BLOG INI UNTUK BERBAGI RASA DAN PIKIR, LEBIH BAIK SALAH TAPI MEMBERI DARI PADA BENAR TAK MEMBERI
Jumat, 29 November 2013
BAHASA MANDAR DI RANTAU
Setiap orang Mandar, termasuk yang ada di perantauan pasti terobsesi untuk memajukan dan mengembangkan Kebudayaan Mandar. Dengan sendirinya bahasa Mandar sebagai simpul dan simbol utama dari kebudayaan harus jadi prioritas untuk dijaga dan diestarikan. Namun bahasa Mandar dewasa ini, menghadapi masalah berkurangnya jumlah penuturnya, terutama dari kalangan generasi muda. Sayang hal tersebut belum disadari dan disiasati, sehingga terhidar dari kepunahan sama sekali.
Dari sekian banyak keluarga yang berdomisili di Jakarta, bisa dihitung dengan jari yang masih melakukan interaksi verbal dalam kehidupan rumah tangganya yang menggunakan bahasa Mandar. Akibatnya, rata-rata anak-anak mereka tidak mengerti bahasa Mandar. Teluk Gong tempat pemukinan orang Mandar dari kalangan pekerja, saya amati generasi mudanya banyak yang gagap, atau mungkin sebagian besar sudah tidak bisa berbahasa Mandar.
Sebuah kelompok arisan yang anggotanya dari keluarga yang tingkat sosialnya lebih tinggi, keadaannya lebih parah lagi, bahkan orang tua dan anak-anaknya sama-sama membisu dan bengong bila mendengar orang berbahasa Mandar. Beberapa tante dari kalangan nenek-nenek jika bicara pada sesamanya, selalu berselang-seling menggunakan bahasa Mandar dan Indonesia.. misalnya “ Dari mana ki’, apana; simata terlamba’i tau , simata sibu’mi tia, lansung mi dulu makan.”….” tidak begitui, apa’karamboi boyang, maklum deh.” Ini artinya, bahwa beliau-beliau juga sudah menderita kekuranga kosa kata bahasa Mandar.
Realitas tersebut di atas mestinya menjadi kepedulian dan keprihatinan para orang tua dan pemangku kepentingan untuk melakukan program mengembalikan orang-orang hilang yang tersesat di rimba belantara modernisasi dan globalisasi. Ada beberapa kelompok yang mencoba membudayakan penggunaan bahasa Mandar pada setiap pertemuan, tapi itu hanya terjadi dikalangan orang tua saja. Sementara anak-anak luput dari sasaran tembak dan berlarian entah kemana. Padahal yang menjadi kekhawatiran adalah setelah waktu ini apa. Jika kita yang sekarang sudah wafat, apakah juga harus diikuti matinya bahasa Mandar? Karena anak-anak kita lebih suka dan gandrung bahasa Asing atau bahasa Indonesia yang juga makin terasing.
Berdasar pada penelitian para ahli bahasa, mobilitas horisontal geografis dan mobilitas vertikal yang terjadi secara meluas telah menjadi faktor penting dalam punahnya bahasa daerah. Pada saat sekelompok orang meninggalkan daerah asalnya, saat itu pula mereka mulai meninggalkan bahasa daerahnya, sehingga jumlah penutur bahasa tersebut berkurang secara substansial.
Meningkatnya taraf hidup juga berperan penting menggerus bahasa daerah, karena sejalan dengan itu, orang mulai mengidentifkasikan dirinya dengan bahasa Indonesia. Pergaulan sosial yang kian meluas justru memojokkan bahasa daerah. Tak lagi terdapat ruang untuk bahasa daerah.
Keberadaan bahasa daerah hanya eksis pada ruang-ruang yang membutuhkan ekspresi emosional dan bersifat sakral. Upacara adat merupakan contoh yang jelas tentang ruang publik di mana simbol bahasa daerah masih berfungsi dengan baik. Namun demi keberlangsungan kehidupan bahasa Mandar di rantau, maka perlu adanya sebuah strategi budaya yang tepat untuk diimplemntasikan dalam rangkaian program dan kegiatan bahasa.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar