Sejak jaman baheula manusia sudah punya kecendrungan untuk melakukan kontak, dialog dan berkomunikasi dalam ranah sosial -budaya, ekonomi, atau politik. Maka berbagai aliansi dan persatuan diciptakan baik secara tegas ataupun samar-samar. Semua itu bermaksud untuk memperluas network dan informasi, serta kekuatan dalam suatu ‘interpace dan ‘interactivity’ yang instens dan berkesinambungan. Muktamar Tammejarra satu dan dua, Allumungan Batu Luyo di Mandar, Sulawesi Barat adalah contoh sebuah aliansi yang tegas, yang mempersatukan beberapa kerajaan di Pitu Ba’bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu. Tentu saja komunikasi, interaktivity yang terjadi belum seintens dan seluas seperti yang dilakukan oleh manusia-manusia era Syber kultur. Tapi perubahan telah terjadi, dan berpotensi menimbulkan pergeseran budaya yang tak terbendung lagi.
Contoh persatuan samar-samar yang terjadi lewat penaklukan adalah bersatunya dunia barat dengan Timur oleh aksi perang Iskandar Yang Agung, Raja Macedonia terhadap Raja Darius,Raja di Raja Persia. Sejak itu maka secara informal terjadilah interaksi dan kawin mawin antar penduduk dua kutub yang intens, bahkan beberapa kerajaan di Nusantara menjadikan Iskandar Sulkarnain sebagai bapak moyang mereka. tentu saja itu hanya dongeng untuk meggapai kewibawaan dan kehormatan dari dunia sekitar. Tapi para raja, semisal di Negeri Melayu, atau di Minangkabau menganggap semua itu hal yang nyata. Dalam hal ini konsep ‘ Simulations dan Simulacra’ dari Jean Baudrillard dimulai. Dongeng atau mitos telah dianggap sebagai suatu yang real. Eksistensi Iskandar agung kaitannya dengan nenek moyang tidak lagi dianggap sebagai cerminan realitas, tapi telah menjadi realitas itu sendiri ( Hypperreality). Persis sama ketika orang-orang di wilayah Sulselbar menganggap bahwa mereka adalah keturunan To Manurung yang datang dari langit. Jadi orang jadul sudah bermain ‘dunia maya’ di atas dunia nyata. Dan sekarang skala, intensitas dan pengaruh dunia maya sudah tak terkira lagi.
Bagi yang tidak siap terhadap perubahan serta cenderung reaktif dalam menanggapi segala hal, maka datangnya era budaya cyber atau dunia virtual akan membuatnya mengalami ‘shock cultural’ atau geger budaya. Tapi bagi yang selalu bersikap optimis dan memandang ke depan, maka segala lagak-lagu komputer atau internet akan dianggap sebagai hal yang biasa saja, sebagaimana lumrahnya manusia yang pasti mengalami fase lahir, tumbuh, dan mati. Golongan pertama tentu saja akan bersikap bak putri malu yang secara otomatis bangkit kekuatan sentripetal di dalam dirinya, mengkerut dan mencari pertahanan ke dalam, dan menarik diri. Atau yang lemah, sekalian akan melakukan gerak sentrifugal lalu tersesat dan menghilang entah kemana. Sedangkan golongan penyikap yang ke dua akan bertindak bijak dan tidak otomatis bergerak secara sentrifugal, berlari ke luar, tapi bisa juga malahan melakukan gerakan sentripetal, tergantung keperluannya atau menilik pada analisis situasi atau kondisi.
Manusia reaktif adalah dari sononya sudah tak berdaya melawan kekuatan-kekuatan determinis yang berdaya tarik dan berdaya tekan kuat. Kebebasan berpikirnya sudah lama lumpuh oleh tanaman superegonya yang begitu dominan dan muncul dari lingkungan budayanya yang etnocentris dan narsis. Sejak muda sudah diajari untuk menghindari hal-hal asing yang bisa merusak jati diri dan tatanan moral yang built in begitu saja di jiwanya. Sedang yang proaktif akan punya rasa percaya diri yang besar dan kukuh serta menanggapi segala angin badai sebagai potensi dan sarana untuk dilayari atau berselancar di ombak tinggi.
Bagi sementara orang keberadaan internet akan membuatnya semakin rajin,yang lain malah jadi malas. Yang tadinya malas bisa menjadi rajin, sedang yang mulanya rajin jadi malas. Tergantung bagaimana menyikapi perangkat aneh, pintar dan menggoda tersebut. Seharusnya see, era keterbukaan yang ditawarkan internert membuat setiap orang jadi bangkit. Karena segala batasan, sekat dan ketertutupan akses sudah dijebol dengan adanya internet atau dunia virtual. Saya adalah salah seorang yang dulunya punya minat lumayan besar pada sastra dan dunia tulis menulis tapi sangat malas untuk datang ke meja para redaksi media konvensional untuk sekedar memperkenalkan karya, tambahan pula malas mengetik di mesin ketik yang sehat dan sakitnya bisa datang tiba-tiba. Namun kini di era internet, fb dan blogger ini, saya jadi sangat rajin menulis atau sok membuat puisi atau esai. Apakah kan dinilai bagus atau tidak oleh warga dunia maya, itu hal yang sangat tersier, yang penting saya sudah merasa telah tertransformasi oleh budaya cyber ini.
Dengan segala kemudahan dan kenyamanan, serta aneka aplikasi yang ada, seorang teman malah telah jadi korban internet, ia kini menjadi tergila-gila bermain video game, nonton film, dan melihat situs-situs aneh yang lain. Usianya yang sudah tua tak menghalanginya untuk menikmati segala yang canggih dan enak punya di internet. Jika laptopnya sedang meradang atau lemot, maka ia akan uring-uringan sendiri, lalu pergi mencari warnet untuk melampiaskan hasratnya yang tertunda. Dia telah keenakan dan lupa diri oleh komputer, dan sama sekali tidak memamfaatkannya untuk aktualisi diri dan mengembangkan bakatnya yang terpendam sebagai seorang yang katanya juga senang pada sastra. Apalagi pikiran untuk berbisnis on line, hal itu jauh dari wawasannya yang sudah rusak oleh aneka game yang melimpah di internet. Dia hanya bermain dan bermain sepanjang waktu dengan laptopnya.
Terkait dengan soal identitas, ada orang yang kian menguat identitas dan jati dirinya oleh keberadaan internet. Jenis manusia positif ini jauh dari pengaruh sensasi dunia maya dan punya kepibadian kuat untuk menghindar dari tarikan-tarikan kekuatan negatif dunia cyber. Secara akademis, orang macam itu masuk dalam kategori ‘ the Enlightement Subject. Ia takkan menjadi dasamuka di facebook, dan merobah identitasnya sewaktu-waktu. Jika berteman dengan fesbuker cantik, takkkan mendadak jadi Cassanova, atau berlagak jadi Datuk Meringgih yang punya banyak harta untuk dipersembahkan kepada sang pujaan yang mungkin juga penuh dengan kepalsuan. Di dunia maya fenomena buaya dikadalin bisa saja terjadi. Subjek yang tercerahkan dari sononya juga tidak akan berusaha membuat pengakuan instan dengan hanya mengapload foto selfinya makan direstoran anu dengan orang terkenal misalnya. Atau mempublis makan ayam gorengnya yang tampak nikmat dan mewah, padahal biasanya hanya makan dengan lauk tahu-tempe. Atau mengkopas satu dua puisi bagus dari penyair bagus yang dirahasiakan lalu menandatangainya secara sewenang-wenang.
Manusia yang cenderung sangat adaptabel dan pleksibel kaya bola bekel di medsos itu oleh Stuart Hall dalam bukunya ‘ The Question of Cultural Identity’ di sebut ‘ The Sosiological Subject’. Ia tercipta dari pergaulan dan aneka interaksinya di medsos-medsos. Jika di dunya jiwanya cendrung stabil, kini di dumay sangat terfragmentasi atau pecah berkeping-keping jadi beberapa identitas yang berbeda serta berlawanan satu sama lain. Kadang jadi sok menjadi ustads atau paranormal yang penuh cinta di hatinya ( lovers), di kesempatan lain berubah jadi seorang anarkis yang jadi bagian dari ‘the hatters’. Pokoknya ia bermetamorfosa ‘ depend on the social landscapes out there”.
Sedangkan yang masuk kategori The Post Modern Subject’ sejak awal sudah menganggap diri mereka sebagai identitas yang bergerak secara konstan, dan selalu berpanta rei dari waktu ke waktu dalam dunia sejarah. Bagi mereka identitas adalah konstruksi diri sendiri untuk memuaskan diri sendiri. Mereka Ini kebalikan orang-orang yang sangat sosiabel dan sangat deterministis, mereka begitu percaya diri dan harga diri tinggi sehingga bagi mereka perubahan hanya bisa bergerak secara internal. Tidak berpasrah diri dan mau didominasi, mereka eksemplar manusia inderminisme par excelence, dan sangat pragmatis, dimana yang dipikirkan hanyalah melulu kegunaan dan efisiensi.
Jika manusia post modernis punya kecendrungan anarkis dan menolak segala pembatasan dan aturan, sedang yang subjek sosiologistis sangat labil dan rentan, maka manusia pencerahan punya kecendrungan untuk bersifat totaliter sebagaimana yang diteorikan oleh Adorno. Manusia yang tercerahkan dengan kecanggihan dan ketinggian ilmunya akan kembali ke dunia mitologi lagi. Adorno melihat gejala tersebut dalam ideologi Nazismenya Hitler yang telah menggabungkan unsur-unsur modern ( ketinggian teknologi dan industrialisasi) dengan elemen-elemen kuno dan mitologi ( anggapan bahwa ras Arya adalah ras termurni ). Singkatnya manusia pencerahan yang tadinya mendelete aspek irasional kehidupan kini kembali secara tidak langsung maupun langsung mengkreate kembali ilmu dan teknologi sebagai sistem ideologi yang kembali ke dunia mitology.
Manusia modern yang konon telah tercerahkan kini menggunakan akal sehatnya untuk mendominasi, adorno menyebutnya ‘ Instrumentasl reason’. Pengetahuan alam dan dunia sosial serta aspek teknologinya ( dan juga teknik tinggi dalam mengkomputasi banyak aspek kehidupan dan kerja,pen), telah digunakan untuk mengontrol dan eksploitasi, seperti yang terwujud dalam sistem kapitalis, bukannya membebaskan manusia. Teknologi telah menjadikan manusia sebagai sarana belaka, atau komoditas, bukan menjadi tujuan. Tapi semua ini adalah teori kritis dari Theodor Wiesendgrund Adorno yang bisa juga dinafikan dengan metode ‘ Immanent Critique’ ciptaannya sendiri. Satu yang pasti bahwa Adorno dengan gagahnya telah mengatakan “ Hidup telah menjadi ideologi bagi ketidak hadirannya sendiri”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar