Sudah saatnya kita mengkritisi doktrin universalisme historis, atau hisroriographi yang maunya mendunia yang memarginalkan narasi sejarah lokal, atau tinjauan personal dari pribadi-peribadi pemikir kehidupan ini. Pun itu tentang sejarah agama atau sejarah Tuhan. Kita sering lebih tertarik pada produk ilmiah yang disampaikan oleh sarjana-sarjana asing. Sehingga dalam memandang sejarah evolusi agama atau sejarah Tuhan, hingga kini kita hanya berkutat pada dua pandangan yang secara diametral saling bertentangan, antara pandangan Politeistisnya bangsa-bangsa di dunia oleh Theo Huijbers versus monoteistik ala Andrew Lang dan Wilheim Schmidt. Padahal banyak yang mereka teorikan yang tak bisa difahami juga akal sehat, dan lebih bersifat prosa yang semakin membawa kita jauh dari kenyataan. Dengan kata lain mereka banyak juga yang menciptakan mitos di atas mitos. Malahan buku Sejarah Tuhan karya Karen Amstrong nyaris telah dimitoskan oleh penggemarnya.
Mengutip Wilheim Schmidt yang menulis buku ‘ The Origin of the Idea of God”, Narasi sejarah Tuhan Karen Amstrong dimulai dengan adanya suatu keyakinan suku primitive di Afrika pada masa lalu yang bersifat monoteis. Tentang eksistensi satu dewa langit yang dirindukan dan tempat doa tertuju, yang mengawasi dan menghukum mereka.lantas berlanjut tentang mitos penciptaan orang Babylonia yang menurut Karen akan menjadi dasar kemunculan agama abrahamik ; Yahudi, Kristen dan Islam. Hal itu bermula dari kejadian di kerajaan kuno Babylonia, sekira 4000 tahun yang lalu.
Adalah sebuah puisi epik (mitos) yang dinamai Enuma Elish disenandungkan untuk merayakan kemenangan para dewa atas kejahatan. Menurut Karen Amstrong, kisah itu bukanlah peristiwa faktual tentang asal-usal fisik kehidupan di bumi. Melainkan suatu upaya simbolik yang hati-hati untuk mengungkapkan sebuah misteri besar dan membebaskan kekuatan sucinya. Pengisahan harafiah tentang penciptaan adalah mustahil, sebab tidak ada orang yang hadir pada saat peristiwa-peristiwa yang tak terbayangkan itu terjadi : mitos dan simbol dengan demikian merupakan satu-satunya cara yang sesuai untuk menjelaskannya. Pandangan sekilas atas Enuma Elish memberi kita wawasan tentang spritualitas yang melahirkan konsep kita tentang Tuhan Pencipta berabad-abad kemudian. Menurut Karen, mitos-mitos aneh itu tak akan bisa hilang, akan kembali masuk ke dalam sejarah Tuhan di kemudian hari, dalam kemasan idiom-idiom monoteistik.
Dalam Enuma Elish,kekacauan atau Chaos bukan berupa api panas yang mendidihkan, melainkan sebuah keadaan dimana segala sesuatu menjadi tanpa batas, definisi, dan identitas :
Takkala yang manis dan pahit menyatu, tak ada buluh yang terjalin
Tak ada ketergesaan yang mengeruhkan air, dewa-dewa tak bernama, tak berwatak, tak bermasa depan.
Kemudian tiga dewa muncul dari pusat tanah berpaya ; Apsu, atau air sungai yang manis, istrinya, Tiamat atau laut yang asin, dan Mummu, rahim kekacauan. namun ketiga dewa ini bisa dikatakan merupakan model awal dan inferior yang memerlukan perbaikan. Nama Apsu dan Tiamat dapat diterjemahkan sebagai jurang, kehampaan, atau teluk tak berdasar. Mereka memiliki sama-sama potensi tak berbentuk dari ketiadaan bentuk yang azali dan belum mencapai suatu identitas yang jelas.
Sampai di sini saya tak akan mengatakan apakah analisis di atas merupaka mitologisasi atas mitos atau bukan. Tapi saya hanya akan mengangkat sebuah cerita tentang asal-usul yang juga menyinggung tentang ‘Chaos’ yang terjadi di Babylonia, ribuan tahun lalu. Dalam hikayat yang ditulis oleh Francois Marie Arouet alias Voltaire di tahun 1747 berjudul ‘ Zadig ou la Destinee atau Suratan Takdir, dikisahkan bahwa telah berkumpul di pasar raya Balzora, Babylonia, orang-orang dari seluruh dunia untuk berdebat tentang kebenaran kepercayaannya masing-masing. Seorang dari Mesir mengatakan bahwa bangsa mereka sudah seratus lima puluh ribu tahun menyembah sapi. Sedang orang India mengatakan klaim itu berlebihan dengan berkata bahwa bangsa mereka lebih tua karena lebih dulu beroleh wejanganBrahma untuk memulyakan sapi untuk tidak memakan dagingnya sebelum bangsa Mesir menaruhnya di altar pemujaan atau di tempat pemanggangan. Dan orang Mesir mengakui bahwa mereka memang memuja sapi tapi juga memakannya. Datanglah orang Khaldea yang mengatakan “ Tuan-tuan keliru.... kepada ikan oanneslah kita berhutang budi untuk kebajikan-kebajikan sedemikian besar, maka patutlah kita memujanya!”. Si orang Khaldea juga mengklaim bahwa peradaban mereka lebih tua karena memiliki almanak yang sudah berusia empat ribu abad.
Di tengah perdebatan yang kian memanas, orang Yunani berteriak “ Kalian semua tidak tahu apa-apa!......apakah kalian tidak tahu bahwa chaoslah bapak semuanya dan bahwa bentuk dan materi telah menjadikan dunia ini sebagaimana adanya.’ Dalam perdebatan itu masih banyak yang angkat bicara untuk membuktikan bahwa mereka atau bangsa merekalah yang palingbenar dan utama, diantaranya ada orang China dan orang Eropa. Di ujung cerita berbicaralah Zadiq yang so pasti mewakili keyakinan Voltaire sang pengarang bahwa pada dasarnya mereka hanya memuja melalui media alam dan makhluk alam itu. sejatinya yang mereka puja dan mereka sembah adalah Pencipta semua itu. dan semua hadirin setuju pada pandangan bijak dan cerdas itu. walau sejatinya masih bernada monoteistik karena dibaliknya ada keyakinan pada ‘Suprme Being’ atau The High God’.
Sikap keberagamaan yang bernada pluralistik itu akan menghindarkan kita dari anggapan miring terhadap kepercayaan yang tak meyakini keberadaan Dewa, seperti Budhism, yang bersimpang jalan dengan agama Hindu yang percaya pada dewa-dewa, yang lebih mengarah kepada perbaikan moral. Atau sebaliknya ajaran yang mengarah kepada Panteime, ala Ibnu Arabi yang berdasar kepada cinta dan persatuan Khalik dan Makhluknya. Kita tak bisa menafikan pe4ngaruh besar dua keyakinan spritual di atas. Budhism telah merambah kemana-mana, anatara lain di Jepang dgn Zen Budhismnya. Sedangkan ajaran Ibnu Arabi mengakar kuat di Jawa dengan falsafah ‘Manunggaling Kaula lang Gusti’. Orang China yang Kong Hu Cu juga tak meyakini status metafisik dari jiwa dan badan. Mereka hanya berkata bahwa semua orang bisa beroleh status langit hanya dengan berlaku baik dan bijak. Mereka lebih mengandalkan pada ‘akal perintah dan akal evaluative’. Ajaran - ajaran tersebut di atas masih bisa diserumpunkan dengan ajaran ‘Sky God’ atau agama Cosmis.
Dalam doktrin spritual Budhism, orang meyakini benar tentang ketakterpisahan segala realitas ( Shikishin Funi). Ada kemanunggalan yang hakiki antara hidup yang dapat dijelaskan oleh ilmu pengetahun ilmiah, dan ada arus terpendam dari kehidupaan dimana semua fenomena kehidupan bertumpu. Materialisme mengaitkan dirinya hanya dengan alam Shiki dan spitualisme dengan alam Shin. Arnold Toymbee mengatakan bahwa doktrin itu adalah pemahaman yang masuk akal dan mungkin manusian capai.
Intelektual Jepang Daisaku Ikeda lebih lanjut mengatakan bahwa hanya bila kehidupan manusia difahami sebagai bagian dari arus kehidupan kosmis, barulah mungkin untuk melanjutkan lebih dari sekedar mengakui kemanungglan dari batin dan jasmani dan mengarahkan hubungan tak terlerai dari jasmani dan pikiran pada penciptaan suatu jenis kehidupan yang baru. Orang Hindu menyebut ketunggalan manusia dengan alam dengan ‘ Tat twan asi. Atau dalam kepercayaan Zen-Budhism Jepang dikatakan bahwa ‘ alam ada dalam aku, aku ada dalam alam”. Di sini prinsip monisme begitu kental, tak ada duaalisme antara alam dan manusia secara hakiki. Belum ada distingsi antara subjek dan objek secara hirarkis.
Hanya kepercayaan buta terhadap ilmu pengetahuanlah yang telah memunculkan keyakinan yang memandang alam hanya sekedar objek diam yang mekanistik dan tak mempunyai tujuan dan maksud (purpusive order) . Alam telah menyingkapkan kebenarannya sendiri melalui prinsip ‘ uniformity of nature’. Alam yang penuh dengan keteraturan adalah dasar bagi hukum-hukum kepastian yang abadi, ia bergerak mengikuti sunnahnya untuk kemudian membuktikan bahwa tak ada yang berada di luar dirinya sebagai pengatur atau pencipta. Ia mencipta dan mengatur dirinya sendiri.tapi ini adalah klaim ahli science yang harus difalsifikasi. Mengingat usia alam yang diperkirakan masih 15 milyar tahun lagi dimana aneka probabilitas masih bisa terjadi, maka statemen itu harus dianggap sebagai sebuh ‘Hipotesa’.
Relativenya kenyataan alam dan ilmu telah dinyatakan oleh Einstein dengan fisika kuantumnya. Jika alam atau ilmu tidak bisa mengetahui dirinya sendiri secara pasti, apakah ia energi atau materi belaka, maka bagaimana ia bisa menegasikan sesuatu yang berada di luar dirinya, sesuatu yang mengatasinya. Alam tidak akan mampu mengatasi prores kehancurnnya sendiri seperti yang diterangkan oleh Hukum Thermodynamika ke dua tentang fenomena ‘ degrdation of energy’. Bahkan alam kelak akan hancur dalam sekajap oleh reaksi apa yang Stephen Hawking sebut ‘ Partikel Tuhan’.
Sejatinya alam mengandung misteri yang para ilmuwan belum bisa menjelaskannya hingga kini. Itu yang disebut oleh Karlina Supeli dalam ceramahnya tentang kosmos sebagi misteri 137. Bahwa setiap penelitian pada zat atau pertikel alam akan selalu memunculkan secara misterius angka 137. Atas fenomena itu, seorang ilmuwan sampai bersumpah bahwa ia tak akan mati sebelum menguak misteri tersebut. Akibat terlalu banyak berpikir, ia kemudian jatuh sakit dan dilarikan ke rumah sakit. Dan entah mengapa ia ingin perawatannya dipindahkan ke kamar yang lain. Tapi di kamar baru yang bernomer 137 itu ia kemudian meninggal.
