BLOG INI UNTUK BERBAGI RASA DAN PIKIR, LEBIH BAIK SALAH TAPI MEMBERI DARI PADA BENAR TAK MEMBERI
Jumat, 15 November 2013
MEMBUMIKAN ADAQ DAN BUDAYA
Seandainya adaq dan budaya dibumikan sejak dulu di Mandar atau diseluruh Nusantara ini, maka berbagai prilaku dan tindakan amoral yang menyimpang tidak akan semarak dan seluasa sekarang untuk menyata. Petuah, nasehat atau kearifan nenek moyang itu banyak dan bermutu, tapi ia hanya hinggap di bubungan Istana, rumah-rumah kaum bangsawan dan orang kaya, di kepala kaum cendekiawan, di lembaran-lembaran buku, di internet atau pada makalah-makalah berbagai seminar dan rekomendasi kongres kebudayaan.
Contoh kecilnya adalah di Mandar telah ada ungkapan adaq atau kearifan yang berbunyi “ Ia adaq tang meloq pai di pasosoq” atau hendaknya para pejabat kerajaan ( kaum hadat) tidak tergiur sogokan. Tapi apa yang terjadi?, kini kegiatan sogok-menyogok, suap atau korupsi justru telah menjadi budaya ( social behaviour). Jadi adaq budaya dan kearifan local benar-benar telah menjadi lumut atau memfosil dalam jejak sejarah , tidak menyatu dengan karakter dan kepribadian kita dalam keseharian dan setip sikap dan tindakan kita.
Bicara mengenai budaya, adalah bicara tentang mentalitas. Tapi kedunya sebenarnya tidak sama,dan sebangun. Ini untuk menghindari agar kita tak menjadikan budaya atau adaq sebagai terdakwa manakala prilaku dan mentalitas korup merajalela. Sejatinya perbuatan menyimpang, asosial, asusila, justru adalah serangan terhadap nilai-nilai budaya yang telah ditanamkan di jiwa dan otak kita oleh para leluhur sejak dulu. Pada kondisi chaotik dan anarkisme jiwa, budaya justru yang paling menderita, sakit dan menangis. Budaya di masa kini, ibarat orang tua ringkih, lemah, berkacamata dan bertongkat yang tak berdaya menahan nafsu angkara kita yang kuat, ambisius dan meraksasa. Ia seperti suara malaikat yang lembut dan tenang menghadapi dentuman suara setan yang menggelegar.
Tapi setan atau malaikat penghuni jiwa kita adalah kreasi Tuhan untuk kita tangani dan kelola secara mandiri dan syar’i. Intrumennya adalah akal pikiran dan hati berian Tuhan juga. Kita adalah bagaimana kita memamfaatkan anugrah tersebut. Makanya kita perlu mengaktifkannya untuk menggali, mencari, menafsir, lalu memihak pada adaq, budaya, dan kearifan lokal agar menjadikannya guidance dan penuntun kehidupan kita yang kini dironrong oleh sampah-sampah modernisme dan globalisasi.
Kita tak perlu mencarinya jauh-jauh pada konesepsi atau kontruksi akademis yang rumit dan susah yang tujuannya adalah untuk kelulusan dan prestise belaka, tapi bukalah lembar-lembar tertulis yang sederhana yang bisa kita jangkau dan langsung diaplikasikan. Semisal yang yang saya temukan pada sebuah buku yang berbunyi dalam bahasa Indonesia “ Tidak menyanjung-nyanjung dan tidak pula merendahkan seseorang, tidak menyenangi dan tidak membenci seseorang”. Lokal wisdom ini akan sangat mamfaat jika ditafsir dan dimaknai sesuai dengan zeitgeist atau semangat jaman kini yang haus bimbingan dan motivasi.
Memang banyak dari kita dewasa ini yang suka menyanjung-nyanjung seorang yang kaya raya atau penguasa atau seorang besar sembari menginjak dan merendahkan orang kecil dn marginal. Bagi orang Mandar seharusnya bersikap tidak memperlakukan orang tidak pada tempatnya ( manggereq tau na tania barona nagereq). Menyanjung orang dengan tulus berdasar prestasi dan kebaikannya adalah sebuah keniscayaan dalam pergaulan sosial. Tapi mestinya juga disertai keinginan untuk memanusiakan orang-orang kecil dan bawahan, menurut Sigmun Freud, setiap orang dalam segala kiprahnya, memendam dua motif dalam dirinya, dorongan seks dan dorongan kebesaran diri. Atau dalm terminology John Dewey “ hasrat menjdi penting”. Atau salah satu makna “ Siri” di Mandar.
Dorongan untuk menjadi penting itulah yang membuat orang-orang rame jadi caleg, cabub atau capres. Hasrat yang medorong anda ingin punya mobil atau gadget terbaru, mengikuti mode dan mengupdate status inspiratif. Dan juga yang mendorong anak-anak muda membentuk gang motor, bahkan menjajal narkoba dan memperbanyak pacar.
Jika dorongan orang untuk menjadi penting dan dihargai diarahkan untuk membangkitkan energi positif dan membangun orang-orang Mandar, maka niscaya itu akan menjadi kekuatan SDM yang sangat menentukan bagi kemajuan Sulbar kedepan. Kita banyak memberi santapan badani untuk anak-anak, kawan dan karyawan kita. Tetapi berapa kali kita memberi santapan untuk “ Harga diri dan martabat” mereka. Kita menyediakan ikan, daging, telor, susu dsb guna meningkatkan energi mereka, tetapi kita lupa memberi kata-kata penuh penghargaan, yang akan menjadi api pemantik sukses bagi mereka dan yang akan mereka kenang bertahun-tahun dalam hidupnya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar