UN tahun 2014 ini tak begitu merisaukan andai banyak yang tak lulus, karena itu berarti masih banyak siswa yang jujur serta guru yang punya integritas. Tapi yang membuat galau adalah takdir itu terjadi karena andil para pendidik dan orang-orang kemendikbud yang seperti kurang paham atau tidak mau tahu tentang realitas perbedaan fasilitas dan kemampuan guru dan murid antar daerah. Standar kompetensi. Pendidik dan kependidikan, standar biaya, dan standar evakuasi itu tak mendidik . Karena banyak yang akan berusaha untuk lulus dengan menghalalkan segala cara. Kepsek juga banyak yang sesumbar untuk mencapai tingkat kelulusan semaksimal mungkin untuk menaikkan status sekolah dengan menggunakana berbagai taktik dan startegi yang aneh-aneh. sebenarnya para guru banyak yang menentang pelaksaanaan UN, bahkan MA juga sudah membuat keputusan yang melarang pelaksanaan UN.
Apa yang pernah dikatakan oleh Mao Tze Tung benar, “ Biarkan seribu bunga mekar” Walau akhirnya apa yang disabdakan Mao itu bernuansa politis, namun esensinya bagus untuk diapresiasi. Jadi bunga di taman sirami semua, jangan hanya merawat bunga mawar atau bunga melati yang memang laku dipasaran dan disenangi tua muda, dan segala bangsa. Akibatnya ribuan bunga yang jadi bunga kelas dua, tak dilirik sikumbang lalu, seperti bunga matahari, bunga dahlia, bunga tanjung, bunga kembang sepatu, bunga aggrek, bunga uang dll, menyemprot dirinya dengan farfum berbau melati atau mawar. Hari ginie kita masih saja berkutat pada mata pelajaran IPA/IPS gaya lama padahal banyak orang yang jadi jutawan dan sukses karena IPA/IPS gaya baru alias IPA ( Ilmu Pengetahuan Alamiah ) dan IPS ( Ilmu Pengetahuan Sosialisasi ).
Seribu anak, seribu potensi, bakat dan keahlian. Sepertinya para ahli pendidikan hanya menjadikan UN sebagai ujian pendahuluan pra ujian masuk perguruan tinggi. Dengan asumsi, bahwa seorang tidak akan mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang sekolah tinggi , dus menjadi sukses kelak, jika kemampuan bahasanya kurang, utamanya bahasa Inggris, terutama di era globalisasi dan persaingan dunia yang ketat ini. Jika lemah matematika atau pelajaran IPA nya mana mungkin bisa jadi insinyur, dokter atau ahli keuangan dan managemen dll. Seorang yang sok ahli mengatakan bahwa Pasal 58 ayat (1) UU Diknas menyatakan, evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Ini yang selama ini dilakukan pendidik di dalam menentukan peserta didik untuk naik atau tidak ke jenjang kelas yang lebih tinggi.
Kita bisa mengambil pelajaran dari pengalaman negara-negara tertentu di Afrika atau Asia yang bersikeras dan memaksakan untuk mencapai “ Standard of Intellectual Proficiency” dengan negara maju bekas penjajah mereka, Inggris atau Perancis,- kalau Indonesia orientasi dan acuan standardnya kemana ya-. Bahkan Universitas Dakar masih menjadi bagian dari sistem universitas Perancis dibawah jurisdikasi menteri pendidikan Perancis. Insistensi mereka untuk menggapai standard kualitas ujian masuk universitas tingkat dunia di London dan Paris malah jadi boomerang, karena akhirnya banyak menimbulkan prustasi di kalangan siswa yang gagal diterima. Sekolah-sekolah menengah di Khartoum, Kampala, Nairobi, Leopoldvilde, Dakar, Freetown, Lagos, Ibadan, Singapore dan Kuala Lumpur ternyata tidak bisa atau belum bisa memproduksi tamatan dengan kualifikasi yang dipersyaratkan oleh universitas-universitas dunia di Eropah atau di Amerika. Dengan kata lain tak banyak yang bisa lulus ujian masuk secara murni di perguruan tinggi kelas dunia. Kualitas murid dan sekolah sebenarnya tidak boleh distandrisasi atau digeneralisasi. Karena ia sangat terkait erat dengan lingkungan, latar belakang keluarga, tradisi dan budaya intelektual suatu negara dan daerah, sikap masyarakat dan keluarga terhadap penting atau tidaknya dunia pendidikan, dan terutama kemampuan ekonomi dan kematangan politik suatu bangsa atau suatu daerah.
Akibat dari standarisasi yang kaku dan dipaksakan itu, banyak terjadi keanehan-keanehan yang seharusnya tidak muncul dari institusi pencetak “ manusia “ itu. Adanya ujian dijaga polisi adalah anomali dunia pendidikan. Masa guru yang mestinya digugu dan ditiru harus ikut diawasi atau tak dipercaya untuk menyelenggarakan ujian bagi anak didiknya. Mendikbud Muh. Nuh sampai mengeluarkan ancaman untuk mempidanakan bagi yang curang. Sekolah mestinya tempat orang-orang berbudi luhur, bukan pelaku kriminal. Tapi kecurangan akan tetap ada karena orientasi pendidikan adalah dunia, politik dan ekonomis. Tak ada siswa yang mau gagal dan mengulang, tak ada guru yang mau dibilang sekolahnya tak berkwalitas, maka kerja simbiosis mutualispun terjadi antara guru dan siswa guna mencapai hasil kelulusan maksimal. Konon nama seorang capres dan sebuah parpol masuk dalam naskah soal. Apakah ini dibenarkan atau suatu bentuk keteledoran yang tidak seharusnya eksis di dunia pendidikan apalagi pada saat ujian nasional yang pelaksanaannya berdekatan dengan pemilu. Belum lagi bicara mengenai banyaknya siswa-siswi gagal UN yang jadi stress, bahkan ada yang bunuh diri. Bagaiman tidak stress, seorang murid yang terkenal rajin dan cerdas, gagal mencapai cita-citanya untuk masuk IPB dan menjadi Insinyur pertanian hanya karena nilainya kurang 0,2 dari nilai standar. Kelewatan kan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar