Dewasa ini di Indonesia bermunculan banyak pembicara-pembicara handal atau motivator-motivator ulung. Diantaranya yang belum lama saya dengarkan kehebatannya adalah Christian Adrianto. Dalam ceramahnya dia mengurai bagaimana cara melakukan ‘ Revolusi Mental ‘, dikatakan antara lain bahwa kita harus mempunyai ‘ Semangat’ dalam arti membedah setiap abjad atau suku kata yang ada dalam kata semangat itu sendiri. Suku kata SE berarti kita harus senantiasa melakukan Self Talk, atau berbicara pada diri sendiri dengan mengajukan kata-kata atau pertanyaan yang positif untuk diberi jawaban yang pas dan positif pula. MA berarti kita harus memberi Makna pada setiap hal atau kejadian. G adalah agar tubuh melakukan Gerakan-gerakan yang akan mempengaruhi mood atau emosi, misalnya dengan berdiri tegak atau berbicara tegas untuk memulihkan rasa percaya diri. Terakhir adalah huruf T yang berarti Tuhan, di mana kita harus senantiasa berdoa, berharap dan bersyukur pada Tuhan Yang Maha Kuasa,
Khusus mengenai Self Talk, beliau mengatakan bahwa ada tiga hal yang harus diperhatikan agar tak membawa pengaruh negatif pada mental kita, yakni apa yang disebutnya PKL, Pertanyaan, Kata-kata dan Lagu. Pertanyaan yang bagus akan menghasilkan jawaban yang yang bagus juga. Setiap kata-kata yang kita ucapkan hendaknya yang bernuansa positif dan membangkitkan semangat kepada diri sendiri dan orang disekitar kita. Sedangkan Lagu yang kita dengar hendaknya yang jauh dari kesan loyo dan pesimistis. Dia member contoh pada lagu Butiran Debu yang syainya dianggap negatif dan mematikan “ “ Aku terjatuh dan tak bisa bangkit lagi, aku tenggelam dalam lautan luka dalam….”
Dalam bahasan tentang lagu tersebut, saya jadi teringat pada apa yang pernah dikatakan oleh Oscar Wilde. “ Apakah seni sungguh berada dalam ruang lingkup imaginasi? Mungkin ada lebih banyak kepalsuan di dalam kehidupan daripada di dalam seni. Imajinasi memburu kebebasan yang biasa digapai oleh orang-orang intelek. Mengapa kita takut sekali member kebebasan kepada seniman atas karya mereka? Tentu saja dibelakang pendapat Oscar Wilde ada banyak yang mengikutinya, terutama dari kalangan seniman romantik, kontemporer, abstrak, pop art, modern art, dll.
Pandangan Blaise Pascal berbeda dalam memandang imajinasi dimana ia mengatakan,” Apakah tidak ada sesuatu yang mutlak yang bisa membatasi imaginasi? Apakah sebuah karya seni tidak mememiliki efek sama sekali terhadap penonton atau pendengarnya? Pascal rupanya memandang setiap karya seni dari sudut pandang agama atau religiusitas, ia mengatakan “ Semakin jauh seseorang dari kekudusan, semakin besar potensi untuk mengobrak-abrik keindahan. Sesuatu yang najis tidak pernah Indah….
Tentu saja seni bagi seorang Pascal adalah seni yang melulu dipersembahkan untuk dan direstui Tuhan. Dalam bingkai ini, ia tentu tidak sendiri. Banyak ahli filsafat, intelektual atau kalangan seniman sendiri yang mengharamkan prinsip seni untuk seni, termasuk seni musik popular yang hanya asyik pada diri sendiri, bercerita tentang sesuatu yang remeh temh, merangsang cinta badani, atau yang terkomersialkan. Bahkan Bung Karno di masanya pernah memenjarakan group musik Koes Bersaudara yang dianggapnya kebarat-baratan dan dikatakan hanyak menbuat musik ‘ Ngak, ngik, ngok’.
Namun sejatinya sikap manusia modern terhadap segala bentuk seni, termasuk lagu-lagu pop adalah mendua. Disatu pihak, pengalaman ‘ indah’ atau Yang Ilahi dicurigai. Pengalaman afeksi emosi dianggap sebagai ilusi ( kebutaan jatuh cinta ). Iman diyakini sebagai bermakna andaikata sungguh pribadi. Kebudayaan modern mengalami proses desakralisasi : alam, matahari, dan dunia tidak lagi dialami sebagai hierofani atau penampakan yang kudus. Tapi pengalaman yang yang Ilahi, akan yang indah itu dibutuhkan karena adanya jurang antara iman dengan pengalaman sehingga iman tinggal sebagai konsep kebenaran yang tak dialami secara eksistensial. ( Van Peursen, Strategi Kebudayaan, 1976)
Begitulah, Manusia hidup seolah dalam mimpi, dan beranggapan setiap ciptaannya adalah sesuatu yang nyata. Ketika terjaga, manusia menyadari bahwa yang sebaliknyalah yang terjadi. Dengan tak bermaksud untuk memihak pada dua kutub seni yang secara diametral bertentangan itu, saya ketengahkan sebuah ilustrasi tentang seni dari seorang penganut Kristen yang taat, Ravi Zacharias, “ Nabi Yesaya bercerita tentang seorang yang lapar. Orang itu bermimpi bahwa suatu malam dia sedang makan besar dalam suatu pesta, dan ketika terjaga dia sadar bahwa semuanya hanya mimpi. Dia masih tetap lapar…seperti itulah ilusi dari satu generasi yang bermain-main dengan keindahan dan seni serta mengira bahwa mereka berjalan mendahului kebenaran. Mereka suatu hari akan terjaga dari mimpi mereka dan menyadari kekosongan jiwa mereka. Seni adalah imitasi dari kehidupan, kemudian kehidupan meniru seni. Aknirnya seni menjadi alasan untuk hidup, dan saat itulah hidup menjadi hancur. Sebab kehidupan bukanlah fiksi…melainkan fakta yang sesungguhnya.
Dalam perspektif Islam atau kaum sufi, musik atau lagu bukan demi bunyi dan lagu itu sendiri, tetapi untuk membimbing manusia dari dunia bentuk menuju dunia makna. Segala bentuk, seperti rupa atu bunyi adalah tirai dunia kerohanian. Tetapi pada saat yang sama adalah lambang dan tangga yang dengan perantaraannya persatuan mistis bisa tercapai. Imam Al-Gazali mengatakan bahwa mendengarkan musik penting bagi orang yang dikuasai oleh cinta Ilahi. Sedang orang yang hatinya cenderung kepada kesia-siaan akan mendapat racun apabila mendengar musik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar