Jika kita memandang pertarungan politik di Senayan yang membahas RUU Pilkada sebagai moment merayakan kemaslahatan publik dan kemajuan republik, maka akan muncul berbagai teori dan pandangan yang akan saling berseberangan. Para protagonist pilkada langsung tentu mengharapkan adanya kesetaraan yang genuine antara rakyat dan wakilnya di mana relasi yang ada tidak terbagi dalam hubungan subjek-objek. Ada pemberdayaan dan upaya pendidikan politik yang harus terus digulirkan hingga tiba pada satu relasi yang sehat, simetris dan setara.
Di sini rakyat tidak serta merta menyerahkan semua urusan pemerintahan kepada wakilnya, tapi memungkinkannya untuk berpartisipasi dalam fungsi-fungsi pengambilan keputusan secara kolektif dan luas. Bukan hanya menjadi hak para pemimpin dan wakil mereka. Satu-satunya simbol demokrasi yang nyata dan menunjukkan status rakyat yang berdaulat penuh adalah ‘ ajang pilkada langsung’ dalam siklus lima tahunan. Rakyat akan memilih pemimpinnya, bupati dan kepala daerah yang diharapkan bisa merayakan kesetaraan dan kebersamaan atau kepedulian. Dan ketika rakyat memilih, mereka biasanya berprinsip “ yang penting bukan seberapa banyak yang anda tahu, tapi seberapa banyak anda perduli’
Kadang memang rakyat tak begitu memerlukan pemimpin yang pintar luar biasa dan menguasai masalah dan keadaan yang justru sering kontra produktif jika dipakai untuk memanipulasi hal-hal demi keuntungan pribadi sang pemimpin dan keluarganya, - 300 an kepala daerah yang bermasalah adalah indikasinya – tapi seringkali rakyat ingin pemimpin yang mengayomi dan mau terjun bersama dalam lubang kesengsaraan bersama rakyatnya. Mao Tze Tung, Mahatma Ghandi, Pangsar Sudirman, dan yang pasti Rasulullah Muhammad SAW masuk dalam kategori ini. Mereka besar bukan karena bersinar sepeti matahari di kejauhan seperti yang dicurigai oleh Viktor Hugo dalam Les Miserables, begitu yang dikutip Gunawan Muhammad pada Catatan Pinggirnya di majalah Tempo, “ Siapa tahu matahari seorang yang buta?. Matahari bisa begitu terang, tapi begitu jauh dan tidak perduli kesengsaraan manusia. Pokoknya sang novelis tak mengidolakan seorang pemikir besar yang tak mau menatap semesta dan melihat sejarah semata-mata sebagai survey wilayah. Yang hanya melihat tata zodiak hingga tidak melihat anak kecil yang mencucurkan air mata, “ siapa yang tak menangis, tak melihat.” Ungkap victor Hugo.
Saya terkesan dengan persahabatan yang dalam antara seekor kambing dan seekor babi. Pada suatu hari sikambing terperosok kedalam lubang lalu minta tolong pada babi untuk melemparkan seutas tali. Sang babi lalu melempar tali ke lubang, ketika kambing berkata “ mestinya kau memegang salah satu ujung tali ini wahai teman.” Lalu babi pun terjun ke dalam lubang memegang ujung tali yang satu. Yah. Begitulah, sering sebuah relasi yang sehat dan persahabatan yang otentik tidak membutuhkan otak yang terlalu cemerlang, kelucuan dan keluguan sikap yang anekdotis kadang bisa menimbulkan kesadaran akan pentingnya relasi yang tidak saling menghegemoni dalam hubungan atas bawah, penyelamat dan yang diselamatkan. Derita bersama justru akan menimbulkan energi yang luar biasa untuk keluar dari segala kemelut.
Jika dalam ajang pilkada langsung masih banyak terdapat kekurangan dan berbagai penympangan, toch baru sepuluh tahun kita menjalaninya, bukan berarti kita harus meniru sikap para senator Romawi yang senantiasa meremehkan kemampuan rakyat untuk beremansipasi dan berpartisipasi aktif dalam masalah kenegaraan. Pada suatu hari seorang senator Romawi, Appius Claudius berpidato di atas Aventine, di hadapan para Plebeians ( kaum kelas bawah ). Appius menjelaskan bahwa kaum plebeians tidak mempunyai urusan dalam perundingan publik, mereka hanya perut bagi tubuh politik, berpikir dan berbicara adalah hak prerogative kepala bagian tubuh politik, yaitu para senator ( wakil rakyat).
Hal itu pulalah yang dikatakan secara tidak langsung oleh para wakil rakyat di Senayan pada Jum’at dini hari ketika memutuskan secara voting RUU Pilkada dengan tiga tiga opsi ; pilkada langsung, tidak langsung atau langsung dengan sepuluh syarat. Walau akhirnya RUU itu telah menjadi UU dan dapat berlaku sebulan dari sekarang , tapi kita belum tahu apa nasibnya kelak, karena Presiden sedang berencana untuk melakukan gugatan terhadapnya atau judicial review, entah lewat MK atau MA.
“ Jujur saja, demokrasi adalah lembaga politik simbolik dalam bentuk power orang yang tidak berhak melaksanakan kekuasaan – sebuah keretakan dalam orde legitimasi dan dominasi. Demokrasi adalah power paradoks bagi mereka yang tidak dihitung.” ( Jacques Ranciere ).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar