Sabtu, 26 Desember 2015

PIJAT REFLEKSI KEPALA AKHIR TAHUN

BAJU KOTAK – KOTAK


Pernah di suatu masa, aku dan hampir semua anak kecil, remaja, atau para pemuda di Indonesia, atau manca negara menggilai kemeja bermotif kotak-kotak. Semasa masih sekolah dasar – tepatnya sekolah rakyat, di Majene, aku akan sangat girang jika ibuku yang sudah lebih dulu tinggal di Jakarta mengirimi aku bahan pakaian kotak-kotak. Sehingga baru saja jadi dalam bentuk ‘baju’ oleh tukang menjait, aku sudah mengenakannya pergi kemana-mana, berkeliling kota ; ke pantai, ke gunung, ke toko-toko, ke sungai, bahkan ke pasar, untuk memamerkannya. Aku telah menjadikan baju kotak-kotak sebagai ‘Aku’ kramadangsa. Berdasar kategori konsep diri William James, aku spritual sebagai sang pemikir, atau aku sosial, lenyap dalam hujaman aku benda yang gila baju berkotak-kotak, aku adalah baju kotak-kotak. Semua foto masa kecilku di Majene, Mandar, didominasi oleh unsur kota-kotak.

Pada masa dewasa di Jakarta, ketika aku mulai suka main musik ‘Country’, akupun karam dalam kebiasaan berkemeja kotak-kotak. Selain karena tuntutan profesi, juga karena memang sedari kecil suka berbaju kotak-kotak. Kostum group contry memang kebanyakan bermotif kotak-kotak. Ini seperti sebuah keharusan, sebagai simbol kedekatan kami pada dunia ‘Wild West’ di Amerika sana katanya. Dengan memakai baju flanel kotak-kotak, banyak pemusik contry yang tanpa sadar mengidentikkan dirinya dengan The Western Hero, bahkan dengan para Gangsters. Padahal memakai baju kotak-kotak oleh siapapun, dan kalangan apapun, hanyalah sekedar mode yang bisa cepat berganti seiring berakhirnya waktu dan selera.

Dalam dunia western, minimal yang kita saksikan di film-film cowboy, pakaian atau kepemilikan tidak pernah beroleh tekanan istimewa. Satu-satu objek pisikal yang paling nyata bagi para westerner atau gangsters adalah Pistol, senapan atau ‘Senjata’ sebagai simbol moralitas dan yang mewakili pantasi para penggemar mereka. mereka sering dijuluki, “Men with guns”, karena senjata telah menyatu dengan kehidupan dan dunia mereka yang liar dan memaksa untuk itu. kita tidak pernah tahu apa kerja mereka yang sesungguhnya , dari mana mereka beroleh nafkah, dan yang paling jelas adalah bahwa jarang para westernes atau para antagonis terlihat berganti kostum selama berlangsungnya drama dan adegan-adegan dalam film. Jika sedari awal sang jagoan memakai baju hitam, maka pada waktu ending pun akan memakai baju hitam. Jika kebetulan di awal pakai kotak-kotak, maka in the end yang juga kotak-kotak.

Sejatinya mengenakan baju kotak-kotak adalah masalah selera, tak terkecuali bagi pemusik country. Baju kotak-kotak tidak identik dengan musik country. Salah seorang pemusik country terkenal di Republik ini, Tantowi Yahya pernah mengatakan bahwa ‘ bermusik country tidak harus berbaju kotak-kotak.” Itulah sebabnya siapapun bisa mengadopsi baju kotak-kotak menjadi bagian dari diri spritualnya, pemikiran dan pilosopisnya. Presiden Jokowi lah yang telah dengan cerdas memamfaatkan baju kotak-kotak sebagai simbol kesederhanaan dan kebersamaan untuk mencapai tujuan-tujuna politiknya. Pada pemilihan gubernur Jakarta beberapa tahun lalu, Jokowi bersama Ahok, telah membuat baju kotak-baju kotak laris manis, digemari banyak orang, dan diidentikkan dengan diri mereka berdua. Makanya mereka menang.

Namun pilosofi baju kotak-kotak itu agaknya tidak lagi jalan dalam dunia politik dan pemerintahan di tingkat nasional. Yang terjadi kemudian adalah muncul pemikiran yang suka mengkotak-kotakkan orang dalam aneka fungsi dan tugas yang rigid dan kaku. Tak ada lagi pilosofi dasarnya yang mengacu pada kebersamaan. Barangkali karena hawa politik yang panas dan cenderung bersifat telengas, baru saja Jokowi diangkat jadi Presiden, kontan kaum yang suka ‘Parle’, yang suka bicara, bahkan parlente, karena suka ingkar janji kata orang Ambon, sudah mengkotak-kotakkan diri dalam kotak KMP dan KIH yang lalu saling berebut kursi atau lempar-lemparan kursi. Ketegangan dan perseteruan keduanya berlangsung cukup lama, sampai pada akhirnya menelorkan aneka tindakan, rekomendasi yang telah dan akan menjatuhkan beberapa menteri, pejabat, dan ketua mereka sendiri.

Yang aneh, di tengah eksesifnya penekanan pada tugas dan fungsi masing-masing petinggi, menyeruak keinginan membangun lagi kebersamaan yang politis sifatnya, alias memperluas dan memperkuat koalisi yang telah ada. Kendati kebersamaan itu berarti lebur atau tertundanya prinsip dan ideologi para pihak. Barangkali tugas sebagai oposisi dianggap hanya bikin repot dan susah dalam jangka panjang, atau ada kalkulasi politik yang lain. Sehingga dua partai berbasis masa Islam kini merapat ke Presiden alias masuk dalam pusaran hasrat kebersamaan Presiden yang kuat dan kencang. Pertimbangannya melulu politik, tak ada lagi kata etika pertemanan, atau senasib sepenaggungan, ringan sama dipikul, berat sama dipikul. Yang bisa bespekulasi bahwa telah terjadi prilaku telunjuk lurus, kelingking berkait. Mereka berubah syair lagu Soleram....soleram. soleram. Soleram anak yang manis..kalau tuan mendapatlah kawan baru, kawan lama dilupakan jangan, menjadi ...kalau tuan mendapatlah kawan baru, kawan lama dilupakan saja. Harusnya juga libido politik itu tak lepas dari konstituen yang memlihnya, tapi kini tergantung selera masing-masing petinggi yang berprinsip ‘ Politik pucuk aru ‘ Kemana angin bertiup, kesana mereka ramai-ramai. Dan ribuan konstituennya hanya tinggal bagai rumput yang bergoyang dan berserak-serak tak tahu mau kemana. Runput-rumput yang tak lagi punya Beringin pelindung dan tempat bersandar.

Politik reformasi kini tak ubahnya politik di masa Demokrasi terpimpin, atau Demokrasi Pancasila. Semua orang terserap dalam persatuan dan persatean sekaligus. Jika demokrasi terpimpin bisa dimaklumi karena zamannya memang kacau,dimana kabinet di era sebelumnya sering jatuh bangun karena sangat liberal. Dan demokrasi Pancasila ala Suharto bisa dipahami, karena bangsa memang butuh konsolidasi untuk memperbaiki diri. Untuk kembali menegakkan Pancasila secara murni dan konsekwen katanya. Tapi demokrasi di alam reformasi yang harusnya sudah ‘well establish’ tinggal running dan dipraktekkan dengan konsekwen dan konsisten, sungguh tidak dapat dimengerti karena telah memunculkan ‘Demokrasi Semau Gue’, demokrasi suka-suka yang melupakan dan meninggalkan konstituen dan prinsip-prinsipnya sendiri. Mengingkari pluralisme budaya dan latar sosial sebagai raison d’ etre bagi eksistensi demokrasi. Merusak chek and balance. Menghancurkan keseimbangan sosial yang harusnya terjaga karena adanya permainan ‘ungkat-ungkit’ dan tawar-menawar yang saling menjaga keinginan monopoli satu pihak. Kaum yang tergusur dan diciderai pemerintah misalnya, kemanakah akan mengadu, jika semua telah jadi pemerintah itu sendiri.

Ketika kita tak lagi bisa mengidentifikasi wilayah, atau peta pungsional dan ideologi yang ada, dan semua hanya bak air mengalir mengikuti proses politik yang serba hadir dan mengatur, maka tunggulah saatnya akan terjadi di inner cicle kekuasaan seperti di jaman orla dan orba persaingan ketat yang saling mematikan, atawa prilaku ‘ Passing The Monkey’, saling lempar tanggung jawab, alias tak mau bertanggung jawab jika terbentur krisis, persis ketika orang-orang kepercayaan yang berlari dari Sukarno dan Suharto ketika keduanya berada di tubir jurang kehancuran. Ini terjadi karena fungsi tidak mengikuti ideologi, tapi ideologi telah bersifat fungsional dan pragmatis. Tak ada lagi ‘ kotak-kotak yang berhubungan secara opposional tapi tetap dalam alun simetri dan harmonisasi yang indah, yang ada adalah sebuah kotak besar di samping sebuah kotak kecil yang hanya bisa melongo dan nelongso dalam relasi yang timpang dan tak seimbang. Yang pada gilirannya kotak besar itu berubah menjadi ‘ Kotak Pandora’ yang memunculkan semua yang aneh-aneh dan buruk.

Jika dua kekuatan parlemen, KIH dan KMP dimetaforakan sedang bermain tennis yang harus bermain tiga set, maka keduanya tidak memenangkan atau kalah dalam permainan. Apa pasal ? Karena sejatinya mereka tidak saling berhadapan, melainkan mereka bermain atau bertanding dengan temannya secara sendiri-sendiri. Kekuasaan memang menggiurkan, sehingga pecah kongsi antar teman separtai itu memungkinkan sekali dan beroleh legitimasi. Dalam hal ini rakyat sebagai yang ada di deck hanya bisa berharap semoga bahtera republik tidak pecah berkeping-keping karena menabrak karang, akibat para pemimpinnya sibuk main poker atau ceki di kabin-kabin mewah mereka.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar