Kebudayaan adalah cetak biru kehidupan, jadi bagaimana kebudayaan tempat anda lahir dan dibesarkan, begitulah anda kelak. Ditempat dimana korupsi telah membudaya tentu akan mencetak kandidat2 koruptor. Di daerah dimana intoleransi meraja dan jadi kebiasaan pasti akan melahirkan orang2 yang maunya menang sendiri saja dalam segala hal. Dengan meyakini hal ini, untuk menghindari The future of the damned, dari pada marah-marah terus pada keadaan sekarang yang serba ruwet, ribet dan ribut, lebih baik mari mendidik atau mengajar generasi muda dan anak2 kita untuk tidak larut ke dalam budaya2 negatif yang sedang menggejala atau dengan kata lain melakukan proses tarnsendence terhadap keadaan dan kenyataan faktual. Ada berbagai cara untuk melepaskan diri dari proses gravitasi alam negatif, antara lain lewat pendalaman ajaran2 agama dan kearifan lokal – aktualisasi – dan lewat pengokohan kemampuan rasional. Hal pertama yang patut dicamkan adalah sebuah kebenaran bahwa ’ child is the father of man, yang berarti masa kecil yang menentukan masa dewasa orang. Jadi ketika dimasa kecil kita sudah ngak beres jangan harap di masa tua kita akan beres. Kalau dimasa kecil kita telah melihat dan bergaul dengan segala yang buruk2, pastilah di masa dewasa kita akan asing dengan hal yang baik-baik, dst. Perhatikan teori tabularasa Rasulullah, ’ Seorang anak dilahirkan ibarat kain putih, orang tuanyalah yang menyebabkan ia menjadi yahudi, nasara dan majusi’. Di Mandar sejak kecil bahkan sejak di buaian, anak telah diingatkan dengan hal2 yang positif dengan menyanyikannya lewat Kalinda’da ( sastra lisan Mandar ), misalnya bisikan atau ajakan hidup hemat ( etos ekonomi ), Dianng dalle mulolongang, da mugula-gulai, andiang dalle, na sadia-dianna. Karena anak dan remaja masih rentan tergravitasi, maka tak ada jalan lain bagi kita untuk perbaikan kedepan selain menciptaka sebuah lingkungan budaya yang positif yang kelak akan membentuk jiwa dan kepribadian bangsa. Dengan menganalogikan lingkungan budaya dengan sebuah gedung, maka benar ungkapan ’Winston Churchil’ ( mantan perdana menteri Inggris pada perang dunia II ) ’ We shape our buildings and afterwards the buildings shape us’. Wallahu alam Jakarta, 26 Januari 2011 Syaiyullah Pilman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar