Ada sebuah anekdot yang sudah sangat terkenal di negara ini tentang seorang Ambon yang terpeleset jatuh karena menginjak sebuah kulit pisang Ambon. Lalu yang terpeleset marah dan nyeletuk,” Suku makan suku!” dalam logat Ambon yang kental. Beginilah yang terjadi sekarang di repupblik ini, dimana antara sesama petinggi ; Menteri, anggota DPR, Kepolisian, KPK, atau Jaksa Agung saling sikut dan menjatuhkan satu sama lain. Bahkan seorang pengamat mengatakan mereka telah saling mematikan.
Politik gaduh yang saling memangsa yang telah kita nikmati bersama antara lain adalah perseteruan Polisi vs KPK, atau adu kuat Cicak lawan Buaya jilid tiga, perang kekuatan antara seorang Menteri dengan seorang ketua DPR. Dan yang terakhir adalah saling menjelekkan kinerja antara sesama menteri, dengan adanya evaluasi kenerja para menteri dan kementrian oleh Kemenpan Rebiro. Ini berpotensi merusak tatanan etik ketatanegaraan, moralitas publik, serta menguncang kebersamaan antar lembaga yang sudah koyak-moyak selama ini. Secara tidak langsung tindakan Menteri PAN itu telah merugikan dan merendahkan kementrian lain, sekaligus menguntungkan diri sendiri. Apalagi kementrian PAN sendiri menyebut dirinya sebagai berkinerja terbaik nomor tiga, wah.
Rakyat sendiri pun belum tahu persis apa sesungguhnya yang telah dilakukan oleh kemenpan, atau prestasi luar biasa apa yang telah diukirnya selama ini. Jika hanya melarang ini itu dan menindak atau melakukan penghematan anggaran terhadap setiap unit kerja kementrian, itu see bisa dilakukan oleh siapa saja. Apa hebatnya melarang para pegawai negri untuk melakukan rapat-rapat atau seminar di Hotel-hotel. Itu mah hal yang normatif saja, bisa diikuti bisa tidak, dan tergantung efektivitasnya dan kemaslahatannya. Lagi pula biaya rapat-rapat tersebut tidak besar-besar amat, malahan bisa menambah penghasilan para pegawai swasta yang bekerja di Hotel, pekerja catering, para artis penyanyi misalnya. Jadi ada juga unsur positifnya, semacam subsidi silang begitu.
Tidak etis rasanya jika keharusan melakukan evaluasi terhadap kinerja sesama pembantu Presiden dipublikasikannya ke media-media, ini bisa menimbulkan ketersinggungan, karena betapun para menteri yang dinilainya itu juga ‘Manusia’ yang masih butuh kerja dan penghormatan. Tambah lagi Menteri PAN juga berasal dari sebuah partai politik, jadi bisa dinilai telah melakukan politicking, dan akan menimbulkan resistensi lagi atau dendam politik. Dalam hal ini saudara Yuddy Chrisnandi bisa dianggap telah mencuri start, juga bisa dianggap telah mencari selamat sendiri. Betapapun Kemenpan dan Reformasi Birokrasi tidak berada di luar penilaian Presiden, tetap dalam bagian yang mesti dinilai kinerjanya untuk di reshuffle. Bukan seperti lembaga KPK yang dulu diberi wewenang untuk menilai pantas atau tidak seorang pembantu presiden untuk diangkat.
Tentu para menteri dari berbagai partai politik yang telah dinilai rendah kenerjanya takkan menerima begitu saja evaluasi terbuka itu, karena ini menyangkut kredibilitas di mata publik, nama baik kementriannya dan nasib peruntungan ke depan, secara ekonomi maupun politik. Akan ada pertanyaan tentang objektivitas, kriteria penilaian dan metodologi survei yang bisa dipertanggung jawabkan. Kalaupun semua itu sah dan valid, orang juga akan mempertanyakan motif menteri Yuddi yang masih muda itu, apalagi sekarang sedang panas-panasnya issue reshuffle kabinet. Maka kecurigaan bahwa Yuddi sedang bermanuaver politik dan cari selamat memang akan sangat besar. Jadi rasanya tidak selalu tranparancy itu menimbulkan hal positif, apalagi jika tidak ada keharusan untuk itu. betapapun semua tergantung pada Presiden untuk mengambil kata putus, apakah akan percaya pada penilaian menteri Yuddi dan menjadikannya bahan untuk melakukan resuffle. Yang pasti dalam masalah krusial itu Presiden lah yang punya hak prerogatif dan takkan bisa dipengaruhi apalagi didikte.
Menurut Pasal 17 UUD 45, Presiden berhak penuh mengangkat, memberhentikan, mengganti menteri-menteri dan tidak diperlukan adanya badan semacam formatur yang secara kolektif setara dengan Presiden untuk melakukan pergantian meteri. Hanya presiden sorangan wae yang berhak untuk mengadakan regrouping, reshuffle, menyusun komposisi dan personalia kabinet, berpedoman pada efisiensi kerja berdasar pada prinsip the right man on the right place, kinerja dan loyalitas penuh tentunya. Jangan sampai terdapat bi-loyalitas, kepada presiden dan kepada partai.
Lantas kemana Presiden mempertanggung jawabkan hak istimewanya itu? tentu saja sekarang langsung kepada rakyat, Pancasila serta Konstitusi. Menurut UUD hasil amandemen, MPR tidak lagi dianggap jelmaan rakyat yang berhak memilih dan mengangkat Presiden dan wakilnya. Presiden tidak lagi berkewajiban mengikuti GBHN yang dulu dibuat oleh MPR setiap lima tahun sekali. Jadi dewasa ini Presiden sangat powerful dan merdeka sekali. Tidak lagi punya ketakutan untuk sewaktu-waktu diberhentikan ditengah jalan, kecuali melakukan skandal dan perbuatan jahat yang sangat parah.
Karena Presiden atau kekuasaan eksekutif tidak lagi beroleh batasan-batasan politik dan yuridis oleh MPR seperti dulu, maka justru Presiden harus lebih berhati-hati dalam memilih dan mengangkat para pembantunya kini. Citra presiden juga tercipta dari prikelakuan para menterinya, karena mereka sejatinya berada di front depan sebagai pelaksana kekuasaan eksekutif yang nyata. Mereka jugalah yang akan menjadi pintu masuk bagi robohnya wibawa kepresidenan, dus pintu gerbang kekuasaan. Baik buruknya presiden di mata rakyat, tergantung baik buruknya kinerja dan prilaku para manterinya. Jika seorang menteri berlagak jadi diktator, maka rakyat akan menilai bahwa Presidenlah yang super diktator. Jika para menteri klamar-klemer, maka Presidenlah yang akan dianggap sebagai yang ngga becus.
Jika harus melakukan rehsuffle yang kedua, maka lakukanlah dengan hati-hati dan cermat. Jangan sampai ada reshuffle dan reshuffle lagi ke depan. Karena akan jadi bumerang bagi Presiden, dan dianggap sebagai kerja mencari si kambing hitam melulu. Apakah dalam reshuffle ke dua akan mencerminkan zaken kabinet atau politik dagang sapi, itu nomor dua. Karena orang benar dan bisa kerja ada dimana-mana, bisa ada di partai politik atau di mana saja. Menarik apa yang pernah dikatakan oleh mantan Perdana Menteri China, Deng Xiaoping. Beliau ini di jaman Mao Zedong adalah Waperdam, dan pernah disebut oleh Henry Kissinger sebagai “ Orang Busuk’ karena gemar bicara kasar. Bahkan dengan ketua Mao pun ia bersimpang jalan, dan jalan yang ditempuhnyalah yang terbukti telah membawa China maju sampai sekarang. Prinsipnya dalam konteks reshuffle adalah “ .....tak jadi soal apakah seekor kucing putih atau kucing hitam asalkan bisa menangkap tikus.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar