Salah satu butir konsep ‘ Trisakti’ Bung Karno yang sekarang ingin kita galakkan berlakunya adalah ‘ Berkepribadian dalam Budaya’. Artinya adalah kita mesti punya jati diri dan identitas budaya sendiri sebagai bangsa. Kita berpikir dan bertindak atas dasar pertimbangan akal budi kita sendiri berdasar pada agama dan pandangan hidup kita sendiri, sebagaimana yang sudah dicontohkan atau dipraktekkan oleh nenek moyang dan para pendahulu. Jika di luar sana ada seorang pejabat tinggi mundur karena satu sebab yang berada di luar perhitungannya, walau halnya berada di bawah tanggung jawab pekerjaannya, misalnya satu bencana yang menimbulkan kerugian nyawa atau materi yang besar, kita nggak usahlah berprilaku dan bertindak begitu, mengapa harus mundur?. Kita kan bangsa yang berbudaya ‘Maritim’ yang salah satu prinsipnya berbunyi “ Jika layar sudah terkembang, pantang untuk surut kembali, walau gelombang menggulung dan dihadang seribu masalah’. di Mandar berbunyi ‘ Takkalai disobalang, dotai lele rupu dadi tuali di alangang”.
Mundurnya PM Korea karena sebuah kapal feri yang tenggelam, jangan-jangan hanya mengkopas budaya mundur bangsa Jepang yang telah diperagakan oleh banyak pejabatnya pada berbagai masalah. Padahal Jepang jelas-jelas telah mempraktekkan akar budayanya sendiri yakni ‘ Harakiri’ dan semangat ‘Bushido’. Budaya mundur di Jepang adalah derivasi dari spirit Harakiri itu. Prinsip orang Jepang memang lebih suka bunuh diri dari pada gagal dalam tugas, bahkan banyak pelajar yang bunuh diri hanya karena gagal masuk pergurun tinggi ternama. Orang Jepang pantang mengalami kekalahan atau menyerah pada musuh dalam satu peperangan. Makanya dalam perang dunia ke dua banyak tentara Jepang yang membelah perutnya sendiri dengan pedang dari pada jadi tawanan tentara Amerika. Mentalitas Harakiri orang Jepang tentu sesuai benar dengan pandangan hidupnya sendiri yang bersumber dari keyakinan agamanya yang sangat menjunjung dan menjaga martabat diri dan Kaisar mereka sebagai penjelmaan Matahari. Berkelindan dengan budaya Shame Feeling dan Guilty Feeling sebagai seorang ksatria atau bushido yang Nasionalis dan berjiwa patriot.
Dahulu para antropolog barat sempat dibuat bingung dengan adanya fenomena harakiri serdadu Jepang tersebut. Mereka berusaha mencari penjelasan rasional dari harakiri, walau mereka sejatinya tahu latar budaya fenomena itu. Para antropolog tidak yakin sepenuhnya bunuh dirinya serdadu Jepang karena sekedar rasa malu dan ingin menjunjung kaisar dan bangsanya. Mereka meyakini tentu ada sebab-sebab psikologis yang bersifat sangat pribadi. Akhirnya diketemukan sebab yang lain, bahwa para serdadu nekat itu hanya ketakutan jika diperlakukan tidak wajar atau akan disiksa dan dibunuh olah tentara Amerika jika mereka ketangkap. Maka para antropolog memberi rekomendasi untuk memperlakukan tawanan perang Jepang lebih manusiawi. Dan sejak itu banyak tentara Jepang yang tidak melakukan harakiri, dan rela menjadi tawanan perang.
Prinsip bangsa Indonesia, terutama yang dipraktekkan di masa perjuangan ‘ Maju terus pantang mundur’ ( ever onward never retreat) ngga jelek-jelek amat, karena itu menunjukkan karakter mau menghadapi masalah seberapa pun besarnya. Ini sesuai dengan psikologi modern yang menganjurkan setiap orang pada segala tingkatan dan masalah untuk menghadapi masalah dan deritanya dengan utuh, penuh dan kreatif. Kita belajar dari masalah dengan menghadapi dan menjalaninya sendiri, agar bisa lebih dewasa, arif dan cerdas kelak. Kalau setiap ada masalah lantas mundur, kapan suatu masalah bisa menjadi satu pembelajaran. Jika tahun ini masih belum mencapai target, ya tahun depan barangkali bisa. Jika tahun ini ada lebih enam juta mobil berkeliaran di jalan dan menyebabkan kemacetan parah, panjang dan lama, tahun depan kapan mudah-mudahan tidak lagi. Yang penting mau belajar dari pengalaman sendiri. Nah, katanya kuncinya adalah ‘ belajar dari pengalaman’.
Ada yang mengatakan bahwa kementrian perhubungan tidak becus mengantisipasi masalah angkutan pada liburan Maulud Nabi dan Natal tahun ini. Lho, memangnya urusan traffic jam sepenuhnya menjadi urusan Kemenhub. Bukankah kemacetan di wilayah DKI, Jawa Barat atau daerah lain, adalah dibawah tanggung jawab para Gubernur. Di DKI misalmya, bukankah Ahok yang telah berjanji bisa mengurai kemacetan di Jakarta?, di Kemenhub tak ada janji begitu. Itu artinya urusan kemacetan jalan ya lebih banyak menjadi tanggung jawab para Gubernur. Dan apa juga kerjanya Polantas, bukankah tugasnya untuk mengatur lalin hingga tak terjadi kemacetan. Andai pada libur panjang kemaren tidak tersedia kecukupan kereta, pesawat terbang, kapal penumpang laut, atau mobil angkutan umum, itu baru tanggung jawab orang-orang di Kemenhub.
Lagi pula jutaan mobil yang hendak Maulidan dan Natalan kemaren adalah mobil pribadi. Siapa yang bisa mengatur orang untuk tidak pakai mobil ke Bandung jika hendak Natalan, dan menyarankan untuk naik kereta atau pesawat terbang. Dan siapa yang mampu menahan orang untuk beli mobil, walau dewasa ini perbandingan mobil yang terjual dengan banyaknya jalan yang tersedia sudah sangat timpang. Jika pertambahan jalan menurut deret hitung, sedang penjualan mobil menurut derat ukur. Ya, tanpa ada Maulid, Natal dan Tahun Barupun akan tetap terjadi kemacetan di mana-mana, hanya mungkin tak separah kemacetan yang membuat Joko Sasono mundur. Namun jika kita tak belajar dari kasus tahun ini, kemacatan tahun depan mungkin akan lebih parah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar