Banyak kalangan seniman dan intelektual saat ini yang resah dan gelisah melihat kenyataan kehidupan seni pertunjukan yang tidak lagi menjanjikan, kurang punya masa depan cerah di tengah kekayaan dan keragaman khazanah budaya bangsa. Menurut Radhar Panca Dahana, Sekarang sudah tidak ada lagi dramawan yang karya-karyanya mampu bicara di tingkat nasional maupun internasional, dan memberi sumbangan penting dalam perkembangan seni teater dari berbagai segi, yaitu naskah, dramaturgi, artisktik panggung, filosofi, seni akting, hingga teknologi dan managemen . Tambah Radhar lagi bahwa selama tiga dekade ini, seni pertunjukan cenderung mandeg. Kondisi ini terlihat dari tidak lahirnya tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam seni pertunjukan di Tanah-Air. Seni teater misalnya, kini harus diperjuangkan secara kolektif, ( Kompas, 5 Januari 2015).
Senada dengan penilaian Radhar, Nungki Kusumastuti , dosen tari dari IKJ mengatakan, kemandekan seni pertunjukan sekarang sangat mengherankan. Di tengah kemajemukan dan ragam budaya yang amat berlimpah, seni pertunjukan tidak lagi mendapat tempat yang memadai di tengah publik. Nungki berkilah bahwa kita membutuhkan riset, kenapa seni pertunjukan sekarang makin susah diminati masyarakat. Nungki melihat jalan keluar bagi mandeknya seni pertunjukan adalah dengan pendidikan dan pembudayaan, menjadikan seni pertunjukan sebagai bahan ajar secara luas di sekolah-sekolah.
Pertanyaannya adalah, sejak kapan sebenarnya seni pertunjukan mendapat tempat yang lega dan mesra di hati bangsa ini? Sejak dulu seni-seni pertunjukan yang berbobot, mengusung kedalaman makna dan ungkapan hidupnya senin-kemis, hidup segan mati tak mau, kedudukannya marginal, dan hanya menjadi tontonan dan tuntunan segelintir orang, peminat dan pemerhati. Jika pada suatu masa ada gairah yang luas dari warga republik untuk rame-rame berkesenian, ikutan mentas atau ikutan lomba dan festival, maka itu hanya bersifat sesaat dan malah hanya dianggap oleh para volunter itu sebagai pengisi kekosongan dan waktu menganggur saja. Sikap ikut-ikutan dan tak berdedikasi dalam bidang tari, musik dan teater yang serius sangat kentara dikalangan warga negara sejak dulu. Tak banyak yang seniman berbakat yang lahir dari aneka festival dan pertunjukan seni di masa lalu. Jika pun ada maka yang sedikit itu akan lari ke film, sinetron atau musik industri yang lebih menjamin secara materi maupun finansial. Atau ditangkap oleh species kesenian yang bermodal gede dengan managemen bagus.
Jika ada yang mau terus berkesenian dengan memasrahkan diri hidup di ranah kelam seni pertunjukan yang serius, maka hanya ada segelintir saja, itupun hanya muncul di kota-kota besar dan metopolitan. Nah, kalangan yang nekat inilah yang sejak dulu meramaikan dan membesarkan teater-teater yang sebelumnya sudah besar asuhan seniman-seniman ternama seperti Bengkel Teater, Teater Kecil atau Teater Koma. Kaum yang terlanjur itu akhirnya hinggap pada pohon-pohon besar sebagai dahan dan ranting belaka. Mereka paling banter jadi pekerja, pemain, figuran, teknisi, atau mengelola properti atau managemen teater ala kadarnya. Mereka tenggelam dalam bayang-bayang nama-nama besar seperti WS. Rendra, Arifin C. Noer, Putu Wijaya, N. Riantiarno, atau Suyatna Anirun. Di era sebelum mereka ada Tio Tik Djien, Usmar Ismail, Asrul Sani atau Teguh Karya, Wahyu Sihombing, Tatiek Malyati, dll.
Di bidang tari misalnya, sebuah sanggar tari yang mengkhusukan diri pada tari-tari daerah Bugis, Makassar dan Mandar, Tammalate di Jakarta, sepengetahuan saya yang lama berkecimpung di sana, para penarinya datang silih berganti. Penari yang dilatih sejak remaja, sampai mahir dan punya pengalaman mentas di mana-mana, pada saat harus meneruskan kuliah, mendapat kerja, atau dilamar sang kekasih, maka mereka akan segera resign dan menghilang digantikan oleh yang lain yang mesti dilatih, diajari, dan diasah lagi. Begitu seterusnya sampai kini, hanya pelatih yang pemusik tradisinya yang tak berubah atau berganti dengan new comer. Jika begini tabiat sanggar, maka tak akan pernah bisa melahirkan penari atau seniman tari beneran yang tangguh dan sungguh dan banyak.
Di era tahun 70 an dan awal 80 an, bersamaan dengan lahirnya pusat kesenian Taman Ismail Marzuki ( TIM), kesenian mengalami masa booming, masa itu marak diselegarakan pentas, pertunjukan, konser, festival teater remaja, festival vocal group/paduan suara atau pestival musik kontemporer, tapi dari sana jarang yang lahir menjadi dramawan besar, komponis atau pemusik kontemporer yang mumpuni. Sebabnya adalah ajang-ajang tersebut kebanyakan hanya diadakan dalam rangka memupuk rasa persatuan dan solidaritas atau untuk mencegah meluasnya kenakalan remaja. Jarang yang bertujuan mencari nilai-nilai etis dan estetika dalam bingkai dan arahan seni murni. Kecuali festival musik kontempo yang dulu secara berkala diadakan di TIM, semua pestival yang ada hanya bertema ‘ Dalam Rangka’ tadi. Termasuk dalam rangka membesarkan orang kaya dan pejabat tertentu, dalam rangka mencari dana pribadi dengan mengatas namakan hari besar, bencana alam tertentu, dalam rangka politik pembangunan dan stabilitas, dan juga dalam rangka membesarkan dan mengekalkan nama seniman pencipta dalam dan luar negeri, dengan mementaskan naskah-naskah karya mereka yang memang kreatif dan total dalam berkesenian.
Itulah sebabnya tidak ada dramawan berbakat dan berdedikasi dari daerah yang bisa menyeruak, mendekati atau melebihi nama-nama besar yang sudah eksis. Karena mereka belum masuk dalam pusaran tradisi mencipta dan menghargai hak cipta. Sedangkan mereka yang berada di pusat-pusat kesenian; Jakarta, Jokyakarta, Surabaya, Bandung atau Bali, rajin sekali berkarya dan berekspresi. Mereka terbiasa mencipta. Mungkin juga karena kondisi sosial-politik yang otoritarian dan serba menekan, sehingga memaksa mereka mengadakan perlawanan secara kreatif.
Rendra misalnya, disamping mementaskan Lysistrata dari Aristophanes, atau Antigone dan Oedipusnya Sophocles, juga memperkenalkan naskah-naskahnya sendiri yang bernada kritis terhadap rezim developmentalisme yang meminggirkan orang-orang kecil di masanya, seperti Perjuangan Suku Naga, Sekda, Mastodon dan Burung Condor, dll. Putu Wijaya yang gemar dengan gaya Artaudian, juga paling suka mementaskan naskah-naskahnya sendiri, seperti Edan, Aduh, Awas, Dor, dll. Riantiarno suka mengangkat naskah dan arahan-arahannya seperti Opera Ikan Asin, adaptasi Three Penny Opera karya Brecht, atau Wanita-Wanita Parlemen, adaptasi dari Lysistratanya Aristophanes. Semua naskah-naskah tersebut di atas rata-rata bertema protes atas kesewenang-wenangan kekuasaan dan kepincangan yang terjadi di masyarakat.
Bandingkan dengan teater-teater etnik tradisional di daerah yang melulu menampilkan karya-karya klasik ciptaan nenek moyang. Diberitakan bahwa teater Tantayungan di Kalimantan Selatan hanya boleh mementaskan cerita-cerita rakyat setempat, legenda, cerita sejarah, dongeng,-dongeng, atau cerita kerajaan, antara lain Kerajaan Mangkur Laga, Prabu Kesa, Pasir Tuya Siring Prada, dll. Sedangkan teater Dul Muluk dari Sumatera Selatan kebanyakan yang dihidangkan cerita-cerita yang berasal dari sastra lisan Melayu lama, seperti Hikayat Siti Jubaedah, Hikayat Abdul Muluk, Hikayat Indra Bangsawan, dll. Di Mandar, Sulawesi Barat, teater-teater tradisionalnya mungkin hanya menampilkan cerita lawas seperti I Hadara anna I Ca’bulung, I Parabueq, atau barangkali adaptasi toloqna I Sunusi.
Spirit berkesenian secara kolektif dan kebersamaan di daerah juga tidak memungkinkan untuk menonjolkan ego dan individualisme. Tambahan lagi kehidupan politik di daerah lebih adem ayem, belum memberi tantangan kuat bagi seniman daerah untuk melakukan perlawanan secara kreatif. Bukan hanya kebanyakan karya klasik itu anonim, teater juga tidak diidentikkan dengan seseorang pribadi sebagai pendiri, ketua, sutradara, dan pembuat naskah tunggal. Teater Flamboyan di Tinambung, Mandar, adalah bukti kebersamaan yang nyata, dengan pendiri dan kepemimpinan kolektif, sejauh yang saya baca. Dengan realitas ini, dimana para pegiat teater yang berbakat dan lihai di daerah , larut dalam warna bersama, tidak menciptakan naskah yang bersifat pribadi untuk mengabadikan nama sendiri, dus, tak ada tradisi mencipta, maka kekuasaan atas kerajaan teater di tingkat nasional masih berada dengan aman ditangan orang-orang itu juga, mereka yang tersebut di atas.
Dramawan-dramawan mumpuni seperti Rendra, Putu Wijaya atau Arifin C Noer sejatinya adalah produk dari teater atau minimal pelanjut teater kebangsaan, bukan teater bangsawan ala Mohammad Pushi, saudagar dari Malaysia itu, yang hanya menjual mimpi dan dunia khayal jauh dari realitas. Teater hiburan ini di jaman dulu biasanya mengangkat kisah raja-raja dan ratu, pangeran dan putri atau iblis dan jin botol dari negri entah berantah dengan setting India atau Timur Tengah. Yang saya sebut teater kebangsaan adalah teater-teater yang dibentuk dan dipimpin oleh para pemimpin pergerakan dan kebangkitan bangsa, yang mencas dan membakar semangat anti penjajahan menuju bangsa yang merdeka, seperti Sukarno, M. Yamin, Rustam Effendi, Sanusi Pane dan Armyn Pane. Sukarno sendiri menulis naskah Krukut Bikutbi dan Dr. Setan, serta membuat pementasan selama diasingkan di Bengkulu.
Teater bagi kalangan intelektual, seniman atau politisi di jaman pergerakan dan revolusi adalah ajang dan sarana membentuk kesadaran nasionalisme dan kemanusiaan. Ide-ide, gagasan dan aspirasi yang berkembang adalah bagaimana mempersatukan rakyat dalam perjuangan guna merebut dan mempertahankan kemerdekaan dan kebebasan. Jika era Sukarno, Sanusi Pane, persoalannya adalah “ free from” maka pada generasi sesudahnya adalah masalah “ free of” dimana manusia Indonesia yang telah merdeka dari penjajahan perlu tetap diterjagakan dari penyimpangan politik dan kekuasaan yang ada dalam mencapai cita-cita bersama. Musuh bukan lagi bangsa asing yang menjajah tapi, bangsa sendiri yang telah jadi gendut dan ngga perdulian karena dimanjakan oleh harta dan kekuasaan. Dan ancaman yang ada bukan lagi mengarah kepada masyarakat an sich, tapi telah mengancam eksistensi teater itu sendiri.
Ancaman juga bukan hanya datang dari kekuasaan yang berpotensi memandulkan teater atau seni pertunjukan pada umumnya, tapi justru muncul dari rakyat biasa yang kian makmur dan sejahtera. Kebangkitan kelas menengah dengan sikap dan karakteristinya berpotensi mengisolasi teater atau seni pertunjukan dari dunia mereka yang konsumtif dan ‘busines like’. Atas fenomena ini , Thornton Wilder pernah berkata, “ Equally harmful to culture is the newly arrived middle class....they distrusted the passions and tried to deny them. Their questions about the nature of life seemed to be sufficiently answered by the demonstration of financial status and by conformity to some clearly establishd rules of decorum. These middle class audiences fashioned a theater which could not disturb them...”
Class menengah yang disindir Thorton Wilder adalah kaum borjuis atau OKB abad ke 19 di daratan Eropa yang telah membuang aspek-aspek sublim dan katarsis dari teater dengan kedoyanan mereka pada hidup enak dan santai. Dengan uang mereka yang berlimpah, mereka dapat mempengaruhi dan mengatur teater agar mentas sesuai selera mereka yang easy going tapi rajin, dan tak punya lagi waktu untuk berkontemplasi ditengah kesibukan memburu harta dan menumpuk-numpuk modal. Dengan power mereka membuat setiap pertunjukan teater menjadi ‘shooting’ atau lembut dan sejuk, tak lagi punya greget dan ekspresi tajam, Wilder berkata, “ The tragic had no heat; the comic had no bite, the social criticism failed to indict us with responsibility.”
Nah, kebangkitan kelas menengah Indonesia dewasa ini juga punya potensi mencekik teater dengan prilaku mereka yang snobis dan narsis. Meski mereka sudah punya daya beli tinggi, sociable, dan knowledgeable, namun mereka masih mengidap sifat norak yang dibawa dari keadaan mereka sebelumnya, di alam susah dan menderita. Sikap mereka masih terlihat bernafsi-nafsi dan pelit, emoh belanja yang tidak berguna secara langsung, jika tampak generous, paling tidak yang bisa mengangkat citra dan status mereka hingga terlihat lebih hebring dan mentereng. Diantara mereka, ada yang membeli ipod-apple yang menampung ribuan lagu-lagu, tapi sebagian besar tak dimengerti. Banyak yang pergi nonton konser musisi asing dengan tujuan sekedar ngeceng bleh. Jika suka jazz atau rock, pasti yang berembel-embel jazzdut atau rockdut. Mereka yang lebih banyak suka selfi di medsos-medsos ini, jangan harap akan pergi menonton teater atau seni pertunjukan lainnya. Daripada nanti mengerutkan kening dalam ketak mengertian yang nelongso, meraka pasti lebih memilih ber ha ha hihi di fb atau twitter. Jika sudah begini, pantaslah Radhar Panca Dahana dan Nungki Kusumastuti atau yang lain meradang sepanjang waktu, dan tak kunjung menemukan obat sakit kepalanya yang cespleng karena mendengar secara bertalu-talu gong kematian seni pertunjukan nun jauh di sana atau yang dekat di sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar