Manusia memang makhluk aneh yang penuh dengan keterpecahan di hatinya, di satu pihak mendamba kedamaian dan ketentraman, di lain waktu sangat berhasrat pada petualangan, coba-coba, dan prilaku main api. Sudah tahu perang berbahaya dan membunuh banyak orang, tapi toch dipraktekkan terus, paham riskannya mendaki puncak gunung tinggi yang terjal dan bersalju, tapi terus saja diterjangnya. Samudra penuh gelombang dan ikan predator, di lintasinya juga walau hanya dengan perahu kecil, kutub yang dingin di terjangnya. Petasan dan kembang api berbahaya, tapi tetap dibakarnya juga. Semua demi sensasi dan nama yang terukir sebagai yang nomor satu, yang paling hebat. Memang peradaban berawal dan lahir dari kebiasaan main-main dan beresiko itu, sebagaimana Kolombus telah menemukan Amerika, karena suatu obsesi untuk membuktikan dunia ini bulat.
Simone De Beauvoir adalah filsuf yang menemukan ambiguitas pada diri manusia, terutama dari kalangan intelektual, seniman dan para pemikir. Dalam bukunya ‘ The Ethics of Ambiguity’, ia ingin menunjukkan betapa tidak mapannya kondisi manusia. Baginya, titik awal dari etika adalah pengakuan atas ambiguitas, yaitu pengakuan atas cara-cara yang melibatkan subjektivitas dan objektivitas dalam situasi saat sedang membuat pilihan etis dan penilaian. Sifat mendua ini juga terlihat dalam memandang eksistensi dan pengaruh sience dan teknologi terhadap kehidupan manusia. Ada manusia yang ketakutan pada teknologi yang begitu ekspansif dan serba mengancam, ada yang malahan ingin mengembangkannya sampai ke tingkat yang sangat rumit dan canggih dan dianggap sebagai lambang evolusi kemajuan manusia. Di masa lalu pun telah terjadi pertentangan antara Gus Dur versus Habibi tentang keberadaan IPTN atau teknologi nuklir di Indonesia.
Seorang penyair dan intelektul Indonesia, Abdul Hadi WM yang pernah mengatakan “ masih perlukah puisi ditulis?...untuk apa,... masih perlukah kita memimpikan perdamaian? Di tengah kekuatan militer negara-negara superpower yang apabila mau dalam sekejap saja sanggup meratakan separuh isi dunia.” Dan yang lebih eksrim pesimismenya terhadap keberadaan sastrawan, seniman, atau penyair di era technology canggih ini adalah Romo Mangunwijaya yang mengatakan antara lain “Dalam suatu organisasi raksasa yang semakin besar, semakin rumit, semakin terpadu, setiap benih keunikan atau keberanian eksperimental gaya seniman, jelas akan diberi arti seperti kanker. Dan mana ada kanker yang diberi hak hidup dalam suatu organisme yang sehat.....Dalam suatu masyarakat yang konsekwen rasional mengikuti pola-pola sains dan teknologi modern dan berkerangka achievement society, setiap jenius yang kreatif namun di luar komando struktural DNA, apalagi yang bersama Khairil Anwar berseru ingin menjadi binatang jalang lepas dari kawanan, tidak bisa lain harus dianggap anarkis dan perlu dilasso agar jangan menabrak dan merusak instrumen-instrumen halus komputer...”
Pesimisme sekaligus kekaguman bercampur ketakutan terhadap ekspansi applied scince dari para intelektual dan seniman di luar rumpun negara-negara teknologi juga berkelindan dengan gema suara para bijak yang berada di jantung teknologi itu muncul. Maka simaklah anjuran Filsuf dua benua Eropa dan Amerika, Bertrand Russell, agar manusia kembali tafakkur dan lebih banyak berkontemplasi agar bisa selamat menyebrangi jembatan dunia yang semrawut dan amburadul oleh kecanggihan ilmu manusia dan segala rupa terapannya. Lebih lanjut Russell menulis,” The world at present is full of angry self centered groups, each incapable of viewing human life as a whole, each willing to destroy civilization rather than yield an inch. To this narrowness no amount of technical instruction will provide an antidote. The antidote, in so far as it is matter of individual psychology, is to be found in history, biology, astronomy, and all those studies which, without destroying self respect, enable the individual to see himself in his proper perspective....”
Apa yang dikonstatasi Russell di atas mungkin terpengaruh oleh himbauan pujangga India Rabindranath Tagore yang dulu pernah berceramah di Inggris dan mengatakan “ Sejarah ini telah tiba pada suatu tingkatan dimana manusia susila, manusia yang komplit, lambat laun membuang dirinya dalam kebanyakan hal dengan tiada setaunya sendiri, yaitu untuk menyerahkan dirinya pada politik dan perniagaan, manusia yang tujuannya terbatas. Proses ini, ditambah dengan kemajuan ilmu pengetahuan yang menakjubkan memperoleh proporsi dan kekuasaan yang maha besar, dan menyebabkan runtuhnya neraca susila manusia, serta menggelapkan sifat kemanusiaannya....”
Terhadap keperkasaan ilmu pengetahuan yang dianggap telah membabi buta dan menggurita aplikasinya, Henry Adam berkata,” My belief is that science is to wreck us, and that we are like monkeys monkeying with a loaded shell ; we don’t in the least know or care where our practically infinites energies come from or bring us to.” Bahkan seorang filsuf eksistensialisme, Soren Kierkegaard berani mengatakan “ sience is the sacred cow of our century, that increasing mass of drivel.”
Namun kekhawatiran para pemikir di atas masih tergolong kuno dan ada di dataran tekhnologi tepat guna yang masih bisa diramalkan prilakunya, katakanlah masih bermain di sekitar teknologi persenjataan, pesawat canggih, roket atau televisi. Karena pengagum kebudayaan material, dan peradaban ilmu dan teknologi manusia telah mengasumsikan bahwa sedari awal sejarahnya manusia sudah akrab dengan hal-hal tersebut, bangsa China telah menemukan bahan mesiu atau dinamit sejak lama. Banyak antropolog, arkeolog kini percaya bahwa ada sebuah peradaban mendunia berteknologi tinggi yang maju di bumi pada masa 4000 SM. Menurut tesis Dr. Khalil Messiha, dan para pakar Egyptologi , bahwa bangsa Mesir kuno sudah punya teknologi pesawat terbang. Hal sama juga ditemukan di India di masa pra-Arya. Adanya mesin-mesin jet telah disebut dalam teks-teks sansekerta. Yang terbaik adalah yang dipublikasikan pada tahun 1956 dalam laporan yang panjang berjudul “ Yantras or Mechanical Contrivances in Ancient India.” ( Yantra atau Akal Mekanik di India Kuno ) oleh V. Raghavan. Setelah membandingkan keaslian dan keandalan teks itu - yang asli ditulis oleh seorang bernama Bhoja, dia berkata :
“ Yang paling aneh dari antara yantra-yantra yang dijelaskan oleh Bhoja dalam bab ini tentu saja, yang dapat naik ke udara dan terbang ke udara.....pertama-tama Bhoja menyatakan bahan utama badanya sebagai kayu ringan, laghu-daru, bentuknya seperti burung yang besar, mahavinhaga, dengan sayap di kedua sisinya. Tenaga penggeraknya kemudian dijelaskan : di bagian perut sebelah bawah, ada sebuah tungku api dengan merkuri yang diletakkan di atas api. Tenaga yang di hasilkan dari pemanasan mercuri, didukung oleh aksi kerja sama kedua sayap yang dikepakkan oleh pengendara di dalamnya, membuat yantra itu terbang dan mengadakan perjalanan jauh ( dura).
Di era budaya cyber dewasa ini, orang seperti tak lagi punya pilihan terhadap pengaruh kecanggihan dan kompleksitas tekhnologinya yang besar. Kehidupan pasca modern yang telah sangat technologized dewasa ini oleh kolaborasi kompleks industri – media dan juga militer, oleh Paul Virilio dianggap telah menimbulkan ‘teaterikalisasi virtual atas dunia nyata’. Ketika media telah begitu invasif dan ada di mana-mana, maka demokrasi yang bercorak parsipatoris telah berubah menjadi sekedar perangkat lunak untuk hiburan dan kontrol bagi semua penonton. Kecepatan dan percepatan informasi telah mencipta ‘ efek mengkerut global , tidak ada lagi di sana atau di sini. Yang ada hanya kebingungan mental tentang realitas dekat dan jauh, sekarang dan masa depan, nyata dan tidak nyata – suatu percampuran utopia atas sejarah, berita, halusinasi dari teknologi komunikasi. Secara hiperbolik Virilio mengatakan di abad dua puluh ini terjadilah yang disebut ‘ movement create the event’ ( gerak menciptakan peristiwa), information explodes like a bomb ( imformasi meledak seperti bomb ).
Dewasa ini manusia telah berada di era cyberculture dengan aneka ilusi dan dampaknya yang menjanjikan sekaligus mengerikan. Manusia dipaksa berada pada realita ‘ consensual hallusination’. Sesuatu yang sejatinya maya, telah diyakini sebagai suatu yang nyata. Anak-anak yang bermain video game meyakini betul bahwa pengalamannya bermainnya itu adalah nyata. Ruang, bangunan dan benda-benda yang ada dalam vidoe mereka dianggap sebuah kenyataan meski tak terjangkau. Bahkan manusia sekarang beranggapan bahwa apa saja yang ditelorkan secara virtual adalah sesuatu yang pasti bagus dan benar, serta gaul punya. Maka eksistensi gojek pun di relatifkan pelanggarannya, orang yang naik gojek seolah merasa telah menjadi bagian dari dunia cyber yang bergengsi. Bahkan orang bangga menjadi penjaja sex on line. Singkatnya, karena dunia cyber memberi peluang untuk penghilangan identitas, dan pemunculan segala yang bernama kepalsuan. Maka apapun telah menjadi serba relatif di sana.
Sebuah ironi bahwa Informasi teknologi yang sangat jejaring telah membuat kita buta terhadap realitas apapun. Bahkan kita sudah mengalami kesukaran untuk membedakan mana kecelakaan betulan dan kecelakaan rekayasa. Aksi teroris di Kota Paris, bukannya mengundang keprihatinan bersama, malah menciptakan keraguan dan sebuah anggapan tentang lelucon spionase tingkat tinggi. Hal yang sama pada perang di Ramadi antara tentara tentara Irak dukungan sekutu dan Rusia versus ISIS. Bahkan tentang pengejaran teroris di negri sendiri. Entah siapa yang menang dan kalah di arena virtual tersebut. Jangan-jangan yang terjadi seperti yang disinyalir Virilio adalah ‘kudeta data’ ( data coup d’etat) yang telah mengalihkan tujuan pertempuran dari menangkap musuh menjadi menawan musuh melalui ‘ media complex. Jika pencinta lingkungan mencoba membangkitkan kesadaran dunia dengan peringatan tentang kemungkinan penggurunan ekologis atas planet ini, dunia cyberplace telah berbicara tentang penggurunan kronologis atas waktu, oleh sinergi negatif dari integral accident.
Ketika di mana-mana, di segala sudut benua, orang berkumpul secara otomatis pada satu tempat dalam spirit yang sama untuk merayakan pergantian tahun, bersenang-senang, dan berboros-boros ria, serta untuk melakukan bakar-bakaran ; ikan, uang, bensin, petasan, kita tak lagi bisa mengindetifikasi imformasinya sebagai suatu yang nyata atau maya, atau terjadinya kapan. Benar atau salahnya sama saja, paling tidak apa yang mereka lakukan tak lagi bisa disebut suatu perjalanan waktu, dari masa lalu ke masa depan. Tak ada lagi penilaian moral otentik pada Trilyunan rupiah yang telah meledak dan terbakar di udara menjadi debu yang sia-sia, menjadi partikel dan sampah yang merusak kepekaan kemanusiaan kita, dan menimbulkan sustainble kerusakan lingkungan dan global warming yang parah. Jika uang dan keserakahan telah menimbulkan kebakaran hutan-hutan di Indonesia tempo hari, maka hasrat kepongahan, keterlupaanlah serta konsensual halusinasi yang telah memicu ‘Kebakaran Udara’ di malam pergantian tahun ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar