Rabu, 23 Desember 2015

PILOT, STEPHEN WOLF DAN GEMBA KAIZEN

Dalam dunia penerbangan di Amerika Serikat, tersebutlah seorang legenda hidup yang piawai memajukan dan mengembangkan sebuah maskapai penerbangan lantas menjualnya dengan sukses, namanya Stephen Wolf. Eksekutif penerbangan yang lihai itu dalam sejarahnya berhasil memajukan tiga maskapai penerbangan yakni Republic, Flyng Tigers, dan United. Ketiganya kemudian dijual dengan harga tertinggi. Bahkan United Airlines dijual kepada karyawannya sendiri. Apakah Wolf seorang jenius dalam bisnis penerbangan dengan kiat-kiat luarbiasa dan canggih? Jauh panggang dari api. Karena Wolf hanya menerapkan kiat sederhana yang umum juga digunakan di perusahaan-perusahan non penerbangan dan pemerintahan. Tapi kiat sederhana itu dilaksanakan dengan konsisten yaitu : layani pelanggan dengan baik, jawablah setiap telepon dengan segera, bicaralah dengan manis, dan fokuskan ketepatan waktu. Yang lain : catlah pesawat, dan rawatlah agar selalu tampak bersih, dan baru. Dan jika yang diatas itu sudah jalan, maka dianggap pentinglah membeli pewasat baru dan menambah rute penerbangan. Gampang toch.

Hal yang eksrim dilakukan oleh Wolf adalah ketika bekerja di Pan Am. Dia pernah marah pada seorang karyawan yang seenaknya berjalan sambil minum kopi dengan cangkir yang dikhususkan untuk penumpang pesawat. Melihat itu Wolf berkata berang, “ Itu cangkir buat penumpang!”. Memang itu hal yang sederhana, dan apa salahnya ngopi dengan cangkir apapun. Tapi dalam menegakkan aturan, Wolf sudah benar, ia tidak mentolerir penyelewengan sekecil apapun, kendati aturan itu hanya bersifat kebiasaan yang berlaku di seantero Amerika, bahwa semua karyawan tak terkecuali harus membawa cangkir kopi sendiri dari rumah untuk dipakai di kantor. Secara tidak langsung Wolf telah menerapkan prinsip Gemba Kaizennya orang Jepang yang membuat banyak perusahaan Jepang sukses mendunia. Gemba Kaizen berarti melakukan perbaikan yang sederhana, kecil, boleh jadi tanpa biaya, namun berkelanjutan diterapkan, sehingga menghasilkan perubahan yang besar artinya bagi meningkatnya produktivitas, peningkatan mutu, penurunan biaya, dan tentu saja keselamatan penerbangan.

Dari kisah di atas kita bisa melihat bahwa adanya faktor manejerial yang menojol dari maju dan berkembangnya sebuah maskapai penerbangan. Cerita bangkrut dan meruginya beberapa maskapai penerbangan di Indonesia, BUMN atau swasta, tentu juga tak lepas dari faktor tata laksana dan SDM para managernya. Lantas apakah ada korelasi positif antara jatuh dan celakanya banyak pesawat di Indonesia denga prilaku para pilot yang tidak service oriented, bahkan beberapa diantaranya yang narkoba minded ?- belum lama ini seorang pilot dan dua crew tertangkap berpesta narkoba. Jawabnya bisa ya bisa tidak. Jika hanya pesawatnya yang tergelincir, pilot yang dipengaruhi narkoba bisa dibuktikan. Sebagaimana terbuktinya korelasi para sopir bus yang mengkomsunsi narkoba atau minuman keras dengan kecelakan-kecelakaan bus yang merenggut banyak korban.

Kecerobohan para supir truk atau bus kota yang sering merenggut nyawa penumpangnya dalam kecelakaan maut atau yang menabrak orang sampai mati bisa diproses dan dibuktikan, lantas dikenai hukum, dicabut SIM atau dikandangkan kendaraannya. Tapi dalam dunia penerbangan, hal diatas tak pernah terjadi. Karena biasanya kecelakaan pesawat selalu dikaitkan dengan masalah teknis atau buruknya cuaca, lagi pula bila sebuah pesawat mengalami nasib naas, jatuh misalnya rata-rata sang pilot juga pasti ikut gugur. Karena kita adalah bangsa yang begitu menghormati dan sangat berkabung atas orang yang meninggal, maka faktor ‘human error’ tak pernah atau mau kita angkat kepermukaan, maka kita pun mencari kambing hitam pada badai, angin, hujan, bahkan kerikil, atau kepada para teknisi pesawat dan operator bandara.

Padahal menurut catatan statisktik kecelakaan penerbangan di luar sana, 90 % terjadi karena faktor ‘ Human Error’ di sini tentu saja meliputi semua yang terlibat dalam satu misi penerbangan, langsung atau tidak langsung : CEO, manager operasinal, operator, petugas bandara atau bagasi, teknisi, pengawas cuaca, petugas radar bandara, dan tentu juga Pilot dan creuw pesawat. Namun tetap saja sebuah maskapai perlu memiliki seorang CEO penerbangan sekelas dan sebaik Stephen Wolf yang berpandangan jauh dengan menerapkan langkah-langkah strategis, yang faham betul pada prinsip keselamatan penerbangan, dus yang otomatis akan mendongkrak citra perusahaannya, dengan diawali penerapan konsep managemen Gemba Kaizen.

Sebagai orang awam dalam urusan penerbangan, tapi perduli pada informasi yang benar dan keselamatan di udara, maka kami tentu berkepentingan untuk’ well imformed’ dalam hal baik-buruknya cuaca yang akan kami lewati, kesiapan teknis pesawat, dan terutama apakah sang pilot , penentu hidup mati kami di udara, apakah sudah layak terbang atau ‘ pit to flay’. Mesti ada jaminan bahwa pilot yang akan menerbangkan kami tidak akan flay, teler alias terbang sendiri mengawang-ngawang dan menghayal di cockpit, dan membiarkan kami tercuncang ketakutan pada saat pesawat dalam cuaca buruk. Jika kami harus mati karena sang pilot sudah berusaha keras dan serius mengatasi masalah cuaca dan turbulensi, maka mati kami pasti tenang, walau harus terkubur di laut atau terbentur batu gunung. Tapi jika kami mati karena sang pilot yang “salah pencet”, akibat tidak telitinya, karena pengaruh narkoba misalnya, wah, mayat kami pasti akan menyesal dan jadi penasaran sekali.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar