Senin, 21 Desember 2015

REKRUITMENT PEMIMPIN ALA RASULULLAH

Dewasa ini banyak orang yang menghadiri berbagai seminar-seminar motivasional dan pengembangan diri. Saking semangatnya, banyak yang akhirnya kecewa karena tak berhasil juga dibidang yang diseminarinya. Misalnya seorang yang ikut sebuah seminar bagaimana menjadi seorang pemimpin yang sukses, padahal sesungguhnya ia tidak berbakat dan punya kemampuan untuk menjadi seorang pemimpin . Akibatnya segala persyaratan atau kiat-kiat untuk menjadi pemimpin yang sukses tidak dilakoninya dengan sepenuh hati, karena pada dasarnya ia tidak menyukai banyak berinteraksi, bersosialisasi dan mempengaruhi orang. Andai toch ia mencoba, itu diakoninya secara sambil lalu dan setengah-setengah, tidak total. Mestinya seseorang terlebih dulu harus tahu apa yang menjadi bakat dan kemampuannya, atau apa menjadi passionnya, baru mengikuti seminar yang sesuai. Tapi kebanyak telah jadi korban iklan penyelenggara seminar yang memang maunya hanya ingin mendapatkan peserta sebanyak mungkin dan uang yang melimpah. Mereka sering berceloteh bahwa ‘ Leader is not a born made’, siapapun bisa jadi pemimpin. Kalau begitu siapa dong yang akan jadi pengikut atau rakyat. Paling banter yang ikut seminar jadi manager, dan manager tidak identik dengan pemimpin. Atau malahan hanya jadi pemimpi, seperti Don Kisot.

Sejak jaman Delfi, dan oleh Socrates, orang telah dianjurkan untuk’ mengenal dirinya’. Dan di abad ke 20 seorang psikolog, Robert Burn berdeklamasi, ‘ Oh, berilah kami sedikit kekuatan di dalam keadaan bahaya untuk melihat diri kita sendiri sebagaiman orang lain melihat kami....’ Hal itu menggambarkan betapa pentingnya sebuah penemuan diri atau identitas guna menggapai kesehatan mental dan kemajuan duniawi. Dari dulu sampai kini manusia selalu mencari tahu siapa dirinya yang sejati dengan berbagai motivasi dan tujuan. Urgensinya penemuan diri, mengatahui apa yang menjadi bakat dan potensi diri, karena Para ahli berkata bahwa rata-rata orang hanya menggunakan sebagian kecil potensi akal budinya, sekitar 3 % sampai 10 % saja, bahkan ada yang mengatakan hanya 1 % saja. Repotnya, banyak yang tak kunjung menemui dirinya jadi penyendiri yang tak mau belajar dan bertanya lagi pada orang lain. Sejatinya memang seringkali orang lainlah yang tahu siapa diri kita yang sebenarnya, apa potensi dan bakat kita. Mengenal diri sendiri itu harus terjadi sejak dini agar bisa menjadi manusia yang baik dan efektif di masa dewasa. Untuk itulah orang tua dan para guru bisa berfungsi menolong dan memfasilitasi orang yang tak tahu diri. Terutama juga sangat berkaitan dengan kedatangan para Rasul dan Nabi yang bertugas membimbing, mengarahkan serta menjadi teladan bagi manusia untuk mengenal dirinya yang sejati sebagai makhluk Tuhan dan Zoon Politicon atau makhluk sosial “ Hablum minallah wa hablum minannaas”

Ada satu hadis yang sangat terkenal berbunyi, ‘Antum a’lamu bi umuri dunyakum’ yang artinya ‘Kamu lebih tahu tentang urusan duniamu’. Hadis ini sering dianggap sebagai premis mayor terbatasnya otoritas Rasulullah pada urusan-urusan duniawi, dan lebih baik dipercaya sepenuhnya pada urusan-urusan agama, ibadah dan akhlak belaka. Tafsir kuno ini tentu saja datang dari mereka yang beranggapan bahwa agama hanya terkait dengan urusan-urusan moral dan dunia sana. Padahal sesungguhnya hal itu bisa ditafsirkan sebagai usaha Rasul untuk memotivasi seorang petani sebagai subjek hadis itu, untuk terus menekuni dan mengembangkan bakat, kemampuan dan keahliannya.

Rasulullah adalah seorang pemimpin dan motivator ulung, dan piawai dalam melakukan rekruitment kepemimpinan umat berdasar pada tilikan agama, firasat atau intuisi, dengan melihat pada bakat dan kemampuan calon. Beliau faham betul prinsip ‘ The right man on the right place’, tentang kompetensi, kapabilitas dan akuntabiliti seorang yang akan menduduki jabatan dan pekerjaan tertentu. Bahkan beliau menghubungkan kedatangan hari kiamat dengan inkomptensi dan kesembronoan ummatnya. Ketika seorang Badui bertanya kepada beliau kapan hari kiamat akan tiba, dijawab oleh beliau, “ Jika amanat telah disia-siakan, tunggulah datangnya hari kiamat.”. lalu orang Badui itu bertanya lagi tentang kapan amanat itu disia-siakan, apa cirinya, beliau menjawab, “ Jika urusan telah diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, tunggulah datangnya hari kiamat,”

Berbeda dengan pemimpin-pemimpin kita sekarang ini yang banyak melakukan pengangkatan pejabat dan pendelegasian wewenang berdasar prinsip kedekatan dan suka atau tidak suka, Rasulullah sering menolak hasrat sahabatnya untuk menjadi pemimpin atau mengangkat salah satu dari mereka jadi pemimpin, karena dianggap tak punya kompetensi, bakat, dan keahlian. Suatu hari seorang sahabat, Abu Dzar, menghadap beliau agar diangkat menjadi pemimpin. Beliau dengan tegas berkata, “ Hai Abu Dzar, kamu ini lemah, sedangkan kepemimpinan adalah amanat dan kelak di hari kiamat hanya akan jadi sumber kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambilnya dengan hak dan melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya.” ( HR. Muslim)

Tentu saja dalam hal ini, Rasulullah tidak bersikap sewenang-wenang, dan bermaksud mengecewakan hati sahabatnya itu. tapi beliau tahu betul keterkaitan antara bakat keahlian dan beban tugas yang akan diemban sesorang. Beliau tidak akan begitu sembrono mengangkat seseorang menjadi pemimpin, sekalipun seseorang itu adalah sahabat dekatnya yang telah setia menemani beliau dalam perjuangan menegakkan Islam. Singkatnya beliau tidak mau melakukan KKN. Sebaliknya, beliau justru tahu persis apa yang menjadi bakat dan kemampuan Abu Dzar, yang punya kefasihan berbicara yang tinggi, dan sangat memujinya dalam kelebihan yang dimilikinya itu. sampai-sampai rasul berkata, “ Selama tumbuhan masih rindang dan debu masih bertebaran, tidak akan ada ahli bahasa yang lebih jujur dan lebih jitu perkataanya daripada Abu Dzar yang mirip perkataan Isa bin Maryam.”

Rasulullah tentu punya kecerdasan dan firasat yang kuat untuk menilai apakah seseorang pantas menjadi seorang pemimpin, kendati tak memintanya. Tentu saja hal tersebut digabung dengan penglihatan pada sikap keagamaan dan rasa tanggung jawab yang besar. Suatu ketika Utsman bin Abi Al Ash bersama delegasi dari Tzaqif ingin menghadap Rasul. Namun karena semua ingin menghadap, timbul masalah siapa yang akan menjaga kendaraan mereka. semua ngotot mau maju, tak ada yang mau tinggal. Akhirnya Utsman berkata, “ Jika kalian mau, aku yang akan menjaganya untuk kalian, tetapi dengan syarat kalian harus menjaganya untukku bila kalian telah keluar.” Dan semua setuju dengan usul itu.

Setelah semua telah selesai menghadap, tibalah giliran Utsman sendiri menghadap Rasulullah. Di hadapan Rasul, Utsman berkata, “ Wahai Rasulullah, berdolah kapada Allah agar saya paham dan mengerti agama Islam.” Rasul balik bertanya, “ Apa yang engkau katakan?” Utsman mengulangi kata-katanya sekali lagi. Maka beliau berkata,” Engkau telah meminta kepadaku hal yang tidak diminta oleh semua sahabatmu. Berangkatlah, engkau adalah pemimpin mereka dan orang-orang yang mendatangimu dari kalangan kaummu.” ( HR. Thabrani ).

Tentu saja penolakan dan penunjukan seorang pemimpin yang dilakukan Rasulullah di atas, adalah pada level ‘The Second Leader”, dan dibawahnya, seperti Presiden atau Raja mengangkat para Menteri atau para Panglima Perang, atau ketua—ketua komisi khusus. Disini beliau telah melaksakan hak prerogatif seorang pemimpin tertinggi ummat, sekaligus sebagai seorang Nabi atau Rasul. Sudah barang tentu, dijamin ketepatan dan keabsahannya. Dari dua masalah kepemimpinan tersebut, kita melihat bahwa Rasul menggunakan metode Naqal sekaligus Akal atau metode rasional. Kedua metode itu pula yang menjadi preseden para pemikir politik Islam yang datang kemudian untuk menentukan kepemimpinan. Walau sepeninggal Rasul, kepemimpinan ditetapkan dengan cara musyawarah terhadap Abu Bakar, komisi yang disahkan ummat pada Umar bin Khattab, serta penunjukan pada Usman bin Affan, namun tetap saja semuanya menggabungkan kedua pendekatan Rasul tersebut, menilai dengan akal maupun naqal.

Al Farabi adalah seorang filosof muslim yang sangat mengidealkan kualitas sempurna seorang pemimpin Islam. Baginya seorang pemimpin harus punya akhlak yang tinggi atau sangat beretika. Dia percaya bahwa jika seorang pemimpin itu berjiwa Nabi atau filosof, maka akan arif dan bijaksana, serta mampu mendidik rakyat kearah jalan yang benar, menuju kebahagian dunia – akhirat. Dalam hal ini Al Farabi berpradigma Naqal atau wahyu. Begitu pada diri Al Mawardi yang juga menginginkan kualitas kenabian seorang pemimpin, tapi ia lebih realistis katimbang idealisme seorang Al Farabi. Apatah pula bagi sang Hujjatul Islam, Al Gazali, beliau dengan tegas mengatakan bahwa kewajiban mengangkat kepala negara atau pemimpin bukanlah berdasarkan rasio, tetapi berdasarkan keharusan agama.

Sedangkan Ibnu Khaldun dan Ibnu Taimyah lebih menitik beratkan pada akal atau rasio pada seleksi kepemimpinan. Ibnu Khaldun mengatakan agar kepala negara mampu menjalankan tugas secara efektif dan mantap nasionalnya, dimana warga negara berhubungan secara harmonis, tidak harus dengan menjalankan hukum agama, melainkan berdasar pada moral konvensional. Jadi konvensi moral yang menjadi hukum. Hal ini nyaris senada dengan prinsip Ibnu Taimiyah, yang mengatakan bahwa lebih baik seorang penguasa yang adil sekalipun kafir, daripada di bawah kekuasaan kepala negara yang tidak adil atau lalim meskipun Islam. Keduanya memandang kekuasaan secara lebih realistis, pragmatis dan fungsional, itu demi tegaknya integrasi, solidaritas, stabilitas politik, ketertiban dan keamanan masyarakat. Memang mereka berdua bernada mempertahankan status quo, tapi apa boleh buat, terlalu banyak masalah politik dan kenegaraan yang mesti ditangai secara pragmatis dan realistis, begitu pikir mereka.

Jika kita menarik benang merah dari seluruh pembahasan diatas maka akan tampak secara implisit, bahwa Rasul dan para filosof politik Islam menginginkan seorang pemimpin yang berbakat dan berkemampuan tinggi. Serta juga semua tetap memandang perlunya menegakkan agama, etika, moral dalam hal kepemimpinan atau politik. Bedanya adalah disatu pihak ada yang hendak menegakkan dan menjalankan politik berbasis agama serta etika, dilain pihak ada yang maunya membesarkan agama dengan politik. Ya, sama saja toch, yang penting outputnya yang kita dapat adalah “ ada politik yang beragama serta punya etika, serta ada agama yang berpolitik. “

Menurut Al Gazali, dari sekian banyak profesi dalam negara, sejatinya profesi politiklah yang paling mulia. Oleh karenanya mensyaratkan tingkat kesempurnaan dan mutu yang tinggi melebihi profesi lain. Dengan sendirinya, untuk menempati posisi politik yang sangat penting itu, diperlukan manusia yang betul-betul memiliki bakat, kemampuan, keahlian, pengetahuan dan kearifan yang mendalam dan harus dibebaskan dari tugas-tugas dan tanggung jawab yang lain. Dengan kata lain harus profesional dan mandiri, terpisah dari jabatan-jabatan lain. Rupanya pandangan Islam tentang politik dan kepemimpinan, sama saja dengan pandangan dunia modern dan alam demokrasi serta reformasi termutakhir di Republik ini. Bukankah sekarang Presiden dan wakilnya, serta para ,menteri tak ada yang rangkap jabatan, sebagai pejabat negara sekaligus ketua partai. Semua ketua partai sekarang di Indonesia hanya bermain dibelakang layar sebagai sutradara dan penulis skenario, atau sekedar tukang rias, penata lampu, penata musik atau pembisik

“ Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu ) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al Hikmah ( As Sunnah ), serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmatku)-Ku.”
( Al Baqarah: 151-152 )










Tidak ada komentar:

Posting Komentar