Dalam perspektif spritual Islam, alam seakar kata dengan ilmu yang berarti ‘ alamat’. Jadi alam semesta ini adalah alamat atau tanda akan keberadaan Tuhan. Bahkan oleh kaum sufi seperti Ibnu Arabi atau Al-Gazali meyakini bahwa alam bukan hanya penanda tentang Tuhan, tapi adalah Sang Realitas itu sendiri. Maka Ibnu Arabi dengan konsep ‘wahdatul wujudnya mengatakan bahwa Allah tidak membutuhkan dalil lagi. Sebab bagaimana pembuktian bisa diterapkan pada Zat yang Dia sendiri adalah dalil itu. tidak ada pembedaan antara Al-Haq, Allah yang maha benar dengan makhluk. Kecuali karena i’tibar dan arah. Jadi Allah adalah Maha Benar pada aras Zat-Nya. Sekaligus makhluk dari sudut pandang sifat-sifat-Nya. Maka Ibnu Arabi mengatakan “ Maha Suci Zat yang menciptakan segala sesuatu di mana ia adalah kenyataan segala sesuatu itu.” wallahu a’lam bissawab.
Sejak dahulu orang telah menamai manusia sebagai ‘Microkosmos’, dan alam semesta sebagai ‘Macrokosmos’. Tapi Jalaluddin Rumi dalam masnawinya masnawinya telah melakukan pembalikan dimana beliau justru mengatakan bahwa sejatinya manusialah yang merupakan makrokosmos. Rumi tak setuju pada pandangan para filsuf muslim sebelumnya yang menyebut manusia adalah mikrokosmos. Rumi bersyair “ Dari jiwa-jiwa seterang bintang, penyempurnaan selalu diberikan kepada bintang-bintang di langit / Dari luar kita tampaknya kita di atur oleh bintang-bintang itu, padahal batin kitalah yang menjadi pengatur langit / oleh karena itu, sementara dari wujud engkau adalah mikrokosmos, pada hakekatnya engkau makrokosmos.
Dari perspektif kaum sufi, manusia sekalipun dipandang sebagai mikrokosmos, namun bukan semata ringkasan dari alam semesta. Karena manusia adalah sebab awal dan akhir alam semesta, alam ada demi manusia. sebuah syair sufi berbunyi “ Engkau adalah buku yang jelas, yang tulisan-tulisannya menyingkap seluk-beluk seluruh rahasia / Engkau menganggap dirimu tubuh kecil (mikrokosmos),padahal dunia besar( makrokosmos) itu terbungkus dalam hatimu.
Dekonstruksi Rumi atau kaum sufi terhadap konsepsi ilmu tentang relasi alam dan manusia itu barangkali telah menjadi inspirasi bagi gerakan Humanisme di barat menyusul periode Renesans. Hanya saja munculnya rasa percaya diri manusia akan eksistensi dan kapasitasnya yang besar itu di hadapan alam semesta telah menimbulkan ekses antroposentrisme yang radikal. Sehingga Tuhan sebagai Zat pencipta segala sesuatu ditinggalkan atau tak dipercaya lagi. Menyempal dari jalan sufi yang memandang segala sesuatu sebagai manifestasi Tuhan, termasuk alam dan seisinya. Manusia mengalami titik balik yang ekstrim dalam relasinya terhadap alam. Dengan kemajuan dan ketinggin ilmu dan teknologinya, alam pun di tundukkan, dikuasai untuk dikuras demi kemakmuran manusia. alam menjadi ‘ Sapi perah liar’ yang kemudian memperluas hasrat manusia untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi daerah yang dianggapnya tak bertuan di bumi bahkan di benda-benda langit seperti bulan atau mars. Alam mengalami desakralisasi yang akut, sehingga perkosaan terhadapnya adalah mungkin, dan terbuka lebar. Kalau sudah begini, mari kita bertanya pada rumput yang bergoyang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar