Senin, 06 Januari 2014

LIMBAH KEBUDAYAAN

Kita sering mencari makna-makna kebudayaan di kejauhan, padahal kebudayaan hadir pada setiap tarikan nafas kita. Bila yang kita hirup adalah udara kotor yang hembus dari lingkungan yang berjelaga, maka kita telah menyatu dengan sifat budaya yang dekaden atau gagal. Jika itu eksis terus menerus tak tertanggulangi untuk dikarungkan, maka kita akan tumbuh menjadi manusia yang kerdil secara fisik dan psikis. Dengan kata lain lingkungan yang sehat, asri dan Nyaman adalah menifestasi begaimana kita mengelola budaya dan peradaban. Yang pada gilirannya membentuk diri kita sebagai manusia.
Itulah sebabnya pemprov DKI berusaha merelokasi penghuni bantaran kali ke rumah-rumah susun. Kalau tidak, sampah-sampah dan buangan akan terus menghambur ke kali, mengotorinya, menghambat alirannya dan menciptakan polusi dan banjir. Tapi kalau hanya merelokasi tanpa merubah kesadaran, maka lingkungan baru mereka justru akan jadi korban berikutnya dari kebiasaan buruk membuang sampah sembarangan. Got-got dan sistem drainase kota akan jadi tempat pembuangan sampah baru yang justru lebih merusak karena juga mengkontaminasi orang-orang terdidik yang terbiasa mengelola kebersihan secara benar.
Sampah adalah limbah peradaban yang mengandung zat-zat yang dapat membunuh kebudayaan. Sejatinya membuang sampah sembarangan bukanlah libido alami manusia. Ia adalah imbas dari pemerintah kota yang gagal mengoptimalkan metode managemen sampah yang benar. Terutama dalam hal melakukan sosialisasi akan perlunya hidup lebih berbudaya dengan memperlakukan sampah pada tempatnya. Di Makassar dan banyak kota besar, aturan-aturan atau perda tentang sampah mungkin sudah lebih dari cukup, tapi karena tidak pernah tersosialisasi dengan betul, maka larangan membuang sampah di kali atau di got-got dilakukan pada malam hari. Sama sekali belum terbangun sense of belonging pada keberadaan sarana-sarana kota dan dan fasilitas alam. Ini adalah buah dari kegagalan kebudayaan.
Suatu ketika saya bertamasya dengan becak dari saleppa, Majene menyusuri jalan pantai sepanjang Pangali-ngali, Cilallang hingga mendekati Rangas. Jalan yang mulus dan mungil dikotori oleh sampah dan bau busuk sepanjang jalan. Kotoran bertebaran sepanjang bibir pantai, karang dan bebatuan. Beberapa anak manusia yang dengan santai dan enaknya jongkok dengan cuek membuang hajatnya pada suatu tempat. Seorang gadis remaja membuang sampah rumah tangga ke laut yang biru dan tak berdosa. Dan ini berkali-kali saya lihat sepanjang perjalanan.
Mungkin itu hal yang sepele, dan takkan punya daya rusak lingkungan yang besar dan massif, tapi itu adalah cermin kebudayaan yang gagal. Kebudayaan itu identik dengan kebersihan, keindahan dan kepantasan. Atau barangkali seorang tomawuweng dengan melipa-lipa pergi ke pantai untuk membuang hajat dianggap sebuah khas Mandar yang tak perlu diganggu gugat? Rasanya itu tak ada hubungan dengan tradisi yang harus dilestarikan, tapi sesuatu yang justru merusak mood dan pemandangan, rasa budaya dan susila.
Tapi sekarang ini jauh lebih baik dibanding ketika saya masih di Mandar di masa kecil. Dulu pantai Majene, dari mulai pelabuhan sebelah kiri, Battayang, sampai Barane adalah kakus besar yang panjang, kotor dan berbau. Pantai sebelah kanan pelabuhan sampai Pangali-ali lumayan bersih hingga jadi tempat kami main lempar-lemparan bom-bom pasir dan mandi-mandi. Justru di sini sekarang tak ada lagi pasir putih kecuali sampah-sampah bertebaran.
Jika kebersihan bagian dari Iman, maka keindahan adalah kesukaan Allah. Bahkan menyingkirkan duri dari jalan atau tempat-tempat umum adala salah satu cabang Iman, apalagi sampah dan kotoran.
“ Singkirkanlah Duri dari jalan karena itu adalah shadaqah buatmu.” (Haditz)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar