Senin, 12 Mei 2014

DEMORALISASI


Jika bangsa ini berada di ambang kehancuran, bukan karena banyak dan silih bergantinya permasalahan yang dihadapi, tapi justru karena kelewat banyak dan tidak proporsionalnya hujatan dan kritikan terhadapnya. Negara sebagai sebuah entitas dengan perangkat-perangkatnya nyaris mengalami demoralisasi dan kehilangan rasa harga diri dan rasa percaya diri. Hampir semua indikator dan index keburukannya diberitakan, ditonjolkan dan disebarkan setiap hari, ke semua penjuru, sehingga citra negara betul-betul hancur dan tak bermakna lagi. Jujur saya katakan, semua hujatan dan kritik ada yang positif, tapi kebanyakan hanya ikut-ikutan dan sekedar meniru-niru saja agar disebut orang sebagai kritis dan paham tentang permasalah bangsa dan negara.

Sepertinya ada agenda tersembunyi untuk menghina dan melemahkan mental bangsa ini habis-habisan agar tak punya lagi fondasi mental yang kokoh untuk berdiri dan survive. Pembentukan opini publik telah sedemikian rupa menempatkan bangsa ini dalam posisi inferior dan hina di mata para pesaing dan musuh-musunya yang memang menginginkan bangsa ini doyong dan selalu mumet, sehingga akan mudah dikuasai dan ditopang dengan dana dan kemampuan yang mereka miliki. Seandainya bangsa ini sudah tak punya harapan – jangan lihat harapan itu dari performance pemimpin2nya- kenapa mereka mau memborong semua asset-asset yang dimilikinya, seperti lahan-lahan pertambangan, perkebunan, pertanian, bahkan pendidikan dan kesehatan. Semua saham perusahan yang sehat dibeli dan dikuasai dengan berbagai cara dan tipu-tipu. Dari mulai air, kecap, semen, bank, rokok, indosat, pelabuhan, infrastruktur, sampai listrik telah di lelang oleh para pengelola negara. Bahkan Pertamina yang jadi kebanggaan dan penopang negara hanya tinggal jadi pemilik saham minoritas pada urusan gas negara. Dan anehnya mereka mau beli semua itu with all possible cost, padahal negara ini telah dilecehkan dan dihina habis-habisan oleh para ‘ Emissary the highway marauders’ tersebut. Apakah semua itu “ with all to no purpose?

Seharusnya kita, bangsa Indonesia bisa menciptakan musuh bersama berupa corporates, persons atau problem sehingga bisa mempersatukan dan mensinergikan semua elemen bangsa untuk menghadapinya. Tapi yang terjadi adalah, para kolaborator dan kapitalis itu yang justru bersatu menjadikan bangsa dan negara Indonesia “ the common enemy” Yang harus ditaklukkan dan dikuasai dengan berbagai cara ; budaya, ekonomi, politik dan ideology. Karena kita seperti tak punya daya dan kemampuan mencounter semua manuver dan makar tersebut, maka jadilah wilayah Indonesia dikavling-kavling dengan mudah dan lancar, dengan kontrak karya yang mendekati seratus tahun dan juga falilitas yang menggiurkan, termasuk tax holiday dan service luar dalam yang mengasikkan.

Tidak salah apa yang dikatakan Thomas Piketty dalam bukunya yang telah membuat heboh dunia dan membakar jenggot para kapitalis, “ Capital in the Twenty First Century”, bahwa kapitalisme adalah biang kerok semakin kayanya orang kaya dan semakin miskinnya orang miskin. Nafsu mengakumulasi modal kaum kapitalis, menurut Piketty, mendatangkan bencana kemanusian berupa kesenjangan yang semakin lebar. ( Republika, 7 Mei 2014).

Sebenarnya apa yang dikatakan oleh Thomas Piketty saat ini, telah disuarakan oleh Lucien W. Pie puluhan tahun lalu, ketika era dasawarsa pembangunan baru dimulai. Dalam artikelnya yang berjudul “ The International Gap” ia mengatakan,” Each year, as the figure for economic growth have been reported from Asia, Latin America, and Africa, there is disturbing realization that instead of reducing the gap, the trend in many cases has been in the opposite direction. Tha economies of the develoved countries have been growing at an even more rapid rate; and even where many of less develoved countries have shown successes in comparison with their past performance, they have not been able to keep face in a relative sense.”

Kita tidak harus berteriak “ go to hell with your aids” seperti yang dilakukan Sukarno. Paling tidak kita bisa berani mengatakan ‘ don’t take everything in my country” Dan berhentilah untuk selalu berpesta di atas derita bangsaku (La surura daimun) Sikap dan tindakan kita tak perlu sekeras dan sekasar rezim ‘ Boko Haram’ di Nigeria, atau Hamas yang selalu ingin membuang kaum zionis Israel ke Laut Merah. Atau China yang sekarang ini jelas-jelas dan nyata berani melawan dominasi barat. Kita bisa bermain cantik dengan menbendung upaya pembentukan opini publik yang ngawur dan destruktif serta membuat bangsa ini tampak begitu nelangsa dan patut dikasihani. Lihat saja semua berita dan opini di media massa, semua seperti bersatu dalam ‘ False Choir’ terhadap negara ini. Tidak ada yang berani bersikap seperti Soren Kierkegaard - filsuf eksistensialis yang teistis - yang menganggap media pers sebagai penanggung jawab utama atas terbentuknya pendapat umum ( opini public) yang dinilainya mudah mengadung dirtorsi dan bisa berakibat demoralisasi.

Bangsa ini tidak serusak dan serendah seperti yang diopinikan. Masih banyak hal-hal baik dan modal sosial dan budaya yang bisa dikembangkan dimobilisasikan untuk mengangkat harkat dan harga diri bangsa. Sejatinya bukan sistem ekonomi atau kepintaran suatu bangsa yang membuatnya bisa bangkit, tapi harga dirinya yang menolak untuk manjadi inferior dari bangsa-bangsa lain. Dan percaya bahwa kemajuan dan keselamatan ada ditangan mereka sendiri demi kebaikan semua. David C Mcclelland mengatakan, “ There are two psychological elements essential to economic success; the desire to prove oneself better than other and the need to promote the common good – at least of their minotity group, which is often somewhat persecuted.”




Tidak ada komentar:

Posting Komentar