Rabu, 08 Januari 2014

SIMONE DE BEAUVOIR



Hari ini jika anda masuk ke halaman pencarian goggle maka dipojok kiri atas akan terlihat pemberitahuan bahwa Simone De Beauvoir, seorang filsuf, feminis, novelis, aktivis politik berulang tahun yang ke 106. Sebenarnya tokoh pemikir dan penulis perempuan yang lahir pada 9 Januari 1908, telah meninggal dunia pada tanggal 14 April 1986. Tapi mungkin dunia atau goggle ingin mengenangnya sebagai salah satu tokoh penulis dunia yang mumpuni, karena hari ini. Kamis 9 Januari dirayakan sebagai hari menulis.
Kehidupan yang dijalani dan dilalui Beauvoir bersetting perubahan-perubahan besar di abad dua puluh akibat dua perang dunia serta proses dekolonisasi yang keras di Asia dan Afrika. Semua itu membentuknya menjadi seorang intelektual publik, pemikir dan penulis yang membantu mengembangkan filsafat fenomenologi khas Perancis, yakni eksistensialis. Jean Paul Sartre, eksponen terkemuka filsafat eksistensialis, adalah kekasih Beauvoir, sekaligus mitra filosofisnya, selama lima puluh tahun sampai wafatnya.
Membaca Beauvoir adalah merayakan Mandar dengan konsep Sibali-parrinya. Filsuf wanita itu adalah pejuang kesetaraan gender, sedang Mandar adalah wilayah dan etnik dimana persamaan gender telah dirayakan sejak dulu sampai sekarang, meski di sana-sini terdapat deviasi dan distorsi. Hanya saja Beauvoir adalah seorang feminis marxis yang tercerabut dari akar agama karena credonya yang berbunyi,” Bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama eksisten, artinya makhluk tanpa esensi tetap. Sebagai eksisten laki-laki dan perempuan bisa menjadi tetap dalam pemaknaan hanya jika melalui tindakan individu dan kolektif berupa bad faith.” Sedangkan yang dimaksud dengan bad faith atau keyakinan buruk adalah manakala seseorang mengidentifikasikan dirinya dengan beberapa esensi atau kodrat, seperti pelayan yang baik, perempuan yang didambakan, atau perempuan saleha, dsb. Tentu saja dari sudut pandang agama ini hal ditabukan. Manusia menurut Islam jelas punya esensi atau kodrat yang telah ditentukan oleh Tuhan, semisal kodratnya sebagai perempuan atau laki-laki.
Pada titik inilah kaum feminis liberal atau radikal juga bersimpang jalan dengan kaum feminis Islam seperti Fatima Mernisi, Fredda Hasan atau Rifaat Hasan. Mereka ini jelas adalah feminis yang berideologi Islam yang dalam perjuangannya meciptakan kesetaraan gender tetap berpegan teguh pada nilai-nilai Islam. Bagi Fredda Hasan misalnya, budaya patriarkhi atau kecendrungan gender bias adalah bersifat konstruktivistik, artinya ia sengaja dicreate guna mempertahankan dominasi laki-laki. Dalam bukunya yang berjudul, “ Muslim Women”, ia membedakan antara sejarah Islam dengan sejarah Muslim. Menurutnya sejarah muslim telah melahirkan Islam semu ( pseudo Islam), yakni Islam yang diformulasi untuk melegitimasi kepentingan elit penguasa, dimana pada saat itu mulai terjadi pembatasan hak-hak kaum perempuan dan membungkam suara meraka demi kepentingan kaum feodal. Sejarah muslim terjadi saat mulai berdirinya sistim dinasty atau kerajaan yang bergaya bizantium di masa Bani Umayah. Sedangkan sejarah Islam adalah masa pewahyuan Al Qur’an dan masa Nabi Muhammad dan empat sahabatnya. Saat itu hak-hak perempuan dihargai dan bisa tampil sebagai anggota komunitas muslim yang bermartabat.
Bagi feminis Islam yang juga dianut di Mandar, seorang perempuan bagaimanapun tidak bisa lepas dari kodratnya sebagai perempuan yang harus melahirkan, menyusui, mengasuh anak dan lain sebagainya. Kodrat Tuhan yang bersifat biologis ini takkan pernah berubah dan bisa diganggu gugat. Dan ini adalah alami ( nature) atau bagian dari sunnatullah. Sedangkan ketidak setaraan gender atau dominannya budaya patriarkhi adalah sebuah kultur ciptaan manusia yang memang bisa dirubah dan mengalami pergesaran yang siknifikan.
Terlepas dari semua hal yang dibahas di atas, Simone De Beauvoir patut kita kenang sebagai seorang pejuang kemanusian yang telah mencoba membebaskan manusia dari sistem-sistim dominasi dan hegemoni dalam segala bentuknya, meski apa yang dicita-citakan dan diperjuangkan masih jauh dari harapan. Apa yang telah ditulis dan dikatakan akan selalu bergema di jiwa insan-insan yang selalu rindu pada persamaan, kebebasan dan keadilan. Terutama mereka yang selalu bertanya ‘ apa artinya menjadi perempuan. Simone De Beauvoir telah menulis dalam bukunya, The Second Sex, “ Perempuan datang untuk menjadi mode bagi eksistensinya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar