BANDAR JAKARTA
AWAN LEMBAYUNG MENGHIASI
BANDAR INDAH PERMAI
AMAN TERLINDUNG OLEH PULAU
SERIBU MELAMBAI
MELAMBAI RONA – MERONA
MENGEMBANG LAYAR
LAJU PERAHU NELAYAN
MEMECAH BUIH MENYUSUR PANTAI
‘NUJU TELUK JAKARTA
INDAH LUKISAN ALAM
KALA SENJA MENJELANG PELUKAN MALAM
BURUNG PUTIH MENYAMPAIKAN SALAM
KATA SELAMAT MALAM
Projek raksasa, Reklamasi di Teluk Jakarta akan segera menghilangkan makna lagu kroncong legendaris di atas. Awan lembayung telah berubah jadi kabut kelam kehidupan warga pesisir dan pulau-pulaunya. Pulau-pulau tak lagi jadi citadel bagi bandar Jakarta. Pulau Kelapa tak lagi akan menjadi labuhan transit bagi yang akan ke Pulau terjauh, Pulau Sabira. Dan mungkin burung-burung Mandar yang bersarang di Pulau Rambut akan segera hengkan dan menghilang. Ikan-ikan akan semakin langka dan susah di dapat karena yang dekat tercemar, sedang ikan pelagis kian menjauh. Untung saja kasus suap-suap menyuap megaprojek reklamasi di Teluk Jakarta terbongkar dan pelakunya tertangkap tangan dan dicekal ke luar negeri. Maka proses perusakan secara sistematis lingkungan Jakarta pun tertunda.
Jika pembangunan diidentikkan dengan banyak dan bertambah banyaknya harta, benda atau barang-barang, maka itu tidak otomatis sama dengan kemajuan. Lancar dan berlimpahnya fasilitas juga mirip dengan rasa sombong, angkuh dan sifat ngga perdulian dalam jiwa. Semakin banyak orang kaya, semakin banyak juga sifat-sifat serakah dan keinginan yang tak tak terbatas dalam benak. Tak ada yang salah dengan kekayaan dan kemakmuran. Namun bila ia telah menggusur kehidupan orang kecil kelaut dalam atau ke gua-gua sepi di gunung, maka kekayaan telah menjadi patologis dan merusak.
Apakah yang terjadi jika orang dalam hatinya telah dipenuhi gadget serta assesories. Tentu saja rohaninya atau kekuatan spritualnya akan mengarah kopong dan bangkrut olehnya dominasi kejasmanian tersebut. Ibarat tong yang dipenuhi benda, ia akan mute, dan bosan dengan dirinya sendiri, apatah pula dengan nasib orang lain. Menjadi sebuah beban yang menghambatnya bergerak lincah secara rohani. Maka segala permasalahan akan dicari jalan keluarnya pada apa yamg telah dimilikinya, uang atau benda-benda. Pada level ini, ukuran manusia sudah berada pada dimensi kebendaan atau barang.
Reifikasi yang massif dewasa ini, telah memasuki taraf canggih. Bukan lagi dalam dataran personal dimana rasa simpati dan bela rasa bisa datang dari setumpuk uang. Tapi tapa ranah publik, ia menjadi faktor yang utama . Uang telah menjadi penentu segalanya. Tak ada uang tak ada undang-undang dan peraturan. Tak ada kebijakan jika tak ada kebajikan. Mana ada lagi saat ini istilah ‘ Makan Siang Gratis’. Segala perda dan perizinan telah menjadi komoditas yang bisa diperjual belikan. Jika ada pejabat pusat atau daerah pura-pura tidak mengerti soal ini, dan terkesan selalu mau mencuci tangan dengan menyalahkan bawahan, maka itu adalah sikap inkompetensi dan tak bertanggung jawab yang kelewat.
Dalam alam pembangunan, mustahil tak ada korupsi. Ia pasti ada tapi sembunyi dalam casing yang indah. Kebanyakan yang ketangkap adalah yang ceroboh dan mau dibilang banyak projek dan uang. Dilingkungannya oknum beginian selalu mau dianggap penting. Sok sibuk, kesana-kemari, meeting ini meeting itu, ketemu pejabat anu dan inu. Tapi ujung-ujungnya akan ketangkap tangan. Jika dia pejabat legislatif, maka konconya yang di eksekutif akan segera sibuk mengkonsolidasi posisi agar aman. Jika perlu cari kambing hitam. Maka aneh bin ajaib jika seorang gubernur di Kota terbesar negri ini, dalam hal kebijakan penting dan mendasar, menunjuk sekdanya sebagai yang bertanggung jawab, padahal ia adalah penanda tangan utama.
Sepandai-pandai tupai melompat akan jatuh juga. Di dunia absurd ini prinsip tanpa pamrih dan sok bersih itu ganjil dan tak masuk akal. Dalam lingkungan yang telah terkontaminasi, seorang pejabat sebesar apapun maskernya untuk menutupi wajah, akan tampaknya juga bopengnya. Ia tentu akan terkena imbas atau malahan memberi imbas. Ingat korupsi bekan hanya menguntungkan diri sendiri, tapi juga menguntungkan golongan atau kolega sendiri.
Seruwet apapun projek Marsela, bahkan hambalang, ia tetaplah demi banyak orang. Bukan untuk hunian pribadi orang-orang berduit. Reklamasi laut dan pulau-pulau di kawasan teluk Jakarta adalah eksploitasi laut setelah gunung-gunung habis dirambah tak tersisa. Sebentuk keserakahan yang berlindung di belakang keindahan, kebersihan, dan kemewahan. Padahal itu sangat merusak lingkungan pantai dan teluk Jakarta. Aneka biota laut telah mati dan sebentar lagi ribuan nelayan, sekarang ini mereka harus melaut dan mencari ikan di tempat paling jauh dan memakan ongkos besar yang nyaris tak tertanggulangi. Secara tidak langsung mereka akan menyusul nasib warga Kampung Pulo atau Kali Jodo yang dianggap kotor dan kumuh. Maka benat kata Sri Edi Swasono, bahwa pemprov DKI sekarang ini bukannya menggusur kemiskinan, tapi “Menggusur ‘Orang Miskin”
Bicara ttg bandar jakarta lha koq malah jadi ngomong kemana mana, ke gubernur segala. Aneh...
BalasHapusSaya pikir penulis menjadikan bandar jakarta sbgai titik point untuk menggambarkan rusaknya alam dan lingkungan oleh maraknya pembangunan yg padat modal dan memanjakan sifat penyelewengan
BalasHapus