Selasa, 07 Januari 2014

POLISI

Film Godfather, produksi tahun 1972, besutan sutradara Francis Ford Coppola yang dibintangi Marlon Brando ( Don Vito Corleone) serta Al Pacino ( Michael Corleone) telah dianggap sebagai satu dari tiga film terbaik Amerika sepanjang masa, bahkan sebuah institute berpendapat film itu sebagai primus inter pares dari film-film sejenis. Film ini diangkat dari buku karangan Mario Fuso dengan judul sama yang menggambarkan lika-liku dan sepak terjang para Mafioso keturunan Sisilia, Italia di Amerika, khususnya di New York. Tentang Kelompok-kelompok mafia yang begitu kuat dan berpengaruh sehingga mampu mengendalikan polisi, mengelabui dan mengendalikan hukum untuk mengamankan bisnis hitam mereka.
Dalam film dan buku Godfather diceritakan dengan gamblang betapa seorang dari keluarga mafia Tattaglia , Sollozzo mampu menaruh polisi New York di sakunya dengan hanya menggenggam jiwa seorang kapten polisi McCluskey. Dengan kekuasaan uangnya Solozzo mampu membuat McKluskey dan anak buahnya mau melakukan apa saja untuknya, termasuk memback upnya dalam rangka perang habis-habisan antara keluarga bossnya, Tattaglia melawan keluarga Don Corleone, The Godfather. Dan pada akhirnya keduanya, Sollozzo dan McCluskey ditembak mati oleh Michael Corleone.
Mario fuso mengaku bahwa bukunya yang difilmkan yang antara lain menggambarkan kebobrokan mental para mafia, serta beberapa polisi New York adalah hasil penelitian lapangan dan literature. Ia benar karena nyatanya sebuah penelitian pada 2010 tentang perilaku New York Police Department ( NYPD) telah mengangkat fakta bahwa prilaku misconduct polisi Amerika pada tingkat bawahan memang begitu adanya. Bahkan bukan hanya memback up para penjahat, juga suka melakukan penjebakan dan rekayasa perkara. Tidak sampai disitu, terkait dengan miskonduk polisi, beberapa penelitian di Australia, New Zealand dan Negara-negara Eropa, telah mengungkap fakta bahwa 50 persen proses pengadilan yang tidak adil dan benar, berawal dari prilaku polisi yang tidak becus dan bertanggung jawab ditingkat penyidikan.
Dan rupanya hal tersebuat di atas bersifat universal, termasuk terjadi pula di Indonesia. Keputusan Mahkamah Agung yang membebaskan tersangka kasus Narkoba, Rudi Santoso dengan alasan tidak diikutinya proses penyidikan dan pemeriksaan perkara secara baku dan benar oleh polisi, telah semakin memperbesar persepsi negative masyarakat terhadap lembaga penegak hukum tersebut. Dalam amar putusannya, MA menyebut tidak ada bukti-bukti yang cukup dan tidak adanya proses pemeriksaan urine untuk menahan tersangka. Bahkan ada yang menduga telah terjadi penjebakan dan kriminalisasi.
Saya tidak akan memasuki wilayah tekhnik prosedural dan dasar hukum, hanya ikut prihatin jika polisi akan semakin kehilangan simpati dan kepercayaan masyarakat, karena semua akan rugi dan menyesal. Sudah bukan rahasia lagi bahwa dewasa ini citra polisi benar-benar telah berada di titik nadir. Walaupun hal yang sama juga menimpa semua lembaga penegak hukum, bahkan pembuat hukum ( DPR). tapi polisi berada diujung tombak penegakan hukum dan keadilan. Jika ada kesalahan procedural dan operasional dalam bidang apapun, termasuk hukum, selalu yang di bawah yang akan jadi sasaran tembak atau kambing hitam, dalam hal ini penjidik dan penyelidik reskrim polri.
Termasuk ditembak matinya enam yang diduga pelaku teroris di Tangerang. Orang tidak akan melihat adanya sebuah mata rantai perintah dan kebijakan terkait dengan upaya besar menghabisi kantong-kantong dan potensi teroris, tapi akan melihat dan merasakan betapa kejam dan teganya para anggota densus 88 Polri itu di lapangan. Begitu murahkah jiwa manusia bagi mereka?, begitu mudahkah menghabisi nyawa anak manusia yang belum tentu atau terbukti kesalahannya.
Sentimentalisme yang romantik memang tidak relevan dalam ruang publik, tapi dimana sebenarnya batas ruang publik itu. Sebuah kekuasaan dan diskresi yang besar, luas tak terbatas akan mudah disalah gunakan dan membuat setiap tidakan aparat yang salah dan kejam berlindung di bawah payung “ Atas nama kepentingan rakyat”. Narkoba serta terorisme memang adalah ekstra ordinary crime atau kejahatan luar biasa serta musuh bersama kita, tapi haruskah ditangani dengan cara eksesif? Lalu apa bedanya polisi dengan preman? Hukum memang harus ditegakkan tapi haruskah memberangus rasa keadilan dan kemanusiaan kita?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar