhnya, Jalan Thamrin. Jalan ciamik ini membentang dari dukuh atas hingga patung kuda di Monas. Bahkan seorang pengamat mengatakan bahwa Jalan Thamrin adalah termasuk salah satu jalan terindah di Dunia dengan landmark ‘ Patung Selamat Datangnya’. Di sebelah kiri dulu berderet hotel-hotel bertingkat dan bertaraf international sebagai penanda kosmopolitannya kota yang awalnya dibangun oleh Faletehan itu. sebut saja hotel Kartika Plaza yang telah bermetamorfosis menjadi gedung perkantoran yang lebih modern dan tinggi.
Setelahnya, ‘The Best and Only Hotel in Town in Sixties” Hotel Indonesia yang akan menyambut anda. Hotel yang kini bernama Hotel Kempinski itu diresmikan oleh Sukarno sebagai salah satu projek mercu suar dalam rangka mengakomodasi event-event penting seperti Asian Games dan Ganefo. Di puncaknya ada Nirwana Night Club tempat kaum elite mencari hiburan dan kesenangan dengan mendengar musik atau berdansa cha-cha, rumba, waltz, jive, boogie-boogie, ataupun rock n’ roll. Pada tahun 60 sampai tahun 90 an, club ini sering didatangi para pengusaha besar beserta pasangan atau teman-temannya, hingga pejabat sekelas menteri untuk menikmati musik atau lagu-lagu standar atau jazz yang diramu oleh nama-nama besar seperti Jack Lesman, Kiboud dan Ireng Maulana, Bill Saragih dsb.
Hotel yang tertingkat enam belas itu persis berada di sisi kiri sebuah kolam berbentuk bundar dan mengambil namanya, ‘Bundaran Hotel Indonesia’ tempat paling pavorit bagi para demonstran untuk unjuk rasa dan berorasi. Di seberang HI, berdiri sebuah hotel lebih menjulang dan mewah, Hotel Mandarin namanya. Lepas HI ke arah utara, dI sana dulu berdiri Hotel Asoka yang kini menjadi Hotel Grand indonesia dan pusat belanja serta jajan ekstravaganza, Plaza Indonesia. Persis di seberang hotel keren itu dulunya berdiri gedung tertinggi di tahun 70 an, Wisma Nusantara. Di puncaknya di lantai 30, dulu ada sebuah kelab malam tempat para sosialita berdansa, indehoy dan bersenang-senang, Mirasa Sky Room namanya. Di sini kerap mengalun lagu-lagu Misty, May Way, New York-New York, Charade, Desafinado, As Time Goes by, and the likes. Di samping Wisma yang pasti tidak diperuntukkan bagi para tuna wisma, dulunya berdiri Horel President yang kini berganti wujud menjadi Hotel Nikko.
Setelah gedung-gedung monumental tersebut, melewati aneka gedung perkantoran pemerintah ataupun swasta, diantaranya Depertemen Agama, maka anda akan tiba di perempatan Sarinah. Di sudut kiri dulu berdiri kantor perwakilan United Nation yang entah mengapa kini ditempati oleh Bawaslu. Persis di seberangnya berdirilah Sarinah, pusat perbelanjaan mewah pertama di Jakarta yang mula-mula mengintrodusir tangga yang berjalan nailk turun, eskalator. Di huk seberang Sarinah, ada Jakarta Teater dengan sebuah kedai kopi Starbuck di depannya. sedangkan pada huk yang berada di seberang kedai itu ada gedung Jaya.
Di seputaran perempatan Sarinah itulah dulu dan mungkin sekarang juga, kerap berkumpul kaum elite Jakarta dari kalangan ‘Yuppies’ atau kaum Snobis, untuk ngeriung dan begadang menghabiskan malam dengan segala kesenangan dan kenikmatan yang tersedia. Di Sarinah sendiri ada club malam, cafe atau karaoke. Yang paling terkenal sampai era millenium adalah Hard Rock Cafe. Ada juga Mc Donald, tempat anak muda ngeceng atau ngelaba sampai pagi sembari menikmati aneka Burger dan Ayam Goreng. Di seberang utara, Jakarta Teathre, sebuah bioskop tweety one yang sempat menjadi icon up to datenya kota Jakarta dalam bidang cinema. Di depan bioskop itu, ada ‘Green Pub yang dulu sangat terkenal bagi Yuppies penggemar musik Contry dan Jazz, dan tentu saja sorga bagi penyuka ‘Stimulan Beverages’, seperti SO, Whisky, beer, dll.
Siapa yang tak kenal Jaya Pub yang ada di lokasi gedung Jaya. Di sini sampai sekarang menjadi tempat hang out pavorit para ekspatriat dari segala bangsa, tapi orang-orang Eropa atau Anglo Saxon yang mendominasi. Di Pub ini tempat musisi-musisi jazz old drack bercokol, beratraksi dan berekspresi sejak awal tahun tahun 80 an hingga satu dua tahun terakhir ini, diantaranya yang paling beken, Victor Rompas and the Gang. Lalu ada group musik rock n’ roll yang penampilannya kerap membuat para bule kegirangan dan berjingkrak lupa diri dalam pengaruh alkohol. Yang terkenal adalah Bang Amin Ivos dkk.
Ada juga bung Felix soon yang kendati hanya tahu beberapa rock n’ roll serta lagu standar, tapi mampu membuat para bule bergoyang ria sambil mesem-mesem melihat lagak lagu Felix yang lucu, sedikit norak tapi ngintertain banget. Dari mulutnya kita paling banter akan mendengar lagu-lagu yang terkesan itu-itu saja, seperti Blue Suede Shoes terus Danny Boy....Blue Suede Shoes terus Danny Boy, sesekali I Can’ Stop Loving You atau Blue Berry Hill. Celetukan Inggrisnya akan dipenuhi oleh unsur slang yang sembrono dan kasar. Tapi felix di masa jayanya tetap jadi pujaan dan kegemaran kaum bule. Akan selalu ada gemuruh clapping dan cheering yang tertuju padanya ketika sedang beraksi di panggung, seburuk apapun perfomancenya.
Nah, di wilayah yang bisa dikatakan salah satu jantung kota Jakarta yang berdenyut siang malam itu, di samping kawasan Monas tentunya, kemaren telah terjadi adegan tembak menembak sekelompok orang bersenjata melawan Polisi yang berujung pada dengan adegan bunuh dirinya beberapa orang penyerbu dengan menggunakan bom rakitan. Ada yang meninggal dan terluka di kedua belah pihak, serta beberapa orang sipil and the passerby tak berdosa dan tak tahu apa-apa. Salah seorang diantaranya adalah seorang gadis dari desa yang bermaksud ke Sarinah untuk melamar pekerjaan, ia histeris kesakitan serta ketakutan akibat terkena serpihan bom di tubuhnya. Sungguh kasihan. Kami berbela sungkawa terhadap para korban tak terkecuali yang sejatinya semua adalah korban-korban juga.
Dengan menggambarkan betapa penting, dan strateginya tempat-tempat di seputar Thamrin, khususnya sekitar perempatan Sarinah yang hanya berjarak dua setengah kilo meter dari Istana Presiden, maka dapat dikatakan bahwa sangat masuk akal jika para penyerang telah melakukan aksi kekerasan dan kekejamannya di sana kemaren. Mungkin mereka hanya bermaksud mencari perhatian dan pengakuan dengan berusaha mengharu biru kawasan tempat kaum borju dan orang barat sering berkumpul dan berkongkow-kongkow itu. Namun jangan berpikir bahwa aksi teror tanggung dan kecil-kecilan itu boleh dianggap sepele dan sekedar menjadikannya sebagai ajang untuk pamer kesuksesan gawean aparat keamanan. Barangkali aksi radikal amatiran dan terkesan nekat tanpa perhitungan itu adalah juga bagian dari sebuah grand strategi yang rapi dan besar. Sebuah warning bagi dunia gemerlap dan pemerintahan sekaligus. Itulah sebabnya, kemaren mereka menyerang polisi yang dianggap sebagai penjaga semua itu. kecil kemungkinan ditunaikannya masalah pribadi yang sepele di sana, melainkan ada sesuatu yang bersifat simbolis sekali.
Rasanya jika digambarkan lagi secara gamblang maupun in cognito peristiwa yang mengharu biru dan mengerikan kemaren itu, akan sangat make no sense, karena nyaris sebagian besar warga negara dan mungkin warga dunia telah menonton lapotan pandangan mata dari media-media secara langsung, jelas, menarik dan menegangkan dari renjana tersebut. Namun adanya pernyataan, komentar, dan juga analisis para pakar dan petinggi negara yang saling bertentangan satu sama lain, maka peristiwa kekacauan tersebut terasa semakin kacau.
Di dunia ini, dulu dan sekarang banyak sekali kelompok garis keras atau kaum zealot yang beroperasi secara lintas negara dengan sasaran, target serta kepentingan masing-masing. Namun entah mengapa banyak yang begitu cepat mengkaitkan peristiwa kemaren dan pelakunya dengan sebuah organisasi yang bernama ISIS. Mungkin saja mereka yang telah membuat takut warga Jakarta kemaren adalah kelompok Isis, tapi dengan serta merta menuduh mereka secara resmi dan pasti sebagai pelaku yang bertanggung jawab, maka itu telah menutup berbagai variabel lain yang mungkin. Ada kesan mau cari aman di sana dengan sasaran meredam gejolak ekonomi dan bisnis yang memang fluktuasinya sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur politik dan keamanan. Hal ini memang berdasarkan pada suatu niat baik, tapi secara jangka panjang kurang baik.
Bukankah dengan mengatakan bahwa mereka pasti dari kelompok Isis, itu akan membuat kelompok perusak potensial yang lain luput dari sorotan dan kewaspadaan segenap stake holder republik ini. Perhatian dan kecurigaan masyarakat yang pasti meningkat sikap alertnya ba’da teror itu hanya akan tertuju kepada sosok-sosok bersorban, berbaju gamis dengan celana cingkrang dan kerap mengutip ayat-ayat atau membawa-bawa Al Qur’an. Padahal mungkin saja mereka santri dan muslim yang taat, rajin beribadah dan beramal saleh. Salah-salah orang yang sedang melakukan pengajian rutin atau lagi berbarasanji, dilaporkan ke yang berwajib. Klo sudah begini, situasi akan menjadi semakin centang perenang. Dan teroris yang sesungguhnya, yang mestinya menjadi ‘common enemy’ bisa aman dan terus berpesta dan mempersiapkan aksi gila berikutnya.
Sebenarnya yang perlu dimunculkan adalah suatu pengakuan pada fakta dan situasi krisis yang sejatinya menjadi setting kejadian tidak beres kemaren, sehingga akan muncul ‘sense of crisis yang otentik. Karena semua ingin bermain aman, maka segala bentuk kejahatan dan kekerasan yang ingin kita berantas sampai keakarnya, telah tanpa sengaja kita pakaikan masker, atau topeng di wajahnya, sehingga semakin gelap untuk dikenali wajah aslinya. Sebuah tindakan penyerbuan yang beresiko membunuh banyak orang, sipil atau aparat, mendegrace simbol-simbol negara, apalagi disertai oleh tindakan bunuh diri, takkan mungkin terjadi tanpa diawali oleh aneka krisis berat yang mendahului. Bisa krisis kepercayaan, krisis kinerja, krisis keamanan, politik dan ideologi, krisis ekonomi, krisis kemanusiaan, atau hak asasi, krisis psikologis dan budaya, dll.
Karena sejak dulu kita tak pernah menganggap kejadian-kejadian serupa sebagai sebuah krisis yang bersifat internal maupun eksternal, makanya kita tidak pernah mampu mengambil sikap dan tindakan yang mendasar dan konprehensif, lalu keluar dari krisis, kecuali hanya mengutuk dan mengutuk pada setiap peristiwa pengeboman yang kerap terjadi sejak era reformasi. Bagaimana bisa keluar dari krisis jika selalu merasa krisis itu tidak pernah ada. Jika begini-begini terus, pertanyaannya adalah, ‘ Kita telah mereformasi atau merevolusi apa see?.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar