Kemaren, Senin I Juni, orang-orang pada merayakan Hari Kelahiran Pancasila dengan khidmat, tapi prihatin, kecewa dan penuh harap-harap cemas. Pada diskusi-diskusi, bincang tatap muka, formal ataupun informal, talk show dll, merebak asumsi bahwa pancasila telah tidak di hayati dan diamalksan oleh sebagian besar anak bangsa. Muncul anggapan bahwa tua, muda, laki-laki dan perempuan, kaya dan miskin sudah melupakan dan tidak mempraktekkan pancasila dalam keseharian mereka. Dengan mengaitkan segala bentuk prilaku kriminal dan menyimpang pada tingkat akar rumput, sebagai bukti menipisnya penghayatan dan pengamalan pancasila.
Kebanyakan yang berhiper hipotesa begini adalah kaum idealis dan utopis par excelence. Mereka ini memang sejak lama memandang pancasila sebagai mitos yang penuh daya kramat dan kesaktian, jauh dari analisis objektif-ilmiah, melainkan hanya pandangan subjektif-magis belaka. Sehingga dengan mudah membelalakkan mata dan mengutuk setiap prilaku menyimpang dan maksiat secara sosial ataupu pribadi sebagai bentuk pelanggaran dan penyelewengan berat terhadap kelima sila-sila dan nilai-nilai yang terkandung di dalam pancasila. Pola berpikir ini muncul karena menginginkan sila-sila pancasila berkorespondensi, koheren dan konsisten secara total satu sama lain. Padahal manusia, siapapun itu, apapun jabatan dan seberapa banyak pun uangnya, tetaplah manusia biasa yang tak akan luput dari salah dan dosa.
Kaum zealot ini pernah di suatu masa bahkan menginginkan agar para seniman menjadi pancasilais dalam karya dan prilaku keseharianya. Pernah sekali saya mendengar wejangan seorang petinggi negara yang berceloteh bahwa kreativitas seniman dan seniwati selayaknya menunjukkan ciri peka dan tanggap terhadap berbagai situasi yang merupakan pengejawantahan nilai-nilai Pancasila. Sengitnya lagi bahwa pancasila sebagai nilai dasar (basic value) atau nilai tujuan ( goal value)hendaknya terpantul pada kreativitas para seniman. Bukan hanya dunia seni yang harus menjadi berbaju pancasila tapi dunia olah raga juga, hingga dulu ada ungkapan Sepakbola Pancasila, Bulutangkis Pancasila, Catur Pancasila, gerak jalan Pancasila, Busyet.
Saya ingin mengatakan bahwa keinginan yang dianggap mulia itu justru bertentangan dengan sila keempat pancasila, yang berdasar pada nilai-nilai demokrasi. Sejatinya, dalam keragaman dan warna-warni hidup manusia Indonesia, pancasila telah dipraktekkan dalam ranah sosial dan relasi sosial budaya. Hanya saja luput dari penglihatan dan pendengaran, karena telah mengalami proses objektivikasi. Dalam proses ini, orang tidak lagi norak, vulgar atau mau dibilang sok pancasila seperti di jaman mbah kakung. Manusia millenium, terutama nak muda tidak lagi suka gembar- gembor dan mempertontonkan sahwat politik atau preskripsi moralnya di dunia sosial nyata, di gang-gang dan dikampung-kampung.
Siapa menyangka generasi millenium yang tampaknya seolah cuek, berprilaku ‘ mute behaviour’, dan lebih sering menghabiskan waktu dan ngeceng di mini-mini market dekat traffic junction itu, ternyata lebih sering di medsos-medsos membuat status-status atau tweet motivasional, nasehat, atau kritik terhadap prilaku maksiat di masyarakat atau libido koruptive para petinggi negara. Kendati ada juga yang terlibat kasus-kasus tipa-tipu, selfi atau narsis. Jika muncul kelakuan tak nonoh seseorang, atau sikap arogan penguasa yang di posting di medsos, maka serentak mereka akan memprotes serta menghujat para pelaku dan menunjukkan simpati serta empati ke pihak korban. Ingatlah kasus Pritha dan gonjang-ganjing KPK.
Walau dalam pembelaan mereka sering muncul Komen-komen seronok dan tak elok di dengar, tapi satu yang pasti mereka masih ingat Tuhan, sesama dan nasib bangsa ke depan. Jadi walau mereka tak hafal sila-sila pancasila, apalagi butir-butirnya yang memang membingungkan dan selalu saja bertambah seperti di masa Santiaji Pancasila dulu, namun dalam keseharian, pancasila telah dipraktekkan. Dengan kata lain mereka telah melakukan objektivikasi nilai-nilai luhur pancasila seperti Ketuhanan, persatuan, kemanusiaan dan demokrasi.
Pancasila itu dasar negara, palsafah dan ideologi bangsa. Bukan dasar dan pandangan hidup pribadi seperti yang dipraktekkan oleh kaum eksistensialis dan pemuja prakmatisme. Bukan pula ideologi negara totaliter yang mutlak dan berkuasa penuh meneliti orang sampai ke lubuk hatinya. Seorang bisa ateis di dalam hati dan angan-angan, namun oleh pancasila, ia dilarang untuk menyebarkan keyakinan itu di masyarakat. Nah, hanya sampai di situlah fungsi dan wewenang pancasila, karena ia memang terbatas dan mana bisa merambah terlalu jauh memasuki jiwa dan keyakinan pribadi manusia. Justru karena ia bukan ideologi fascis atau komunistik. Urusan ateis atau teis biar agama yang mengurus dan mengutuknya. Dan pasti di tengah masyarakat Indonesia yang agamis banget, ateisme dan komunisme pasti tidak akan mendapat tempat dan akan mati sendiri. Bukankah ini wujud nyata dari penghayatan pancasila sila ke satu dan telah ada sejak munculnya bangsa Indonesia yang agamis-pancasilais yang katanya sejak jaman Sriwijaya-Majapahit ( Santiaji Pancasila). Itulah sebabnya, komunis telah mati dan punah secara mengenaskan di Indonesia.
Jika pemerintahan pra reformasi sangat terobsesi mempancasilakan segala sesuatu, maka pemerintahan pasca reformasi justru secara tanpa sadar nyaris menguangkan sebagian besar sila-sila dan nilai-nilai moral pancasila. Artinya, sila atau nilai-nilai itu telah bisa dikuantifikasi, bukan lagi suatu yang bersifat substantif-kualitative, mirip prinsip ‘moral cashnya John Dewei, pragmatis tulen dari Amerika. Ketika uang sudah menjadi Tuhan dan dipuja di mana-mana, dicari sampai ke dunia larangan, dan menjadi sangat berkuasa dan menentukan konstellasi politik kebangsaan, dimana naiknya pemimpin, penguasa, atau pejabat bisa dikatrol dengan politik uang, maka jangan harap bangsa ini punya masa depan cerah sesuai dengan cita-cita luhur pancasila.
Maka wajar saja jika seorang Husni Jamaluddin, penyair Mandar berkarakter, dulu mewanti-wanti jangan sampai sila ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ menjadi ‘Keuangan Yang Maha Esa’. Keprihatinan Husni ini lahir di masa ketika pemerintah mencabut subsidi sosial dengan menaikkan harga BBM, sementara para pengemplang uang negara yang menyalahgunakan dana BLBI diberi subsidi dengan masa tenggang pembayaran utang 10 tahun dan bunga sangat ringan. Pancasila sebagai dasar, ideologi dan pandangan hidup bangsa dan negara memang sejak reformasi sudah tidak diperhatikan atau dianggap penting lagi. Hal ini adalah imbas dari sukanya kita mempermainkan pancasila dan menjadikannya sebagai bemper untuk menggoalkan politik dan kepentingan tertentu. Kita tak pernah kunjung bisa melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekwen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar