Ali Shariati, seorang cendekiawan muslim terkemuka mengatakan, percuma mencoba melakukan upaya perbaikan manusia secara intelektual dan moral jika kita tidak terlebih dulu mengetahui siapa dan apa yang disebut manusia itu. Jika pertanyaan tentang manusia tidak terjawab, jika manusia tidak dimengerti dan didefinisikan secara meyakinkan, maka pendidikannya, betapapun modernnya, tidak akan menghasilkan kesuksesan dan mamfaat yang sesungguhnya. Beliau juga membedakan antara manusia basyar dan manusia yang berdimensi ‘ insan’. Basyar adalah makhluk yang sekedar ‘ berada’ atau being, sedangkan insan adalah makhluk yang menjadi ( becomimg) atau yang terus bergerak maju menuju kesempurnaan dan berproses secara evolutif menuju Zat Yang Tanpa Batas, Allah.
Insan yang terus menjadi dan berproses itu oleh Allah telah dikarunia dengan tiga sifat atau atribut yang saling berkaitan : kesadaran diri, kemauan bebas dan kreatifitas. Menurut Ali, jika manusia memiliki sifat-sifat lainnya, maka sifat-sifat itu hanya derivasi atau yang diturunkan dari tiga kualitas pokok di atas. Kesadaran diri membuat orang bisa memilih. Kemampuan untuk memilih menolongnya untuk mencipta. Tiga prinsip ini saling melengkapi dan saling memerlukan dalam suatu cara yang terpadu, dan yang memungkinkan suatu masyarakat atau bangsa bisa mencapai cita-citanya. Kesadaran diri di sini bisa disandingkan dengan salah satu makna konsep budaya harga diri atau Siri di Mandar atau di Sulselbar.
Sering dikatakan bahwa setiap anak pada galibnya memiliki kreativitas yang bersifat unik. Hanya sering terjadi orang tua dan para pendidik seolah tak mau tahu pada realitas itu, sehingga mereka tidak tergerak untuk menciptakan lingkungan atau suasana yang kondusif bagi berkembangnya kreativitas anak secara bebas dan meluas. Di rumah dan di sekolah lebih banyak didapati lingkungan yang mematikan bakat kreatif anak. Pikiran dan ungkapannya yang spontan, terbuka dan bebas sering tidak ditanggapi malah kadang disalah pahami. Juga rasa ingin tahu, rasa takjub, daya imajinasi, dan kesenangannya bertanya. Di rumah atau di sekolah acap tak mendapat tanggapan dan penghargaan. Dengan begini anak telah kehilangan kesadaran diri atau harga diri dan kebebasannya yang kelak akan menjadikannya menjadi sekedar basyar bukan insan dalam pandangan Ali Shariati
Dalam kaitan itu, perlu ada kerja penyadaran orang tua dan anak itu tersendiri tentang peran dan kemampuan masing-masing. Guru harus menyadari bahwa tanpa adanya kesadaran dari anak tentang posisinya yang penting serta betapa besar bakat, potensi kreatif yang ada padanya, maka anak tidak akan pernah menjadi makhluk yang bebas kini dan nanti. Ia tidak akan punya kesanggupan untuk memilih yang terbaik bagi diri dan lingkungannya. Ia menjadi manusia yang terpenjara secara historis, sosial, dan oleh lingkungannya, bahkan terpenjara oleh naluri-naluri dan hasrat-hasratnya sendiri yang kadang sangat self centered atau egois.
Orang yang tidak menyadari potensi dan kemampuan unik yang ada dalam dirinya, akan senantiasa tergantung pada opini dan arahan orang lain termasuk orang tua dan guru atau opinion leader. Dengan kata lain ia menjadi manusia yang tak punya harga diri yang sehat. Sering terjadi di Mandar, orang membunuh atau menyiksa orang lain hanya karna mendengar kata dan hasutan orang. Sikap dan harga dirinya muncul secara eksternal bukan dari penghargaan pada diri sendiri secara internal. Jika membantu atau berbuat baik pada orang bukan atas dasar keikhlasan, tapi karena takut jadi bahan omongan dan dikucilkan lingkungan. Hal ini terjadi karena sejak kecil telah dibunuh kesadaran diri dan kebebasannya untuk memilih oleh orang tua atau guru yang merasa selalu lebih pintar dan serba tahu apa yang terbaik bagi anak-anak. Dengan begini bagaimana akan mengharapkan muncul kreatifitas dari orang-orang yang telah kehilangan kesadaran diri atau harga diri dan kebebasannya.
Jepang bisa maju seperti sekarang karena disamping karena mereka memang mencintai kebebasan dan kreatif, juga mempunyai harga diri atau kesadaran diri yang sehat yang berangkat dari hati nurani yang paling dalam, sehingga mereka dikatakan, disamping punya ‘ Shame Culture’ mereka juga juga punya ‘ Guilt Culture’ atau budaya rasa bersalah yang memaksa mereka untuk mempertangung jawabkan secara kesatria apa saja kekeliruam teknis dan moral yang mereka lakukan dan merugikan secara luas masyarakat dan bangsanya. Tapi di negri yang katanya berbudaya luhur dan tinggi ini, Indonesia, walau telah masuk bui atau telah terbongkar korupsi dan manipulasinya, masih saja dengan gagah berani mau menjabat dan memerintah, misalnya dengan jadi ketua perkumpulan olah raga, wakil rakyat atau gubernur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar