Walaupun pada dataran konsepsi dan genealoginya, pattu’du masih menyisakan tanya dan keprihatinan, tapi pada ranah praktis, pattu’du punya juga sesuatu yang bernilai untuk dipelajari dan diaplikasikan dalam kehidupan ini. Ada moral praktis yang terkandung di dalam setiap gerakannya yang menunnjukkan sikap tenang, bersahaja dan sabar walau ditengah pukulan dan hentakan ganrang yang keras dan bergemuruh. Penari dalam situasi bergelora dan emosional, takkan terpengaruhi dan terbawa emosi, langkah-langkahnya tetap mantap di atas tungkai yang bergerak dinamis, serta torso yang mengikuti halusnya liukan tangan yang gemulai tapi menghanyutkan. Tetap harmonis dalam ketidak harmonisan suara, tetap seimbang dalam kekacauan atmosfir ekologisnya, dan selalu memproduksi keindahan ditengah kekacauan suasana.
Sebaliknya, meski kidung kalindaqdaq pengiring menyaran pada suasana muram dan mellow banget, sang penari akan tetap menyungging cawa ca’beru’nya yang diam-diam dan malu’malu. Sebuah peragaan keanggunan dan kemala’bian manusia Mandar yang elegan.
Inti pola koreografi tu’du Mandar memang dominan pada unsur angin yang berwarna putih. Itu tampak pada pola hias, misalnya pada hiasan dali dan melati. Karakternya bagai angin yang terus mengalun memberi kesejukan, selalu bulat dan mantap dalam tujuan, namun bertipe tenang atau sufiah. Tapi rias tubuhnya bersifat urat yang bisa berasa asin. Ia bisa marah dan kesurupan bila diganggu dan terganggu,
Jika dikorelasikan dengan kehidupan kini, maka gambaran orang Mandar yang ada dalam metafora pattu’du adalah manusia yang punya kemampuan mengenal diri sendiri yang built in serta self healing yang tinggi, secara psikis dan fisik. Rohaninya tak dibiarkan liar dengan pikiran-pikiran tak terkendali bagai kuda lepas dari kandang di alam kongkrit yang penuh dengan godaan dan cobaan. Segala penyakit yang datang dari luar dan dalam dirinya, mampu diatasi dengan vaksin atau anti bodi yang otomatis ada dalam tubuhnya yang muncul dan bereaksi secara alami. Itu sebabnya dahulu dan mungkin kini orang Mandar jarang dapat penyakit stress, dan frustasi. Karena ia mengenal betul siapa dirinya dan posisinya di alam semesta, hubungan dengan Sang Khalik dan cara bersikap tindak dan berprilaku yang benar dan baik.
Kita memang harus berprinsip “ If we change look things, things will change look at us”. Dunia tak akan bersaing dengan kita jika kita tak bersaing dengannya. Motivasi yang lahir dari filosofi pattu’du itu adalah motivasi yang penuh esensi minim fantasi. Tujuan yang hendak dicapai orang Mandar hendaknya bukan “ Hipnotized Goal” tapi “ Ultimate Goal”. Itulah makanya perlunya untuk tetap mejaga kedalaman ilmu, skill/kettrampilan. Attitude, values dan etos. Dengan menghindari perangkap motivasi yang merusak dan berlebihan, seperti, perangkap etika, perangkap self centered yang sering membuat orang memper-Tuhan diri sendiri dan dan mendewakan sukses.
Sejatinya motivator nomor satu adalah Tuhan, jauh melebihi motivasinal dari diri sendiri dan orang lain. Ultimate goal adalah mengenal Tiuhan. Dan tentu dengan terlebih dahulu mengenal diri sendiri yang telah ditunjukkan oleh orang Mandar dalam salah satu master piece-nya “ Pattu’du, “ Man arafa nafsahu, faqad arafa Rabbahu” . walalhu ‘alam Bissawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar