Selasa, 30 September 2014

BHAGAVAD-GITA DAN MAHABHARATA

Untuk memahami siapa sejatinya tokoh Khrisna dan Arjuna dalam epos Mahabharata yang sekarang menjelma menjadi sinetron serial yang booming dan digilai di Indonesia, maka mau tidak mau kita harus menggalinya dari kitab suci agama Hindu yang terdiri dari lima jilid. Salah satunya adalah Mahabarata yang juga disebut ‘ Pancharatnani. Mahabarata adalah ‘mutiara kelima’ dari lima kitab suci Hindu yang disebut juga ‘ kitab Suci Veda’.

Di dalam Mahabarata terdapat syair Bhagawad Gita yang terdiri dari 18 bab dan 700 seloka, ditulis kira-kira pada abad ke lima sebelum Masehi. Bhagavad Gita berarti nyanyian, kidung atau gita Tuhan. Isinya berupa petunjuk-petunjuk agar manusia dengan hati pasrah menjalani hidup ini hingga akhirnya bisa sampai ke keadaan Sat Cit Ananda, yang berarti bersatu dengan Tuhan. Dalam bhagavad Gita, Tuhan menjelama dalam diri Krisna yang berdialog dengan Arjuna, panglima perang Pandawa yang adalah lambang manusia.

Dialog itu berlangsung menjelang perang Bharatajuda. Di sana Arjuna sebagai ksatria utama Pandawa dilukiskan merasa ragu-ragu akan tugas dan kewajibannya menumpas musuh, yaitu pihak Kurawa. Arjuna tidak tega membunuh musuh-musuhnya itu yang adalah saudara seketurunannya juga. Krisna menasehati Arjuna agar tetap dan mantap dalam menjalankan darmanya sebagai ksatria untuk sampai pada tujuan hidup sbenarnya, yakni bersatu dengan Tuhan sang Terang Sejati. Sebenarnya dialog antara Krisna dengan Arjuna tidak melulu tentang kegalauan dan keraguan hati Arjuna untuk saling berperang dan berbunuhan dengan saudara-saudara sepupunya di pihak Kurawa, tapi juga berisi deskripsi dan pertanyaan tentang hakekat atau inti dari ajaran agama Hindu. Dalam Bhagavad Gita terjemahan Amir Hamzah, pada Percakapan kedelapan dengan tema ‘ Beryoga ke Dewa Abadi, terdapat dialog yang berbunyi :

Kata Arjuna
Apakah dewa itu? Apa pula Adhyatma? Apa kerja, ya penghulu Purusha? Dan yang mana disebutkan Adhibhutam? Seraya yang mana pula dikatakan Adhidaiwan itu?.....
Bagaimana dan apa adhipuja dalam badan ini, pembunuh Madhu? Dan bagaimana maka dapat mereka, yang membelenggu Atmanya, dalam perjalanan mengenal tuan?
Jawab Krishna
Yang tiada mungkin dimusnahkan itu adalah Dewa, yang maha tinggi. Adhiyatma itu ialah pekerti-Nya sendiri, kejadian yang menyebabkan jadinya makhluk, itulah dinamakan kerja.
Adhibhutam ialah pekerti-Ku yang mungkin musnah dan Purusha itulah Adhidaiwam, Adhipuja ialah Aku dalam badan ini, ya pilihan di antara yang berbadan.
Kenanglah Aku dalam segala waktu dan berperanglah dengan pikiran dan budimu, tumpu padaKU maka tiadalah syak padakulah tibanya tuan.
Mereka yang berusaha dengan pikirannya serta menuntut yoga, seraya tiada larat pikirannya kepada yang lain, tibalah ia pada roh kedewaan yang tertinggi, yang dipikirkannya, ya putera Pritha.

Jadi jelas dalam Bhagavad Gita atau Mahabarata, Krisna adalah Avatar atau penjelmaan Tuhan yang mempribadi agar bisa berhubungan dengan pribadi lain, Arjuna atau yang lain. Krisna adalah sang penerang, yang Maha Suci, Maha Pengasih, yang sudah selayaknya disembah, dihormati dan menjadi tujuan hidup manusia, begitu kata seorang pakar agama Hindu.

Menurut Wilhelm von Humbodt, syair Bhagavad Gita yang berisi pelajaran agama filsafat, dan etika itu amat indah telah diterjemahkan ke hampir semua bahasa dunia. Kendati sifat universal ajaran-ajarannya masih controversial, Bhagavad gita/Mahabarata telah terlanjur mendunia. Bagi saya epos La Galigo lebih membumi dan juga sublime, serta lebih panjang dan mendetail. Mengapa Bhagavad Gita sebagai bagian dari Mahabarata begitu disukai di seluruh dunia, itu karena ia sejajar dengan perjuangan yang ada dalam dada setiap manusia ; was-was, ketakutan Arjuna memerangi handai taulan, sanak saudara yang tercinta itu, walaupun wajib diseranginya, perjuangan antara awak kita yang mulia dengan awak kita yang rendah dan berdosa, antara kewajiban dan kecintaan, demikian ulasan Amir Hamzah.

Sejatinya Bagavad Gita /Mahabarata mengadung pencerahan dan pembuka bagi keberadaban dan kebudayaan, sebuah lautan hikmah dan kebijaksanaan dari maha karya agung tingkat dunia. Tapi ketika bertransformasi menjadi film atau sinetron Mahabarata, statusnya menjadi tak lebih baik dari sajian-sajian penjual mimpi lainnya seperti Meteor Garden dari Taiwan, Group-Group musik Korea, West Life dari Irlandia, dll. Kedatangan para pemain Mahabarata yang disambut dengan histeris, penuh cinta dan peluk cium serta komentar norak, sungguh menunjukkan kualitas apreasiasi remaja bangsa ini yang pas-pasan. Sisi kerohanian atau spritualitas Mahabarata berganti menjadi tarikan-tarikan jasmani dan daging belaka yang banal, vulgar, disertai emosional yang amorf. Mahabarata yang seharusnya bisa memantapkan kepribadian karena kontennya yang sublime, malah menggerus kepribadian anak-anak bangsa untuk memuja para pemainnya secara membabi buta di depan umum, seakan tak mengenal etika dan norma agama lagi. Untung saja tak ada yang melepas dan memamerkan lingerinya seperti yang terlihat pada konser The Beatles di Madison Square Garden New York pada masa jayanya. Revolusi mental yang diusung Jokowi, mestinya juga mulai dari hal-hal yang begini, sebuah fenomena yang dikatrol oleh ekonomisme, industri televisi dan periklanan yang tak punya perspektif lagi, prinsipnya, pokoknya asal laris manis kayak kacang goreng kita punya jualan, semua cara bisa dihalalkan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar