Kamis, 03 Oktober 2013

ADAQ MANDAR, SEBUAH PERSPEKTIF



Menurut lontar Mandar, yang dimaksud dengan adaq dan pemanku adaq pada hakekatnya sama. Jadi adaq-lah yang dihormati yang dihormati dan disapa dengan Puang oleh orang Mandar. Pola kekuatan adaq ( hukum ) ada tujuh yang diibaratkan dengan :

1. Permata yang cahayanya tak pudar oleh lindungan alam.
2. Pematang lurus bukan karena penanda ( pelurus ) tanah.
3. Pagar atau benteng negri yang pantang dilompati.
4. Penjera ( alat menjerakan ) oleh orang yang kuat.
5. Tempat berpegang erat bagi rakyat kecil.
6. Tempat bertumpu ( berlindung ) bagi orang banyak.
7. Tempat berlindung penduduk negri.

Jelas bagi kita bahwa adaq Mandar sangat perduli pada orang kecil, orang banyak dan seluruh penduduk. Hukum dan keadilan adalah panglima yang tentu saja hanya bisa jalan bila berlandaskan azas kebebasan dan persamaan. Todilaling pun telah menekankan pentingnya demokrasi atau prinsip kedaulatan rakyat dengan mengatakan “ Patondo saliwangi baromu, patondo tamai barona to mae’di “.

Perbedaan manusia dalam hal kemampuan, bakat dan kepintaran dipandang sebagai hukum kodrat ( assimemangang). Jadi hirarki sosial yang membagi manusia dalam stratifikasi sosial yang ketat adalah konstruksi manusia, bukan berdasarkan kodrat yang telah ditetapkan Allah SWT. Boleh jadi apa yang membedakan orang Mandar dalam hirarki yang berdasar keturunan adalah konstruksi penguasa yang ingin melestarikan hak istimewa dan kemurnian darahnya, dan pada saat yang sama menutup akses dan kesempatan bagi golongan lain.

Kebiasaan yang feodalistik itu adalah warisan kekaisaran Romawi- Bizantium yang banyak diadopsi negara-negara Barat dan kerajaan-kerajaan Islam sendiri. Orang Indonesia di jaman penjajahan telah mengalami dampak buruk dari pembedaan dan pengaturan hirarki manusia itu oleh Belanda yang membagi masyarakat dalam tiga tingkatan, Orang Eropa, golongan Timur Asing ( orang China, India dll ), dan golongan Pribumi. Akibat dari pembagian itu adalah orang Indonesia yang berada di strata paling bawah tak dipercaya untuk melakukan kerja sebagai pemasok. Leveransir, pedagang perantara dll. Semua itu diberikan pada golongan ke dua.

Rasisme yang tak berdasar itu telah juga dirasakan oleh dunia, dampak buruknya telah menyebabkan perang penaklukan oleh bangsa Jerman dibawah pimpinan Hitler terhadap bangsa-bangsa lain, terutama yang menjadi tetangganya. Sejatinya konsep rasial yang menempatkan ras Germania sebagai ras paling murni dan unggul adalah dekaden dan irrasional, termasuk menuruti orang Jerman sendiri. Slogan Hitler “Deutchland Uber Alles” hanyalah sebagai pretex untuk melakukan perang dalam rangka “ Lebensraum “ atau mencari ruang hidup dan rezeki dengan menjajah negara lain dan sumber daya alamnya dan meluluh lantakkan yang melawan.

Di Bali konsep stratifikasi sosial yang berdasar keturunan telah digugat. Padahal kita tahu Bali adalah wilayah yang ketat memegang tradisi, adat dan budaya. Bahkan itulah yang telah menghidupi dan memajukan mereka dengan aneka produk kesenian dan ritual yang kaya dan menjadi magnit bagi wisman dan wislok pada berdatangan ke Pulau Dewata.

Adalah Anak Agung Gde Putra Agung, seorang bangsawan tinggi dari namanya, yang mengatakanbahwa kata “ kasta “ berasal dari bahasa latin “ castus “ yang berarti utama, suci, tak ternoda, murin, sopan, dan terhormat. Selanjutnya kata tersebut diserap ke dalam bahasa Portugis menjadi “ casta “ yang berarti keturunan atau ras. Makna yang terkandung dalam bahasa Portugis itulah kemungkinan yang dipakai orang Barat untuk membedakan kelompok-kelompok sosial yang ada di India yang kemudian diekspor ke-kerajaan-kerajaan yang beragama Hindu termasuk di Bali dan Jawa di masa pra Islam.

Bagi kita di Mandar, budaya Istana bukanlah sesuatu yang harus dimusuhi dan dilupakan, justru harus dilestarikan sebagai sumber nilai-nlai dan kearifan dan ilmu. Berdasar pada keyakinan bahwa tak semua tradisi, adat dan budaya di Mandar adalah murni hasil kreatifitas Orang Mandar berdasar pada teori evolusi kebudayaan, tapi mungkin saja ada kultur atau sub kultur yang terkonstruksi berdasar pada teori difusi atau penyebaran budaya yang tak bisa kita hindari justru karena kita adalah bangsa yang berbudaya maritim dan sudah barang tentu rentan dari pengaruh-pengaruh budaya asing dan etnik lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar