Jika dikatakan bahwa ada musik yang berciri egois dan yang altruis, itu bukan mengacu pada kualitas, acceptability atau komersialnya sebuah jenis atau genre musik. Tapi lebih mengarah kepada cara musik berkomunikasi serta berinteraksi dengan audiensnya atau penikmatnya. Sebagai ilustrasi, pada sebuah pub yang cukup beken dan bergengsi di Jakarta di era-era pra reformasi, setiap malam selalu manggung dua jenis musik yang berbeda ; Jazz dan Country. Dari segi kualitas atau kerumitan, musik Jazz tentu berada jauh di atas level musik country. Kendati keduanya punya kecendrungan tampil seadanya, sederhana, alami dan menghindari komponen-komponen serta amplifikasi yang high end, tapi dari segi harmonisasi dan scale, musik jazz jauh lebih kaya dan menyusahkan. Keduanya tentu berbeda dengan musik-musik rock, metal, punk. emo, hard core, techno atau musik dance, yang cenderung sophisticated dalam hal sound dan komponen musiknya, tapi sederhana dalam hal scale dan chord.
Perangkat dan tampilan musik country memang sederhana, namun anehnya selalu disambangi dan dinikmati oleh pengunjung dan langganan yang lebih banyak, bahkan membludak. Sedangkan musik jazz, jika tampil hanya akan ditonton dan didengar oleh segilintir orang, itupun kebanyakan penyuka fanatik jazz. Apa pasal?. Itu karena jazz seolah hanya berbicara pada diri sendiri, dengan permainan yang lebih sering membuat penonton terkesima tak mengerti. Menonjolkan individualitas yang akut , pemainnya tampak cuek habis pada selera orang lain, pokoke asyik bagi mereka. Kekaguman yang muncul seketika, yang membuat orang melongo segera akan berganti kebosanan, terlebih jika playernya mulai memunggungi penonton, asyik berimprovisasi dan bersitatap dengan amplynya sendiri . Sewaktu-waktu akan ada permainan solo run dari semua alat yang ada. Sah-sah saja melakukan demonstrasi dan memang wajib mempertontonkan kebolehan pada publik demi mengukuhkan payabilitas para pemain. Tapi kadang hal itu tak didukung oleh skala ruangan dan settingan sound yang memadai, sehingga terdengar lebih menggangu katimbang menina bobokan hati dan kuping. Maka terjadilah apa yang saya sebut, “ Right music in the Wrong Place”.
Kadang dalam sorga bermain itu, para pemain saling celingukan satu sama lain, dengan wajah nelongso karna mendengar beragam feedback atau noise yang muncul tiba-tiba dan berseliweran di atas panggung. Betapa tidak, ketika masing-masing pemain terperangkap dalam pesona diri sendiri oleh kekaguman audiensnya, maka secara sendiri-sendiri akan memboost volume pirantinya tanpa kulo nuwun pada yang lain. Level gitar digeber sampai batas normal, kalau perlu hingga peak, pemain bass mengisi semua ruang kosong narasi, drummer menghajar semua cimbalnya ; ride, crash, atau hi-hat, dan menendang bass drum lebih kencang. Sementara penyanyinya melakukan trik mengarah ke screaming untuk mengatasi rongrongan sound para sekondannya. Maka musikpun mengarah kepada alur hingar-bingarity, yang lalu menghempaskan para penonton dan pemain sendiri pada kondisi ‘ear fatique’. Semua tubuh dan jiwa akan merasa kelelahan dan keringatan.
Pada sequence berikutnya, ketika hati sudah meluap dan tak terkontrol, maka lagu apapun yang dipersembahkan akan mengalami overloading emosi yang teramat. Lagu-lagu jazz standar, be-bob, swing, atau fusion akan dimainkan secara berlebihan dalam aplikasi scale atau chord hingga mendekati ngawur. Lagu Misty akan benar-benar menghadirkan suasana misty yang kelam kemudian menggelap dibenak semua orang, sedang ‘ I left my heart in San Fransisco, akan kehilangan landscape serta bunga-bunga. Mereka akan bermain ala pemain be-bob tahun 50 an yang sepenuhnya bermain outside ultra dissonan demi menghindar penagih pajak royalty karena memainkan sebuah lagu secar real. Atau malahan akan mempertegas kehadiran suasana kota New-york ramai dan hiruk-pikuk dalam lagu New-new York besutan Frank Sinatra. Dan Copacabana pun akan kian terasa menderu gelombang laut dan nafsunya di sana. Artinya, lagu-lagu dan permainan akan melenceng jauh dari batas-batas imaginasi yang mungkin dan pantas.
Apa yang terjadi pada sessi musik Coumtry?. Di sini emosi justru diredakan dengan alunan musik yang mengingatkan orang pada alam, pohon, langit , gunung, bukit dan bunga-bunga yang berjejeran sepanjang jalan ke desa, seperti yang tersirat dan tersurat dalam lagu Take me Home Country Roadnya Jhon Denver. Ketika penyanyi melagukan Night Life dari Alla Jackson misalnya, maka orang justru akan tambah menyukai kehidupan malam dan akan sering kembali ke sana oleh pengaruh syair....Night life is’nt a good life, but its my life. Dalam terlena, maka berbotol-botol beer, SO atau Black Laber akan dipesan. Suara fiddle, gitar akustik atau banjo, lebih menghadirkan eksotisnya lenguh sapi, di kandang, gemirisik air pancuran di kaki bukit katimbang deru mobil mewah di jalan-jalan raya kota besar penanda dunia modern atau post mo yang merangsek tajam keheningan dan kebeningan jiwa, serta melumat sisi-sisi kemanusiaan orang.
Akhirnya yang dapat saya katakan adalah sebuah sajian musik akan terkesan egois atau altruism, tergantung pada cara dan tempat memainkannya. Dan terutama bagaimana sikap pemain dalam menghandel audiensnya dengan tetap memperhatikan tujuan dari suatu sajian musik. Apakah untuk sebuah konser, atau sekedar menghibur. Pada saat konser di sebuah lapangan terbuka dengan aneka piranti sound dan lighting yang dahsyat, maka disini aspek showmanship sangat dibutuhkan. Kian aneh, unik atau nyeleneh sebuah performance, kian terasa menarik bagi penonton. Tak usah yang spektakuler ala Micki Bentul tempo hari yang meminum darah kelinci di atas panggung, atau meniru Richi Blackmore yang membakar gitar dan menghantam amply. Yang begonoan akan sangat ditentang oleh para pemerhati lingkungan dan penyayang binatang jika dilakukan di era millenium. Yang sederhana saja tapi unik dan menarik, cukuplah. Seperti ‘Walking Ducknya Chuck Berry yang ternyata telah ditiru dan dipopulerkan oleh gitaris group AC/DC, Angus Young pada setiap tampilannya.
Di sini segala basa-basi dan keramahan, bahkan kesan mellow akan dihujat. Para pemain jazz, country, atau rock malahan dituntuk untuk tampil all out dan total, dengan mengetengahkan tehnik dan virtuosi tinggi. Sangat dihindari gaya pemain kroncong dengan kostum khas batiknya serta sikap klemar-klemer yang super santun seperti yang pernah saya saksikan di panggung Pasar Seni Ancol. Tapi jika tujuannya untuk hiburan pada stage kecil dan ruang pas-pasan, maka akan sangat mengundang tamu untuk mau makan minum jika anda bermain dengan cara keroncongan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar