Senin, 25 November 2013

FORUM BUDAYA DUNIA




Tergelitik hati ini untuk komentari dibukanya “Forum Budaya Dunia” di Bali yang dihadiri lebih dari 700 delegasi dan pembicara dari seluruh dunia, ahad kemaren ( 24/11). Terlebih setelah membaca pidato pembukaan Mendikbud, Mohammad Nuh yang berbunyi seperti ini “ Pembangunan yang berkelanjutan tidak cukup dilihat dari aspek ekonomi, politik dan lingkungan, tetapi ada aspek budaya yang lebih mengedepankan sisi manusianya. Indonesia dengan keragaman budaya yang begitu kaya melihat peluang budaya sebagai penghubung, pendukung, dan penggerak pembangunan yang berkelanjutan berlandaskan kesetaraan dan saling menghormati. Tanpa keragaman budaya, akan terjadi dominasi untuk mencaplok yang lain. Dominasi berpeluang menciptakan konflik.”

Yang lucu dari sambutan itu, jika mau didalami maknanya, makasebenarnya pembangunan yang berkelanjutanlah yang jadi focus dan locus pertemuan tersebut. Budaya dalam hal ini hanya jadi instrument atau sekedar jadi penhubung, pendukung, atau penggerak belaka. Jadi mestinya forum itu bernama “ Forum Pembangunan Dunia”
Lagi-lagi budaya dicoba dimamfaatkan demi suatu yag natinya justru akan bentrok dengan budaya itu sendiri. Betapa tidak, pembangunan yang pasti akan melahirkan manusia-manusia makmur, para kapitalis, sejatinya adalah gong kematian bagi budaya dalam arti penghormatan pada hak asasi, manusia keragaman, kedalaman dan keunikan seni budaya. Apalagi jika hanya berorientasi ekonomi politik belaka, kedepannya pembangunan model begitu hanya akan menciptakan manusia pabrik yang seragam dalam selera, pemikiran dan kemasannya. Kurang perasaan, hanya merawat IQ bukan EQ atau karakter, apalagi SQ.

Pembangunan yang mensyaratkan rasionalisasi disegala lini, akan menimbulkan antesis kebudayaan luhur dan manusiawi, yakni budaya konsumerisme, matre, hedonisme dan cinta uang. Hal ini terjadi karena adanya prinsip “ demonstration effect” yang menyertai pembangunan ekonomi. Sebab jika tak ada itu, pembangunan akan jalan di tempat alias SJB ( sama juga bohong). Lihat saja realitas kekinian, begitu marak dan massif kursus-kursus, seminar atau bimbingan untuk menjadi kaya. Sebuah iklan di radio berbunyi “ One minute to be a Millioneer”. Masih banyak lagi iklan senada yang muncul tiap saat dibenak segenap warga negara RI. Yang membuat orang rame-rame untuk menghadirinya. Ini akibat proses DE tersebut di atas.

Ketika semua sudah terlanjur terekonominalisasi dalam proses kapitalisasi yang tak terhindarkan, jangan harap akan ada minat lagi untuk bicara nilai-nilai atau norma-norma kehidupan pada segala aspeknya. Orang-orang, terutama anak muda akan berkata “ Hari genie ngomongin budaya?” Semua akan diukur dari segi materi, dan semua persoalan akan diselesaikan dengan uang. Kebaikan bisa dibeli, rasa hormat bisa ditawar, untuk jadi pejabat atau pemimpin bisa dinegosiasikan secara transaksional. Dengan modal satu atau dua milyar orang bisa jadi penguasa yang terhormat. Seni dikomersialkan ditelanjangi sekaligus direndahkan oleh uang. Orang-orang snobis bermunculan, mendadak jazz, mendadak kolektor benda-benda seni, atau mendadak jadi pengunjung setia konser musik pementasan teater atau pameran lukisan. Modal sosial dikalahkan oleh modal kapital,

Tambahan lagi telah terjadi kok pencaplokan di mana-mana akibat libido dan obsesi rezim developmentalism yang kapitalistik, meski keragaman dan demokrasi telah dirayakan sejak lama. Irak dicaplok, dan hampir semua negara-negara di Timteng diacak-acak. Hak privacy orang dinafikan dengan kasus penyadapan yang dilakukan negara-negara five eyes di seluruh dunia yang berpotensi menimbulkan konflik atau perang. Bidang ekonomi Indonesia yang mana sih yang belum tercaplok? Aneka budaya bangsa saja sudah banyak diklaim oleh asing. Lalu apa ya yang kira-kira akan disepakati atau direkomendasikan oleh Forum Budaya Dunia tersebut. Fenomena “ Multikulturalisme” sudah lama berlangsung, yang belum adalah “ Civilizised World” alias Dunia yang diperadabkan atau Dunia yang dibudayakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar