Jika disingkat maka judul di atas menjadi BUMN juga. Lalu apa bedanya dengan BUMN atau Badan Usaha Milik Negara? Ya, banyak perbedaannya di samping adanya persamaan. Tentu saja yang pertama milik keluarga, yang kedua milik negara. Dan yang namanya usaha milik keluarga sebesar apapun modal dan assetnya, takkan bisalah melebihi modal dan asset usaha milik negara. Perbedaan yang lain adalah bahwa tak mungkin ada usaha keluarga yang dijalankan secara negara atau oleh negara, tapi usaha negara bisa dijalankan secara kekeluargaan. Stake holdernya pun berbeda, usaha keluarga ya untuk keluarga saja. Tidak mungkin usaha pertanian satu keluarga dibagi-bagikan untungnya untuk orang sekampung. Sedang usaha negara untuk seluruh warga negara. Misalnya jika negara berusaha di bidang minyak, gas atau energi, maka siapapun tak terkecuali dalam satu negara harus bisa menghirup minyak dan gas yang ada. Paling tidak bisa berjalan-jalan kemana saja karena banyak dan bagusnya jalan yang dibangun dari keuntungan satu usaha milik negara.
Lantas apa persamaannya? Pastinya adalah disamping keduanya sama-sama punya modal, asset, keduanya pasti punya sumber daya manusia untuk mengelolanya. Dan juga adanya unsur mencari keuntungan, kalau itu tak ada bukan badan usaha dong namanya, tapi badan sosial, institusi pemerintah atau semacam rumah singgah bagi kaum papah dan anak jalanan. Nah pada urusan sumber daya atau soal pengelolaanlah yang sering bisa menimbulkan keuntungan atau kebuntungan satu unit usaha, apakah yang milik keluarga atau yang milik negara. Sebuah bencana usaha akan tiba bila tak baik dalam rencana, dan kencana akan datang bila ia baik terencana.
Seorang rekan bercerita bahwa kakek dan neneknya pernah punya sawah dan kebun berhektar-hektar, dan juga empang di masa lalu. Tapi sepeninggal keduanya, dia sebagai salah seorang pewaris belum pernah sedikitpun menikmati rahmat Tuhan bagi keluarga besarnya. Dia hanya dibesarkan dari usaha atau gaji ayahnya almarhum sebagai abdi negara. Ayahnya adalah orang yang perduli , berjiwa sosial dan punya sifat kekeluargaan yang besar, sehingga sampai hari tuanya juga tak pernah kecipratan harta peninggalan bapaknya sendiri, kendati yang tertua dantara saudaranya. Niat baiknya untuk membantu keluarga besar di kampung dengan menyerahkan pengelolaan usaha keluarga kepada saudara-saudaranya yang dianggap mampu untuk itu telah disalah gunakan. Satu demi satu asset keluarga besarnya telah dijual oleh saudara-saudaranya dengan dalih ini itu; untuk biaya sekolah anak-anak, untuk biaya orang sakit, dan yang parah untuk kawin lagi.
Ketika sebuah niat baik yang muncul dari rasa berbela rasa dan kehendak saling menolong itu muncul, maka berbarengan dengan itu maka muncul pula orang yang tak tau diri dan bersifat curang, lalu memamfaatkan kebaikan saudaranya. Karena melihat sikap ayah sang teman yang sabar dan seolah tak berminat masalah-masalah warisan, maka diantara saudara-saudaranya, ada yang tidak hanya melego yang mestinya menjadi haknya, tapi menjual juga yang semestinya menjadi bagian saudaranya yang lain. Inilah tipe orang-orang serakah yang mau kaya dan jaya sendiri.
Beginilah relasi antar keluarga yang terjadi secara hampir merata di negri kita yang mengaku beragama dan berbudaya luhur. Hanya pada waktu lebaran atau pesta ini itu mereka tampak akrab dan rukun, di luar itu mereka saling berebut harta, bersaing dan menjatuhkan, bahkan saling menipu dan memiskinkan. Dan watak-watak kerdil ini jelas telah bermanifestasi dalam masyarakat dan negara. Orang rela berebut warisan nenek moyang atau harta bersama dengan tanpa mengindahkan lagi nilai-nilai agama, budaya dan kepantasan. Pertanyaannya apakah dalam dunia bisnis dan ekonomi tak ada sama sekali tilikin etika dan moralnya?
Tentu saja ada, tapi semua moralitas ekonomi itu lebih menyerupai ‘ moral cashnya’ John Dewey. Semua bisa didelete demi harta, tahta atau wanita. Dalam dunia ekonomi dikenal tiga moral dasar, yakni etika utilitarian, right dan justice. Etika utilitarian bicara bahwa demi pembangunan sebuah fasilitas publik, misalnya waduk, jalan layang, atau perumahan pejabat, maka adalah dibenarkan untuk membeli secara paksa tanah atau kebun rakyat dengan harga semurah mungkin. Prinsipnya adalah berapa cost dan apa benefitnya. Jika dianggap mamfaatnya lebih besar dan dinikmati oleh banyak warga, maka hak asasi apapun menjadi nonsens.sedangkan etika right lebih banyak memberi peluang bagi individualisme untuk mengemuka, sehingga siapapun bisa minta saham pada siapapun dengan mencatut nama siapapun, dan bicara secara bebas tanpa rasa risi, atau mengevaluasi kinerja sesamanya lalu mempublikasikannya. Dan inikan juga mengandung pertimbangan ekonomis yang berbasis pada prinsip untung rugi.
Sedangkan moralitas kaum kapitalis dan kaum sosialis selalu berbasiskan pada etika justice. Prinsip kapitalis adalah “ Justice based on contribution” jadi mereka yang tidak mau bekerja dan bermalas-malasan tidak masuk hitungan. Tapi bagaimana jika orang tersebut betul-betul telah tertutup akses kehidupannya karena dilahap oleh para predator ekonomi dan politik? Atau apakah orang tua jompo dan cacat harus dibuang begitu saja dari skema sosial. Credo moral kaum sosialis adalah “ Justice based on ability and needs. Dalam soal ini, saya hanya bisa membayangkan sebuah scene dalam film Doktor Chivago. Yang mempertontonkan betapa tidak enaknya sebuah persamaan yang dipaksakan dan tak alami. Ada sebuah keluarga kaya yang hidup tenang bahagia di rumahnya yang besar dan mewah, tiba-tiba oleh revolusi telah menjadi nelongso banget karena rumahnya telah jadi seperti rumah penampungan pengungsi atau asrama mahasiswa yang hiruk pikuk.
Jadi apapun bentuk, sifat atau sistem tata kelola badan usaha milik nenek moyang atau milik negara, dengan pseudo moral yang ada padanya, jika agama atau moralitas absolut sudah dikesampingkan, maka akan mengalami juga impasse atau jalan buntu. Jika dikelola secara kekeluargaan dan sosial, maka antar keluarga dan sesama warga akan saling mencederai dan ngapusi. Khususnya bagi usaha milik negara, akan menjadi sapi perah atau ATM. Jika secara B to B atau menurut alun korporatisme dan persaingan bebas tidak sempurna, maka praktek KKN akan mengemuka lagi. Dan ini berpotensi menimbulkan inkopempetensi, salah urus dan korupsi yang besar dan massif.
Sejatinya sistem tata kelola ekonomi dan bisnis di Indonesia sedari dulu tidaklah monolitik. Adakalanya begitu sosialistis, lalu berganti begitu sangat liberal dan pro pasar, dengan aneka deregulasi, privatisasi dan restrukturisasi sebagai cirinya. Dan sistem apapun yang telah diterapkan, tak juga mampu menghilangkan inefisiensi, kebangkrutan, terutaman kebangkrutan mental atau moral hazard. Terhadap sakitnya aneka BUMN atau BUMD, terapi apa see yang tidak pernah dilakukan. Bukankah dulunya BUMN ada di bawah otoritas Departemen Keuangan, kemudian di regrouping menjadi mempunyai kementerian sendiri.
Tentu saja tujuannya agar semua BUMN menjadi terkelola dengan baik, efektif, efisien dan profitabel. Bahkan pada mulanya di bawah komando seorang yang dijuluki ‘ Manager Satu milyar’, Tanri Abeng. Tapi apa hasilnya? Kebijakan dan strategi Tanri yang juga diikuti Megawati untuk melakukan restrukturisasi dan lalu melakukan privatisasi BUMN untuk mendapat dana segar buat membangun dan membayar hutang negara, malah dianggap sebagai pejual asset negara, atau tunduk pada kemauan IMF. Bukankah itu lebih baik dan efisien dari membebani negara dengan permintaan ‘Penyertaan Modal Negara’ yang diambil dari APBN untuk struktur modal BUMN yang sehat ataupun tidak sehat, yang profit oriented dan yang lebih berorientasi sosial. Mungkin Menteri Rini Sumarno yang punya ide PMN itu punya alasan tersendiri, tapi jika jajaran direksi dan komisaris semua usaha milik negara belum terevolusi dan tersaring dengan baik secara mental dan kompetensi, ya sama juga bohong, urusan BUMN selamanya akan bikin pusing kepala saja. Karena di sana orang-orang akan terus-terusan main rollercoaster atau petak umpet.
Kesimpulannya adalah, apapun kebijakan dan tindakan yang ditempuh, jika mental atau karakter warga negara masih miskin dalam arti belum punya modal sosial yang mumpuni terkait dengan sifat-sifat mau saling membantu, mau saling menolong secara resiprokal, bergotong royong , senasib-sepenanggungan, mengedepankan trust dan nilai-nilai agama, budaya serta etika usaha yang tinggi, maka tetap saja kita akan jalan di tempat, bahkan akan sia-sia segala usaha yang kita perjuangkan. Disinilah relevansi perlunya melakukan revolusi mental atau Nation and Character Building. Berpikir terlalu berbelit-belit dan tehnikal hanya akan menghilangkan substansi masalah, apalagi jika memistifikasi hal-hal tersebut. Problem usaha milik negara dan juga usaha nenek moyang adalah, disamping ‘salah urus’ juga ‘tidak lurus’ pengelolaanya. Quo Vadis Madame?
Betapapun, yang ingin juga saya katakan adalah bahwa kita atau kaum ‘ homo economicus’ di manapun ia berada, tidaklah sama sekali meninggalkan agama. Bahkan credo moral kaum kapitalis pun berasal dari Etika Protestan seperti yang diteorikan oleh Max Weber, yang mengajarkan orang untuk hidup bermesu budi alias menjadi orang yang puritan. Dan kebajikan kaum komunis oleh Arnold Toimbee dikatakan punya kaitan dengan Kristen Klenik. Hanya saja agama yang kita anut tak kunjung membebaskan kita dari apa yang namanya split personality, keterpecahan jiwa, paradoks eksistensial, atau mengalami scizoprenia kultural. Dalam ruang lingkup spirit keagamaan, atau di ruang-ruang budaya atau di bait-bait Tuhan ; di Masjid, di Surau, di Gereja, di kelenteng atau di Pura, kita tampak welas asih, berakhlak, santun, rajin beribadah dan penuh doa. Di luarnya, kita tetap tak berdaya melepaskan diri dari kuatnya gaya gravitasi materialisme, hedonisme, konsumerisme, dan ekses modernitas sebagai the mother of greedy, dan prilaku koruptif. Repotnya hal itu tidak lagi bersifat oknumisme, kasuistik, atau terbatas pada beberapa orang atau kelompok saja, tapi sudah mengkolektif luas, bahkan telah membudaya. Untung saja belum ada yang telah berani mengatakan bahwa semua kegilaan itu telah menjadi ‘ Agama’. Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar