Untuk merumuskan apa itu Etika Politik secara pas atau mendapatkan definisi yang tepat tentangnya sungguh sebuah gawean yang berat. Mencoba menggabungkan dua kata besar etika dan politik menjadi satu pengertian sejatinya adalah kerjaan tambal sulam dan bisa-bisa menjadi salah pasang jika dipaksakan. Tapi toch banyak orang yang telah dengan gagah berani memberi rumusan dan pengertian etika politik kendati hasilnya sangat abstrak sekali, ngambang dan mengawang-ngawang. Biasanya akan disertai penjelasan bahwa ‘ etika dan politik terdapat hubungan yang paralel dalam rangka mencapai wujudnya warga negara yang baik, yang susila, yang punya rasa tanggung jawab moral dan kewajiban yang besar tehadap bangsa dan negara. Tentu saja rumusan ini tidak salah andai kata politik itu sendiri tidak cenderung korup, mementingkan diri sendiri dan berat sebelah. Dengan kata lain jika politik itu sendiri rela menjadi anak manis yang memandang segala masalah dengan mata bening dan hati tulus ikhlas. Atau politik mau tunduk pada prinsip-prinsip etika.
Secara teoritis peleburan kata etika dan politik mudah dilakukan, tapi dalam praktek sangat sukar dipertemukan apalagi dilebur, karena keduanya sejatinya adalah saling berkontradiksi, Etika Politik adalah frasa yang bersifat ‘ Contradictio in terminis. Etika menghendaki kesetiaan yang total pada kebaikan, kejujuran dan keadilan, serta berbagai nilai-nilai mulia lainnya, sedangkan politik yang pada dasarnya bertujuan juga untuk menciptakan ‘kebaikan bersama’, cenderung berlari dari genggaman etika normatif, atau etika dasar. Politik praktis lebih banyak bercerita tentang “ End justify the mean”, prinsip menghalalkan cara, Machiavelistik. Lebih banyak terjadi adalah politik memakai jubah etika. Itu dilakukan karena kata ‘etika’ tampak lebih manis dan cantik. Sedangkan politik telah terlanjur dianggap buruk dan kotor. Itulah sebabnya banyak yang meragukan ungkapan etika politik yang meluncur keluar dari bibir para politisi.
Jika kita mempersonifikasikan politik dengan menunjuk pada sosok Mahatma Gandhi sebagai avatarnya, maka akan terlihat bahwa betapa halus pun ia berpolitik dengan prinsip non violencenya, tetap saja ia akan mengkritik sang avatar etika par exellence Rabindranath Tagore, dengan berkata “ Jika India diumpamakan sebuah rumah yang terbakar, dan orang-orang pun berlarian mencari air untuk memadamkan kebakaran itu, tapi Tagore yang wakil etika akan duduk tenang-tenang melihat orang yang sibuk itu, dan satu-satu usaha dia untuk menolong kecelakaan itu ialah dengan memetik kecapinya untuk mengeluarkan lagu-lagu yang indah sebagai pernyataan kasih sayang.” Politik berawal dan mengagumi tindakan, sedangkan etika lebih suka merenung dan berkontemplasi.
Rabindranath Tagore memang seorang etikus sejati sekaligus estetikus mumpuni. Dari mulutnya kita akan selalu mendengan kata-kata ‘ kemanusiaan’ dan ‘keindahan. Dan Mahatma Gandhi adalah ‘manusia politik atau Zoon Politikon’ nomor wahid yang telah mencoba memamfaatkan etika demi mencapai tujuan-tujuan politiknya, namun kemudian menjadi korban dari etika politik itu sendiri yang coba dibangunnya. Mahatma Gandhi yang pernah berkata ‘ Hate the sin, love the siner itu malah mati ditembak oleh pengikut fanatiknya yang tidak rela jika umat Islam dan Hindu bersatu seperti yang dicita-citakan Sang Mahatma. Jadi kebaikan, kejujuran dan keadilan susah untuk ketemu dengan politik yang sudah tercemar limbah keserakahan dan kenyamanan. Bukankah Socrates telah diracun oleh para penguasa karena mempertahankan prinsip etika politiknya. Begitu juga nasib sebuah institusi pemberantasan korupsi di Indonesia, beserta dua mantan ketuanya yang kini menunggu godot.
Apa yang kita maksud dengan politik yang beretika sering menjadi sekedar prikelakuan yang mesti identik dan sejalan dengan aturan dan ketentuan tertulis maupun yang tidak tertulis, etika profesi serta aturan tata tertib. Makanya kita bisa bersuara lantang tentangnya, karena ukuran-ukurannya jelas dan tampak, tinggal dikutip. Sedangkan jika berbicara tentang etika yang sebenarnya, etika normatif, maka sejatinya kita sukar untuk memberi penilaiaan pada seseorang, yang terkait dengan kebaikan dan kejujuan, atau rasa keadilan yang tersembunyi dalam hati setiap insan, kita hanya bisa menilai secara lahir yang seringkali misleading, karena pertama, kita bukan Tuhan, hanya manusia yang juga berlumur salah dan dosa sehingga membuat pandangan tidak jernih lagi. Kedua, etika bisa bersifat situasional dan bahkan relatif sekali. Juga karena adanya konsep diri yang berdasar fenomenologi yang bersifat indeterminis. Konstruksi moral Emanual Kant yang maunya universal dan logosentrisme, kini sudah sering didelegitimasi. Tambahan lagi, kini jarang orang yang percaya dan meyakini prinsip moral otonom atau sabda ‘ Categorial Imperative” dari Kant. Kalau toch ada, namun ia akan ditilik dari sudut pandang ‘etika situasi’.
Pada saat begitu maka yang mengemuka adalah ‘ politik etika, bukan etika politik. Persis seperti ‘ Politik Etis atau politik balas jasanya Belanda dulu yang digagas oleh Conrad Van Deventer yang sekedar bermaksud untuk mengambil hati bangsa Indonesia, tidak tulus dan ikhlas, dengan memberi pendidikan ala kadarnya atau pembangunan pengairan dan transmigrasi yang secuil, demi keterlupaan bangsa pada realitas eksploitasi ekonomi, dominasi politik dan diskriminasi rasial penjajah. Belanda sekonyong-konyong baik karena memang sedang mengalami pasang naik ekonomi kapitalistikya, tapi ketika memasuki masa depresi ekonomi atau jaman meleset tahun 1929, Belanda kembali jadi garang dan kejam lagi pada bangsa Indonesia. Menurut Harry J Benda sebagaimana yang dikutip oleh Fahry Ali di Koran Republika tanggal 17 Desember kemaren, “Politik adalah upaya modernisasi bertahap untuk membenarkan Dutch Rule in Terms of moral balance sheet ( pemerintahan Belanda dalam hal neraca moral).
Jika menilai situasi politik kontemporer di dalam dan luar negri, Agaknya jalan masih panjang untuk kita mencapai politik yang benar-benar beretika. Politik yang bernada dasar kemanusian dan cinta nyaris telah menjadi khayalan kaum idealis, yang dipersetankan oleh para penganut pragmatime dan realisme politik. Praktek dan bahasa politik kita sekarang nyaris semuanya terdiri dari eupemisme dan pengelabuan belaka, yang berlogo pseudo kemanusiaan dan kerakyatan, mirip seperti yang digambarkan oleh George Orwell, “ Defenseless villages are bombarded from the air, the inhabitants driven out into the countryside, the cattle machine-gunned, the huts set on fire with incendiary bullets : this is called pacification. Millions of peasants are robbed of their farms and send trudging along the roads with no more than they carry: this is called transfer of population or rectifcation of frontiers. People are imprisoned for years without trial, or shoot in the back of the neck...: this called elimination of unreliable elements.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar