Tokoh musik keroncong legendaris Indonesia, Gesang, penah mengatakan “ Lagu saya bukan lagu perjuangan, tetapi perjuangan lagu.” Namun beliau tak memberi rincian dan rumusan pada apa yang dimaksud dengan goden rulenya itu, akhirnya kita hanya melihatnya sebagai semacam teka-teki silang belaka, dalam arti kata lagu dan perjuangan bisa bersilangan dan tersambung dengan istilah dan konsep apapun, asal punya aksara yang berhubungan dan bisa dihubung-hubungkan. Misalnya kata ‘ perjuangan’ bisa dikaitkan dengan adanya realitas penjajahan, politik maupun ekonomis, kognitif atau teori, tradisi ataupun kebudayaan, dsb, dsb.
Impilikasi dari ungkapan Gesang yang unik itu adalah bahwa ada lagu yang digunakan oleh para pejuang untuk menyemangati dirinya, lagu perjuangan, misalnya lagu Maju Tak Gentarnya Cornel Simanjuntak, dan berlangsung pada suatu waktu, di masa perjuangan. Dan ada lagu yang seumur hidup berjuang sendiri untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa seperti lagu Bengawan Solonya Gesang sendiri yang memang hingga kini terus berjuang mempromosikan Indonesia dibidang seni. Hasilnya adalah memang banyak bangsa di dunia yang mengenal dan menyenangi Indonesia karena lagu Bengawan Solo itu. namun begitu, ada juga lagu Gesang yang berfungsi sebagai penyemangat perjuangan, minimal pembangkit patriotisme, seperti lagu ‘ Jembatan Merah’, walau di dalamnya ada unsur asmara di dalamnya, berupa penantian seorang kekasih pada cintanya di Jembatan Merah.
Apa yang dikatakan oleh Gesang itu sebenarnya antisipasi akan kegenitan banyak komposer Indonesia yang datang kemudian, yang mengatakan bahwa lagu atau musiknya adalah sebuah media perjuangan atau pembebasan. Kerendah hatian Gesang mestinya jadi teladan agar para pencipta lagu dan musik tidak jumawa mengakitakan lagu atau musik dengan hal-hal yang besar, bombas hingga menjadi ‘out of reach to our perception’. Saya hingga kini tak mengerti apa yang dimaksud oleh Harry Rusli dengan musik pembebasannya, yang konon ingin membebaskan manusia dari berbagai penjara, politis ataupun ideologis. Sangat gelap pada tujuan dasar sebuah pestival ‘ Lagu Perjuangan’ yang terjadi di tahun 80 an, yang menghasilkan pemenang ‘ Indonesia Jaya’ ciptaan Chaken Matulatuwa. Yang saya tahu, para tokoh musik yang saya sebut itu toch tak bisa membebaskan dirinya dari kungkungan hasrat ekonomi , hingga mengkomersiikan musik. Jadi mereka hanya bermain-main dengan penjara, keluar masuk penjara.
Tanpa gembar-gembor, beberapa lagu Gesang telah berjuang di jalan sunyi dan berhasil membuat banyak orang Jepang terpukau oleh Indonesia berkat lagu Bengawan Solo yang sangat populer di sana. Dan jenis lagu-lagu yang juga bisa masuk dalam kategori ‘ perjuangan lagu’ adalah genre musik dan lagu Natal. Lihat saja, pada sekitar hari natal, sebelum dan sesudahnya, banyak orang, yang Nasrani ataupun yang bukan, akan menyanyikan lagu-lagu natal dengan fasih dan lancar tanpa beban kultural ataupun agamis. Adakanlah penelitian, maka anda akan dapatkan realitas, betapa banyaknya anak-anak atau remaja Indonesia yang berlatar agama Islam yang hafal di luar kepala lagu Jinggel Bells, White Chrismas, atau Silent Night. Pesona dan keindahan lagu-lagu natal memang telah mendunia, itu karena wataknya yang universal dan inklusif. Kita tak bisa mengatakn bahwa lagu-lagu tersebut telah mendompleng pada skala diatonis barat yang sudah lebih dulu mendunia, sehingga merupakan satu subversi budaya. Karena kita juga bangga ketika lagu ‘ Tuhan’ karya Bimbo pernah menjadi lagu wajib sebuah festival lagu Gereja.
Intinya adalah, mari kita yang merasa sebagai penganut Islam yang kaffah juga menciptakan lagu-lagu atau seni yang berwatak universal dan inklusif yang sarat pesan kebailkan dan tilikan kemanusiaan, agar bisa berjuang mengangkat harkat dan kharisma Islam, serta mengungkap sejatinya Islam yang ‘Rajmatan lil Alamin’. Sebuah karya yang bagus, apakah duniawi atau kerohanian, sakral ataupun profan, akan diapresiasi orang sedunia, apapun latar agamanya. Bukankah syair-syair Islami semisal Masnawi nya Jalaluddin Rumi yang sejatinya adalah ‘Musikalisasi Puisi’ telah mendunia lewat para pakar-pakar sufi barat seperti Annemarie Shimmel, Nicholson. Ada juga ‘ Diwan Al Hallaj’ oleh L. Massignon, atau karya A.J. Arberry, “ Muslim Saints and Mystics: Episodes from the Tazkirah al Awliya’ by Farid ad-Din ‘Attar. Bagaimana Islam Indonesia?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar