Siang itu udara yang panas terik, dan tak bersahabat, memaksaku untuk datang lagi ke sebuah Mall yang terletak di pusat kota Jakarta. Tapi aku tidak langsung ke food court yang ada di basement seperti biasanya untuk makan dan minum sambil menikmati alunan suara penyanyi yang diiringi oleh sebuah organ tunggal. Saat itu aku belum merasa lapar untuk makan, walau waktu makan sudah hampir lewat. Aku hanya lapar ingin melahap isi sebuah buku yang resensinya aku baca di sebuah koran. Naik eskalator, akhirnya aku tiba di sebuah toko buku yang terletak di lantai lima Mall itu. dan dari sanalah bermula kisah lucu dan penuh kenangan ini. Soal sebuah rasa bahagia yang berakhir pilu dan hambar. Tentang beberapa burung yang lepas dari tangan karena jemari tak sanggup menggenggamnya erat. Bahkan ada perang batin yang menyergap tiba-tiba waktu itu. Bagaimana rasanya bila hati merasa senang karena terkesan oleh pertemuan demi pertemuan, menikmati sensasi merasa dibuntuti oleh seorang gadis cantik?, begini ceritanya.
Entah apa maksud gadis itu seperti selalu membuntutiku, setiap kupalingkan wajah dari deretan buku-buku, untuk tengok kiri dan kanan, gadis itu pasti ada di samping, kadang diseling orang, satu atau lebih, kadang tak satupun hingga kami begitu sangat dekat dan mencium harum tubuhnya. Sikapnya selalu berdiri sok serius melembari buku atau majalah di tanganya yang halus, putih, bersih dan lentik jemarinya. Ya, aspek pisik itulah yang bisa kucuri pandang saat itu, sedang wajahnya tersembunyi di balik rambut lurus hitamnya yang tergerai sampai ke siku tangan. Tapi cerita jadi lain ketika dengan tanpa sengaja gadis itu menjatuhkan sebuah buku dari tempatnya, dan aku secara spontan menolong memungutkan untuknya.
Tentu saja aku suka pada kelakuan gadis yang cantiknya nyata memikat hati karena mempesona matanya ketika kami bertatapan waktu ia mengucapkan terimakasihnya padaku. Saat itu aku belum berpikir apa arti tatapannya, hanya terkesan dengan bentuk matanya yang seperti embun pagi. Konon mata begitu akan selalu berada dalam pusaran asmara, namun juga akan sering menghadapi rintangan. Aku membatin bahwa jangan sekali-kali meremehkan arti sebuah mata. Lewat mata akan diketahui cerdas dan bijaksananya seseorang, durhaka atau bodohnya, dan apakah dia punya rasa welas asih atau suka berbakti. Mengetahui bahwa matanya bagus membuat hatiku gembira. Jika mata seseorang tidak bagus, maka sebagus apapun inderanya yang lain, konon ia tak juga akan punya kemujuran hidup. Bila matanya bagus walau indera yang lain kurang ideal, tidak masalah. Nasibnya tidak akan selamanya sial, suatu hari nasib baik pasti akan datang padanya. Begitu bunyi sebuah ilmu ramalan China yang pernah aku baca yang kuanggap ada juga benarnya sedikit. Itulah sebabnya dalam dunia empiris banyak orang yang punya mata bagus sukses dalam hidupnya.
Pada saat bertatapan itu, tak ada senyum yang terlontar diantara kami, hanya hatiku yang kadung menaksir-naksir maksudnya selalu mendekatiku, paling tidak itu yang kurasakan. Dan waktu pikiranku mulai agak GR, aku segera menghalaunya dengan bergumam dalam hati, bahwa banyak sekali insiden, atau kebetulan-kebetulan di dunia ini yang tak perlu disikapi dengan sungguh-sungguh. Toch selama aku jadi pembaca dan pembeli tetap di toko buku itu, aku jarang memperhatikan arti tatapan mata seorang gadis, dan terlibat terlalu jauh dengan akibatnya. Aku pun kembali anteng, karam lagi menelaah isi setiap buku secara global yang menarik keingin tahuanku.
Bila kuingat-ingat, memang ada beberapa kali aku merasa narsis karena merasa diikuti atau paling tidak merasa diperhatikan oleh seorang gadis cantik di Mall itu. Tapi itu pasti karena aku sendiri yang telah membesar-besarkan sebuah moment yang sebenarnya biasa-biasa saja. Sikap orang-orang yang suka cuek, tak perduli pada sekeliling yang memang menyebalkan di Mall bila sedang ramai-ramainya, pastilah yang menjadi latar mengapa ketika satu saja orang melirik atau berjalan di sampingku dengan bergaya dan ramah, akan membuat jantungku berdegup tak karuan, lalu mengkahayal yang bukan-bukan.
Terus-terang kukatakan bahwa sikap gadis di toko buku itu sungguh membuatku senang. Dan ketika gadis cantik itu kulihat datang lagi, lalu duduk di bangku yang tepat berada dibelakangku di restorann ayam goreng, aku pun tersulut api dan perlahan mulai terbakar. Tapi gadis itu takkan merasakan panas di sekujur tubuhku, karena aku cepat-cepat menyiramnya agar tak menjalar liar, aku tak biasa mengungkap rasa yang samar-samar dan belum ada juntrungannya. Jadi aku diam saja menunggu pada apa pun yang akan akan terjadi dan yang mungkin dia lakukan. Ada juga rasa takut dia bersikap ketus bila kusapa. Sungguh gadis itu telah mengaduk-aduk jiwaku.
Dia agaknya saat itu lebih suka sendiri, hanya berteman tas jinjing kecil bermerk dan tas-tas belanjaannya. Aku taksir ada buku-buku di dalamnya. Itulah yang membuat aku suka dan ingin sekali kenal gadis itu. Apalagi kuperhatikan, dia suka sekali mampir di rak buku-buku sastra, musik dan pilsafat. Dalam hati berkata, gadis itu pasti seorang mahasiswa jurusan humaniora yang cerdas, berwawasan luas dan enak diajak ngobrol. Tapi menurutku juga, bukan berarti yang tidak suka buku-buku begituan tidak cerdas dan berwawasan. hanya adanya rasa kemanusiaan dan keindahan mungkin yang akan jadi pembeda. Bukankah sastra, musik dan filsafat itu dekat pada hal-hal tersebut. Berpikir begitu aku jadi tambah bahagia.
Andai aku tak melihat ada sesuatu yang lain di wajah indahnya, aku pasti sudah bersay hello padanya. Tampak wajahnya sedikit tak ceria dalam menikmati ayam goreng yang bumbunya diracik oleh seorang tua dari Kentucky di Amrik yang nun jauh. Saat itu ia tampak tak tenang, agak gugup dari pada ketika berada di toko buku. Tapi apa perduliku, lagi pula mana ada manusia yang tidak dihinggapi masalah, gadis itu toch sudah dewasa. Kubiarkan ia menyelesaikan masalahnya, dan pergi meninggalkannya. Aku pun menuju toko sepatu di lantai satu. Ada sebuah pertemuan penting yang membuat aku merasa perlu membeli sepasang sepatu baru, walau tidak harus yang bermerk dan mahal. Tambahan lagi dompetku tak berat saat itu.
Baru saja aku selesai menjajal sepatu yang kedua, gadis itu kulihat datang lagi, melangkah dengan anggun bak peragawati memasuki toko, dan tersenyum lumayan manis padaku saat mata kami tanpa terencana bersirobok. Kali itu ia tampak lebih dewasa dan anggun. Karena begitu gembira, aku langsung menyetujui sepatu yang tengah kujajal untuk dibawah kekasir oleh sang pelayan. Dengan berani aku menghampiri gadis itu yang sedang melihat-lihat deretan sepatu-sepatu mahal. Tanpa ragu lagi aku langsung menyapanya. Dalam hati sudah terpatri keyakinan bahwa gadis itu sungguh suka padaku. Setelah di toko buku, di kafe ayang goreng dan di toko sepatu itu, apakah aku harus membuang kesempatan dan memeluk kesepian lagi yang selama ini menghujam dalam di hatiku yang kosong. Takut pada kesendirian yang mencekam, rasanya tak sabar lagi ingin segera hidup berpasangan seperti sepatu. Tapi anda mesti tahu apa yang terjadi setelah aku menyapa gadis yang mempesona itu.
Seandainya saat itu ada bom yang meledak di seputar Mall, atau ada seorang menjerit keras karena kecopetan, aku pasti tak perduli dan mau mendengarnya. betapa tidak, siapa yang tidak terperanjat dan terkesima mendengar pengakuan gadis di toko sepatu itu bahwa gadis yang kulihat di toko buku dan di kafe ayam goreng adalah adik-adiknya. Mereka kembar tiga rupanya, wajah mereka nyaris sama, walau ada juga nuansa perbedaan diantara ketiganya. Yang di toko buku lebih putih kulitnya dan lebih cantik. Yang di kafe ayam kurang putih dan bersifat grasa-grusu dan tak tenang. Dan yang bercerita padaku , menurutku adalah ratunya, jika aku boleh bilang begitu. Kiranya tak berlebihan jika aku membayangkannya bagai lukisan asli Ratu Sirikit karya Basoeki Abdullah. Yang lain ibarat reproduksinya.
,
Karena tiga moment di Mall siang itu tak berhubungan satu sama lain secara logis dalam satu kesatuan, maka aku tidak berani berkesimpulan bahwa aku bisa membawa pulang salah seorang dari tiga gadis kembar itu, terutama sang ratu. Lagi pula ia betul-betul berhati seorang ratu, tampak tinggi hati dan penuh gengsi di balik sikap ramah dan cara bicaranya yang berwibawa. Apa iya sang ratu mau diajak hidup susah bila jadi milikku. Memikirkan itu, aku jadi ngeri dan bagai kerang menyurutkan kembali tubuhnya ke cangkang. Aku yakin betul bahwa mereka ke Mall itu naik mobil mewah. Sedang aku kemana-mana kalau tak naik angkot, ya kereta, atau naik ojek, sesekali naik taksi. Lalu apa alasan terlalu berharap dan berlama-lama berada di depan tiga lukisan ratu sirikit itu? Aku pun segera berlalu dan pergi menembus kabut kehidupan yang terasa semakin tebal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar