Sejak Plato menteorikan bahwa seni atau ilmu adalah sesuatu yang berasal dari dunia sana dan manusia bisa ter-anugerahi manisnya hanya dengan melakukan laku kontemplasi, semedi dan sikap trance lainnya, maka maraklah seniman, penyair, musisi atau ilmuwan pergi menziarahi tempat-tempat atau lanskap sepi dan hening untuk mengembangkan diri dan bakat-bakatnya. Plotinus sebagai pelanjutnya menyebarkan faham ini ke seluruh penjuru angin. Maka dimana-mana orang tampak pada semedi, sebagian bukan untuk mendapat ridho Tuhan, Dewa atau roh nenek moyang, tapi untuk menjadi seorang mpu di bidang seni atau ilmu. Tapi kita susah membedakan laku dan sikap baru itu dalam motivasinya, apakah untuk seni atau keagamaan, atau lebur menjadi satu, seperti yang terjadi pada praktek Jalaluddin Rumi.
Metafisika New Plutonisme adalah bahwa realitas yang kita nikmati dan rasakan lewat pancaindra hanyalah bayangan, tiruan atau imitasi realitas sesungguhnya yang adanya di dunia ide. Jadi bagi Plato atau Plutinos, keindahan atau bentuk dan ciri indah yang dapat diindra adalah manifestasi dari ide yang berdulat serta absolut dari “ Dewa Keindahan”. Untuk mengenali dan mendapatkan yang tulen, maka orang harus melakukan tafakur, merenung, semedi dan memusatkan pikiran serta budi dalam suasana tenang bak petapa. Ikatan duniawi harus dilepaskan, termasuk semua persepsi, pra anggpan daya intelek dan juga ilusi pancaindra.
Aliran atau faham Plato ini menancap kuat dan tersebar luas di masyarakat di masanya karena sejalan dengan kecendrungan kaum agamawan yang mulai mencari cara beragama baru yang terbebas dari tahyul, pemujaan pada benda-benda. Kemunculan agama Kristen serta merta beroleh justifkasi dari ajaran Plato atau Plutonis, terutama pada doktrinnya bahwa Jesus adalah Anak Tuhan Bapak yang bermukim di Sorga. Plato secara implisit menyatakan bahwa roh Tuhan bisa menjelma pada manusia dan bagi Kristen roh itu adalah Jesus Sang Juru Selamat. Tuhan mengirim Jesus ke dunia untuk membawa pesan-pesan Tuhan kepada manusia. Setelahnya, bermunculanlah aliran-aliran seni yang mengadaptasi atau mengadopsi faham baru itu dengan manifestasi yang lebih luas dalam wujud seni-seni transendentalism dan mistik. Tak terkecuali pada masa datangnya Islam, banyak senimannya yang juga mengadopsi new platonism. Yang besar diantaranya adalah Jalaluddin Rumi yang mengembangkan tradisi tarisan berputar dengan iringan musik monoton guna mendapatkan ilham-ilham ketuhanan. Rumi melahirkan ribuan masnawi dan syair-syair dengan cara ini.
Begitulah juga cara seniman-seniman Mandar mendapatkan seni dan ilmunya di masa lalu. Pertanyaannya adalah, apakah pernah new plotinus masuk ke Mandar yang merambat lewat kaun sufi, jadi ada proses difusi kebudayaan. Ataukah Mandar sendiri sudah punya kecenderungan minimalis, trancenden dan mistik dalam seni yang dikembang secara kreatif dan evolutif. Hal ini perlu diteliti lewat riset. Karena tidak semua seni-seni transendent yang mistis berasal dari doktrin Plato yang memandang dunia dan segala menifestasinya hanyalah bayangan semu belaka, dimana reaitas sesungguhnya ada di balik awan tinggi dan tebal. Seni transendent tak bisa dikatakan berasal dari satu pusat kebudayaan tertentu lalu menyebar keberbagai bagian dunia atau peradaban lain.
Sebelum Islam masuk ke Nusantara dan membawa berbagai teori atau doktrin-doktrin kebudayaan; ortodok atau heterodoks, kerajaan-kerajaan di negri bawah angin ini telah lama masuk dalam pusaran pengaruh peradaban dan kebudayaan India Hindu / Budha. Minimal di Nusantara pada masa bahari telah terjadi dialog dan pembauran aneka budaya secara intens dalam waktu lama. Sehingga meghasilkan budaya-budaya hibrid dalam bentuknya yang baru, kreaatif, kaya, unik dan otentik. Sebelum Islam dan para Wali menginovasi Wayang di Jawa, diyakini bahwa wayang telah menjadi wadah perkawinan antar budaya-budaya dunia. Atau wayang adalah fakta multikulturalisme awal yang nyata. Sebut saja seperti yang diyakini banyak peneliti, bahwa dalam wayang ada unsur India, China, Persia dan tentu saja unsur Jawa Kuno yang mewujud dalam tampilan para punakawan seperti Semar, Petruk, Bagong, atau Cepot.
Di Bali, seni dan budayanya sampai kini tetap berpedoman pada teori filsafat seni ciptaan Bharata yang mengatakan bahwa segala penciptaan karya seni mesti berdasar pada ajaran Hindu. Seni adalah bentuk pengabdian kepada Tuhan dan harus dilakukan delam laku Yoga atau semedi. Seperti Plato, doktrin Hindu menyebutkan bahwa Yoga kesenian adalah cara untuk mendapatkan ‘karunia’ Tuhan, dan orang harus membebaskan dirinya dari gaya gravitasi kehidupan dunia maya ini, begitu kata Kapila Malik Vatsyayan.
Di Mandar pun sebelum Islam datang, telah dikenali pengaruh budaya India Budha dengan ditemukannya arca Sikendeng Mamuju berupa patung Budha dalam posisi dan pose Mudra Abaya, yang berarti ‘ Jangan Takut’. Diyakini bahwa patung itu adalah patung pelindung para pelaut. Itulah sebabnya para pelaut di Mandar hingga kini dikenal sebagai pelaut yang berarni menempuh gelombang dan pergi ke negri seberang yang terjauh. Boleh jadi itu adalah buah dari motivasi dan arahan patung pelindung pelaut tersebu di masa lalu. Wallahu a’alm.
Dan seni atau musik di Mandar lebih multikultural lagi adanya, terutama pasca periode To Manurung, sejak jaman kerajaan hingga era milenium ini. Sebut saja ada tangga nada Padang Pasir, Kemayoran, atau diatonis barat lewat sayang-sayang atau musik gitar dengan teknik los quin. Tentang los quin ini, tak ada perbedaan yang tegas dengan genre Krambangan yang juga menyebar secara masif di sekujur pulau Sulawesi : utara, tengah. Selatan atau tenggara. Budaya main gitar memang telah jadi realitas budaya di Mandar yang telah lama mentradisi. Hanya saja yang perlu dipikirkan, agar gitar tidak mengambil alih semua genre musik asli Mandar sebagai pengiringnya, karena adanya perbedaan freqwensi nada yang nyata antara tangga nada modern atau diatonis barat dengan tangga nada asli mandar, sebut saja yang pentatonik
Jika gitar disetem dengan standar freq 440 pada nada A, sedang nada-nada asli Mandar kurang sekian cent dari itu, maka musik atau lagu Mandar yang diiringinya akan menyesuaikan diri padanya. Dengan begini maka lagu2 asli Mandar akan kehilangan freqwensi atau vibrasi aslinya, maka sudah barang tentu bukan Mandar lagi namanya, tapi pseudo Tipalayo misalnya. Karuan juga watak mistis atau transendensnya musik Mandar akan perlahan memudar berganti dengan karakter duniawi yang penuh lagak dan gaya. Memainkan musik apapun sah-sah saja dan baik adanya, karena betapapun setiap orang punya apa yang disebut ‘ Roh Subjektif’, yang cendrung menyenangi hal-hal secara mandiri dan otentik. Tapi pada ranah ‘Roh Objektif’ atau spirit dan etos kebudayaan, kita tak bisa berbuat semaunya atau sekenanya, karena ini menyangkut warisan atau milik kolektif satu komunitas, etnik, atau bangsa secara keseluruhan. Tak seorang pun berhak mengklaim yang paling benar, paling tahu dan paling berhak dalam masalah ini. Sikap rendah hati, mau belajar dan membaca, serta rela saling sharing kelebihan dan kekurangan sekaligus adalah sikap yang paling pas di hadapan altar kebudayaan. Agar kebudayaan tidak jadi menyusut atau memuai dalam bentuk-bentuk distortif dan alien.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar