Minggu, 17 November 2013

ABALAQ


Di Mandar dikenal konsep Balaq atau Abalaq yang berarti penderitaan yang datang karena bencana, kecelakaan, dan musibah. Dalam ungkapn misalnya berbunyi “ Mua simata bassai kedzomu, andiang mairrangngi pau, na naruao abalaq,” …” Mua naruao abalaq, pasambayangngoqo dai”. Ma’baca-baca, mentaati pamali dan ussulnya atau makkuliwa adalah cara atau ritual adaq yang dimaksudkan untuk menghindari abalaq.

Dalam Al Qur’an, abalaq atau penderitaan bermakna duniawi dan ukhrawi. Kita selalu berdoa untuk terhindar darinya dengan meminta kebahagiaan dunia dan akhirat kepada Allah Swt, misalnya dalam doa “Sapu Jagat,” Kata menderita dalam Al Qur’an dalam fiil mudhari adalah yasyqa, dalam fiil madhi, syaqiya. Dalam surat Thaha ayat 20 berbunyi “ Ma anzalna ‘alaikal qurana litasyqa,” ( Kami tidak menurunkan Al Qur;n ini kepadamu agar kamu menjadi susah )

Syech Muhammad Naquib al-Attas, dalam bukunya Prologomena to The Methapysic of Islam, menjelaskan bahwa ketika seseorang tidak mengambil petunjuk Allah, maka pasti menderita meskipun secara kasat mata terlihat bahagia. Penderitaan tersebut pada orang yang mengambil petunjuk hanya akan bermakna “ Bala”, yaitu ujian terhadap orang tersebut, bukan syaqawah atau penderitaan sebagai bentuk hukuman Tuhan

Jadi ada perbedaan antara Bala dan Penderitaan. Di mana bala sebenarnya merupakan ujian yang datang dari Tuhan untuk mengetahui sejauh mana kita telah beriman dan istiqomah dalam beragama dan kebaikan. Sedangkan derita adalah hukuman sebagai konsekwensi perbuatan buruk kita di dunia dan akhirat.

Memang susah untuk membedakan antara bala dan derita sebagai hukuman, misalnya ketika seorang masuk penjara karena korupsi atau menganiayai orang lain. Seringkali orang menenang-nenangkan diri dengan mengatakan “ Ini adalah suatu ujian dari Allah”
Kebanyakan tidak mau berpikir bahwa deritanya dipenjara adalah karena hukuman Tuhan. Bahkan banyak pelaku korupsi, masih tertawa-tawa seperti tak punya dosa ketika sudah dibawa ke penjara di atas mobil tahanan.

Penderitaan manusia itu banyak, ada yang karena bencana alam, seperti tsunami, gunung meletus, ada karena perang, ada karena kehilangan orang tua yang lalu jadi anak yatim dipanti asuhan dan anak jalanan, dan ada karena kemiskinan. Tentunya tidak arif jika kita tidak bersimpati dan berusaha membebaskan mereka atau paling tidak meringankan beban penderitaan sesama yang menderita. Apakah andil yang telah kita berikan pada usaha untuk membebaskan sesama manusia dari penderitaan dalam segala aspeknya?.

Jika memang kita belum bisa membantu atau berkontribusi secara materi dan financial, paling tidak kita bisa menunjukkan kepedulian dengan bersimpati atau berempati. Bentuknya bisa dengan menjadi relawan pada setiap bencana atau proyek pemberantasan kemiskinan dan penanggulangan masalah sosial. Atau menulis dan mengangkat penderitaan yang nyata ada seperti yng dilakukan para wartawan, sastrawan, penyair atau musisi. Penderitaan manusia bagi para seniman dan wartawan tak ubahnya seperti ‘ mata air’ yang tiada habis-habisnya jadi sumber tema dan gagasan karya mereka. Semua bisa kita lihat dari karangan-karangan Shakespeare, Tu Fu, Khairil Anwar, Idrus, Pramudia Ananta Tur, Rendra. Dalam lukisan gua-gua manusia purba, relief-relif candi, cerita-cerita film sampai lirik-lirik lagu. Semua itu bagi seniman, disampaikan sebagai pesan kearifan yang terselubung atau terang-terangan yang diharapkan dapat membekas dilubuk hati manusia untuk lalu melakukan peran aktif membebaskan manusia dari penderitaan. Gerakan Hak Asasi secara massif dan mengglobal yang dipelopori oleh Presiden AS Jimmy Carter dimulai dari pembacaan atas sajak penyair pemabuk dari Wales, Dylan Thomas, yang salah satu lariknya berbunyi ‘ Hands has no tears to flow” yang bermakna “ kekuasaan kadang tak punya tangan yang bisa mengalirkan airmata”. Dengan kata lain kekuasaan bisa sewenang-wenang, otoriter dan korup.

Hanya saja rasa simpati yang kita tunjukkan pada derita sesama manusia kadang bersifat eksessif, hingga kita melupakan diri sendiri dan melupakan hakekat penderitaan yang sebenarnya harus kita hindari karena merupakan suatu pembangkangan terang2an pada aturan Tuhan. Kita wajib untuk melepaskan diri kita sendiri dari aneka kemungkinan penderitaan, akan tetapi kita juga mesti memikul tanggung jawab sosial dan moral untuk membebaskan orang lain yang mengalami penderitaan.

Dalam kaitan itu, menarik apa yang dikatakan oleh God Father penyair Amerika, Walt Whitman tentang perbudakan. Rasa simpati yang mendalam dan tak terbatas Whitman pada para budak telah dikritik oleh D. H. Lawrence dalam eseinya yang berjudul” Whitman” di buku “ WHITMAN, A COLLECTION OF SPECIAL ESSAYS” yang dieditori oleh Roy Harvey Pearce. Simpati Whitman pada para budak dituangkan dalam larik “ Ah, I am a slave! Ah, it is bad to be a slave! I must free my self. My soul will die unless she frees herself. My soul says I muss free my self”

Menanggapi larik Whitman itu, Lawrence mengatakan “ This was not sympathy. It was merging and self sacrifice….if Whitman truly sympathized, he would have said ; That negro slave suffers from slavery. He wants to free himself. His souls wants to free him. He was wounds, but they are the price of freedom. The soul has a long journey from slavery to freedom. If I can help him I will not take over his wounds and his slavery to myself. But I will help him figth the power that enslaves him when he wants to be free, if he wants my help…..

Maka menariklah untuk menyimak apa yang telah dikatakan oleh seorang filosof, Hillel “ If I am not for myself, who will be for me?. If I am only for my self, then what am I for ( Kalau saya bukan untuk diriku, mengaharapkan siapa lagi. Kalau saya hny untuk diriku, lalu untuk apa aku ini?).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar