BLOG INI UNTUK BERBAGI RASA DAN PIKIR, LEBIH BAIK SALAH TAPI MEMBERI DARI PADA BENAR TAK MEMBERI
Rabu, 14 Mei 2014
HIDUP UNTUK BEKERJA
Untuk menjadi “bintang yang terang” di dunia kerja, professional atau masyarakat, seseorang harus memperbaiki sikapnya terlebih dahulu ( improve attitude ) terhadap dunia kerja, dan millieunya. Namun untuk bisa melakukan itu orang harus terlebih dahulu merobah Cara pandang, Mindset atau Paradigm berpikirnya. Jika kita memandang kerja adalah sekedar untuk mencari rezeki dan memperbaiki taraf hidup, maka konsekwensinya adalah banyak kecewa dan rasa frustasi yang nanti menjelang. Banyaknya orang yang tidak bahagia dengan pekerjaannnya yang dianggap membosankan adalah karena faktor cara pandang tersebut. Ketika uang atau status yang menjadi idola dan tujuan utama, maka realitas banyaknya para ‘Caleg’ yang bertingkah memalukan setelah gagal menjadi anggota parlemen pun merebak di mana-mana. Konon sampai ada yang bunuh diri.
Jika kita memandang kerja adalah aktualisasi diri dan suatu keniscayaan hidup, atau merupakan perwujudan pengabdian pada sesama dan ibadah kepada Tuhan, maka prilaku gonta-ganti pekerjaan demi salary dan benefits akan jarang terjadi, kecuali orang yang memang telah stuck dan sulit berkembang di perusahaan tertentu. Sekita 80 persen orang bekerja tidak sesuai dengan bidangnya atau bakatnya, dus mana mungkin bisa bahagia antusias dan bahagia. Semua itu terjadi karena adanya prinsip ‘ bekerja untuk hidup’ bukan ‘ hidup untuk bekerja’
Banyak orang dewasa ini jika tidak mendapat pekerjaan yang dicintainya karena adalah bakat dan passionnya ( doing the jobs that he loves) juga mau melakukan pekerjaan yang tidak diminatinya asal bisa mendapat “ fringe benefits besides wages and high salary” seperti free lunches, life insurance, or yearly bonus. Repotnya banyak perusahaan yang bonafide menawarkan hal-hal yang menarik tersebut. Tujuan perusahaan yang mencari profit setinggi-tingginya dengan mendapatkan dan mengerahkan SDM semaksimal mungkin, telah menghimpun sebanyak-banyaknya para professional ke dalam situasi alienasi yang tak bisa ditolak. Persaingan yang ketat dan gencar telah memunculkan manusia-manusia yang “ looks like versatile and indefatigable but not happy, greedy and gullible or easyi to be taken and tricked by others”
Jor-joran iming-iming dan prospek materil telah membuat semua orang berangkat ke kota. Para petani dan orang desa menyekolahkan anaknya pada sekolah-sekolah dan universitas untuk menjadi pegawai, spekulan, atau white collar worker, seperti managemen, accounting, hukum, kedokteran atau engineering. Semua meninggalkan desa dan pergi ke kota. Bakat-bakat petani, berkebun dan melaut segera sirna seiring dengan meningkatnya urbanisasi. Dan tanah atau lahan-lahan subur dicaplok lalu dikonversi menjadi areal pabrik atau industri. Wilayah pedesaan serentak menjadi milik orang asing, sementara di kota penduduk asli juga menjadi terasingkan ( alienasi) oleh beban kerja dan produksi yang berada di luar batas-batas psikologis, bakat dan kemampuannya.
Jika kerja dipandang sebagai aktualisasi diri dan ibadah, maka fenomena ikut-ikutan atau snobis pada urban sensation tidak akan terjadi. Sebab yang memandang kerja adalah pengabdian dan realisasi diri, tidak akan tergiur oleh fantasi hedonisme dan konsumerisme di kota yang telah memberi andil bagi meningkatnya kriminalitas dan ketidak bahagiaan kerja. Yang pada gilirannya telah menimbulkan korupsi mental, material dan waktu. Seorang yang memadang kerja adalah ibadah dan aktualisasi diri untuk berfroliperasi terus menerus, akan selalu meningkatkan nilai tambah, kreativitas dan inovasi, tidak perduli dimanapun ia berkiprah. Jika ia bertani maka ia akan bertani secara sungguh-sungguh dan tahu apa yang ingin dicapainya, serta membayar harganya. Jika ia menjadi nelayan, maka ia akan menjadi nelayan tangguh dan tak gentar oleh badai, dan selalu akan berusaha membakar semangat dan meningkatkan produktivitasnya. Jika ia berdagang, maka ia akan berjualan dengan jujur dan rajin. Jika ia seorang seniman, ia akan berkarya tiap hari tanpa perduli pada pengakuan dan penilaian eksternal. Andai ia mau menulis, maka ditulisnya apa saja setiap hari dengan cinta dan ketekunan yang tinggi. Seorang guru akan lebih menjadi pendidik katimbang pengajar yang mentransfer ilmu belaka. ia akan mencurahkan hidup dan kemampuannya untuk membina dan mengarahkan murid2nya yang tadinya ‘ a half animal’ menjadi ‘ the whole man’
Suka · · Bagikan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar