Kamis, 15 Mei 2014

SABDA ALAM


Setelah berkelana bertahun lamanya di kota-kota besar secara riel dan imaginatif, Husni Jamaluddin akhirnya kembali ke desa, atau kampung halamannya di Tinambung Mandar, secara pisik maupun dalam bayangan abadi, lalu memperjuangkannya menjadi sebuah Provinsi Sulawesi Barat yang Malaqbi. Bukan karena pengaruh idealisme “ kembali keakar” Hussein Nasr dan Sutardji Calsum Bachri, atau credo Back to Naturenya Rosseaou. Tapi sepertinya sudah menjadi naluri bawaan para seniman, penyair, pengarang, pelukis atau pemusik untuk selalu mencintai alam dan lingkungan, manakala perlu tinggal di dalamnya. Walau itu sering tertunda dalam waktu lama karena mengejar kehidupan, karir dan nama di Kota. Di samping pusi-puisi mantranya dari Mandar atau Toraja, kembalinya Husni ke alam ( retreat) terekam jelas dalam larik-larik puisi Kisah Seorang Penyair Sekuntum Mawar dan Sehutan Kelelawar

Sesudahnya
Ia akan datang lagi ke depan sang mawar
Dan berkata :
Jangan khawatir
Hutan ini akan tumbuh kembali jadi hutan kelelawar
Tapi itu akan terjadi
Setelah kau tak di sini di hutan ini
Sebab kau telah kupetik dengan kasih sayang
Dan membawamu ke dalam syairku
Dalam perjalanan pulang
Ke tanah kelahiran
Ke rumah kesayangan

Sutan Takdir Alisyahbana pun yang terkenal begitu gandrung dan mengagumi kebudayaan barat, terutama pada segi-segi intelektualisme dan rasionalismenya, pada akhirnya tersungkur juga pada pengakuan “ bahwa manusia itu tidak dapat dilepaskan dari pengaruh alam. Bahwa alam itulah pangkal segala tenaga, asal segala perasaan dan pikiran yang menyebabkan manusia dapat berbuat segala yang luhur dan besar” ( adegan Yusuf tafakur di tepi laut Martapura, Layar Terkembang). Kita juga bisa membaca cinta dan kemesraan meraba alam oleh STA dalam roman-romannya seperti Dian Yang Tak Kunjung Padam, Tak Putus Dirundung Malang atau Anak Perawan Di Sarang Penyamun. Hal ini berarti bertolak belakang dengan serangannya terhadap idealisme Sanusi Pane dalam seri ‘ Polemik Kebudayaan’ tahun 30 an. Sanusi Pane lebih akrab dan mengagumi kebudayaan Hindu/Budha dengan Arjuna yang demen bertapa di Indrakila sebagai protagonisnya.

Memang kedua agama dan kepercayaan di atas punya hubungan sangat dekat dengan alam. Budhisme mengajarkan bahwa hubungan manusia dengan alam bukanlah hubungan sebagai lawan , tetapi hubungan saling ketergantungan. Hanya dengan hidup dalam keserasian dengan lingkungan alam dalam hubungan saling memberi dan menerimalah manusia dapat mengembangkan kehidupan dirinya yang kreatif, seperti digambarkan dalam konsep ‘Esho Funi’. Dan dalam nada yang sama, Hindu lebih menekankan unsur spritualisme dengan konsep ‘ Tat Swam Asi’ bahwa inti diri sama dengan hakekat kenyataan spiritual. Sedangkan visi kealaman Budhisme Zen, memandang kembali ke alam adalah sama dengan kembali ke diri sendiri. Suzuki menuliskannya dalam The essensials of Zen Buddhism, “ Zen pays nature the pullest respect it deserves. Zen proposes to respect nature, to love nature, to live its own live; Zen recognizes that our nature is one with objective nature, in the sense of nature lives is us and we in nature.”

Dalam peradaban barat, visi kealaman itu bisa diwakili oleh Presiden Amerika yang ketiga, Thomas Jefferson. beliau telahmenggantikan tagline konstitusi Amerika Serikat ‘ Life, liberty and property’ dengan ‘ life, liberty, and the pursuit of happiness’. Dengan begitu, ia telah mentransformasi ‘ the ancient pastoral dream of human possibilities from its convensional literary context to an actual political context.’ Dan lawan-lawan politik Jefferson telah menganggapnya sebagai seorang pemimpi dan penyair . dalam memformulasikan tujuan dan cita republic, Jefferson mensubordinasi kesejahteraan material, kekayaan nasional, dan kekuasaan di bawah capaian-capaian kualitas kehidupan. Sejak deklarasi Jeffersonian itu, public Amerika mulai menghargai citra taman hijau, rural society of peace, dan tentu saja lingkungan alam.

Tapi orang barat atau Amerika pada umumnya tetap saja tak sepenuhnya percaya dan mau tergantung pada alam, atau mau mencintai alam tanpa reserve, tanpa sikap dan sifat ambigu. Bahkan kaum zealotnya justru memandang alam ini sebagai ‘ Sapi perah liar’ yang selalu terbuka untuk dieksploitasi untuk memuaskan nafsu kebendaan dan serakah manusia. Atau paling tidak percaya pada yang telah dikatakan Thomas Hardy “ nature and man can never be friends.” Kalau toch banyak pengarang, seniman dan penyair Amerika yang suka pada alam dan selalu ingin ‘ retreat’ seperti Robert Frost, Ernest Hemingway, William Faukner, atau Walt Whitman, tetap saja akhirnya, rata-rata akan berpandangan bahwa meninggalkan kota menuju desa atau alam akan menimbulkan keadaan gamang, ketakutan dan keliaran yang bisa menghancurkan. Mereka selalu menghadapi situasi dilematis dan dua kondisi yang sama-sama tidak mengenakkan ; the expanding power of civilization vs the menacing anarchy of wild nature.

Robert Frost adalah salah satu penyair beken Amerika yang dalam salah satu syairnya bisa mewakili sikap mendua tersebut di atas. Dalam ‘ The Pasture’ ia mengajak untuk meninggalkan kehidupan rutin sehari-hari menuju alam.
I’m going out to clean the pasture spring
I’ll only stop to rake the leaves away
( And wait to watch the water clear, I may):
I shan’t be gone long,- You come too.

Namun bagi Frost, menarik diri ke desa, alam, dan padang rumput, punya keterbatasan tertentu dalam ruang waktu. Sehingga ia dengan hati hati mengatakan…. always, that it must end with return to common life, “ I shan’t be gone long.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar