Kamis, 24 April 2014

RASKIN DAN MODAL SOSIAL

Setelah 16 tahun berjalan, barulah sekarang petinggi-petinggi negara kelabakan dan seperti kebakaran jenggot akan penyimpangan dan korupsi yang terjadi pada program beras untuk orang miskin ( Raskin). Dan hal itu terungkap karena assesment yang dilakukan sebuah lembaga ad hoc bentukan pemerintah yang berwibawa dan ditakuti, Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK). Menurut lembaga yang dikomandoi oleh Abraham Samad itu, ada Sembilan modus penyimpangan program Raskin.

Modus pertama, data rumah tangga sasaran (RTS) tidak valid. Kedua, distribusi raskin fiktif. Ketiga, terjadi penggelapan raskin. Modus keempat, harga tebus raskin yang lebih mahal dari seharusnya. modus lainnya adalah jatah raskin yang dikurangi. Biasanya, kasus yang banyak terjadi adalah sistem bagito alias bagi roto (bagi rata). Modus lain adalah kualitas raskin yang tidak layak konsumsi.
Modus selanjutnya adalah, raskin jatuh pada masyarakat yang tidak berhak. Beberapa masyarakat sangat miskin bahkan tidak mampu untuk menebus beras dengan harga Rp 1.600 per kg. Akibatnya, orang lain, yang mampu menebus, membeli beras dari RTS. Adapun modus terakhir berupa penggelapan uang tebus.

Apa yang disampaikan oleh KPK itu, adalah potret wajah Indonesia yang merupakan konstanta yang sukar berubah. Tak ada yang tak menyimpang dari setiap niat baik untuk membantu dan mensubdi rakyat miskin. Dari Jaring pengaman sosial yang dulu dikorupsi oleh pejabat pusat sampai 45 milyar, bantuan langsung tunai, atau BLSM, sampai program raskin sekarang , semua mengalami distorsi dan penyunatan di sana-sini. Kasus penyelewengan program raskin sudah banyak yang diperkarakan, tapi tidak juga menimbulkan efek jera. Semakin banyak yang dijerat oleh hukum, semakin banyak juga yang bebas melakukan aksi jahatnya yang tak amanah untuk menguntungkan diri sendiri, keluarga dan sejawat. Ada RTS yang menerima empat bulan sekali, ada yang tiba-tiba namanya hilang dari daftar penerima raskin, ada yang harga tebusnya menjadi tiga ribu rupiah. Dan terutama banyaknya aparat desa yang memanipulasi data lapangan dengan memasukkan kaum kerabat atau teman sedesa ke dalam RTS. Ada yang yang berniat baik tapi tidak benar dengan memasukkan orang atas dasar toleransi dan rasa kasihan, akibatnya, RTS lebih banyak dari yang seharusnya, otomatis, jatah subsidi beras jadi berkurang, mestinya dapat 15 kilo menjadi hanya 10 kilo atau kurang.

Tentang kualitas beras, ini sangat terkait dengan status Perum Bulog sebagai otoritas penyalur. Sebagai Perum, bulog harus memcetak keuntungan bagi pemerintah dengan modal sendiri. Pemerintah hanya mengeluarkan dana untuk bulog setahun sekali yang bersifat sruktural, akibatnya, bulog dalam operasionalnya yang profit oriented itu harus meminjam dari bank atau sumber keuangan yang berbunga tinggi. Berbagai pos tentu akan ditekan costnya, termasuk program raskin itu, maka benefit dan profit bisa didapatkan.

Pemerintah seperti memakai kacamata kuda dalam menggelontorkan program-programnya yang populis. Seperti tak mau tahu aneka problem yang bisa muncul di lapangan. Jika sudah jadi sinterklas, tak lagi mau tahu pada segi pendistribusian yang semrawut dan terutama mentalitas pelaksana di hulu dan di hilir. Sementara Modal sosial atau energy kolektif masyarakt untuk mengatasi masalah bersama itu sudah lama terkikis. Nilai-nilai dan norma sosial, rasa saling percaya ( trust), prinsip reciprocal yang saling menunjang dan ikhlas dsb, mesti dibina dan dibangun lagi sebelum semua kian menyempal dan sia-sia. Apapun system yang dibangun oleh KPK untuk melakukan tindakan preventif atau kuratif atas korupsi dan penyelewengan di masyarakat, bahkan mencreate “ Island of Intergrity,” akan sia-sia dan membuang sumber daya saja jika tak memahami dimensi sosial budaya dari setiap penyakit dan penyimpangan sosial.

Modal sosial secara umum dapat dirujuk pada dimensi institusional, relasi-relasi sosial dalam masyarakat dan norma-norma yang membentuk kuantitas dan kualitas hubungan sosial itu. Cohen dan Prusak memberikan pengertian bahwa modal sosial sebagai stock dari hubungan yang aktif dan diikat oleh kepercayaan ( trust) rasa saling pengertian ( mutual understanding) dan nilai-nilai bersama ( shared value) yang mengikat setiap anggota masyarakat atau kelompok untuk melakukan aksi bersama secara efektif dan efisien demi kebaikan dan kebajikan bersama. Jadi modal sosial adalah budaya atau metalitas individu dan kolektif dari suatu upaya perubahan kearah yang lebih baik.

Masalah kemiskinan cenderung kita pandang sebagai produk dari hubungan kauslitas linear beberapa variable sosial ekonomi semata. Faktor-faktor cultural seperti budaya kemiskinan ( culture of poverty) yang berbenturan dengan kapitalisme pedesaan ( rural capitalism). Hereditas dan eksklusifisme lokal dan tekanan-tekanan budaya terhadap masyarakat lapisan bawah oleh system sosial local yang hirarkis jarang kita cermati. Semua itu merupakan variable yang penting yang mempengaruhi kekuatan dan struktur modal sosial di masyarakat. Eksklusivisme budaya misalnya, telah menghambat kemungkinan berkembangan modal sosial kearah yang dapat menghasilkan dampak positif bagi masyarakat. Keterkungkungan budaya mencegah meluasnya ide-ide dan gagasan perbaikan yang bersifat emansipatif dari seluruh lapisan masyarakat.

Sejak awal tahun 1970 an program untuk membangun desa telah mengalirkan banjir dana ke desa-desa. Tapi prosentasi jumlah kemiskinan tidak pernah berubah secara significan. Itu karena dari dulu sampai kini, pendapat, keputusan-keputusan dan program membangun desa selalu adalah hasil interpretasi berpikir kelompok elit pedesaan semata ( unequal exchange of meaning) dan terkadang kurang jelas sasaran akhir dari program yang dibuat. Dengan sikap dan prilaku itu, apa yang dibunuh adalah semangat perubahan dari masyarakat itu sendiri dan kesadaran untuk berpartisipasi aktif dalam setiap derap langkah pembangunan. Contoh paling mutakhir dari apatisme dan sifat masa bodoh masyarakat dan lancungnya para elite, adalah merebaknya fenomena politik uang pada pemilu dan meluasnya golput alias golongan penerima uang tunai. Jadi problem abadi bangsa ini adalah “ orang atas membiarkan kalangan bawah bodoh dan apatis untuk kemudian rame-rame mengekploitasinya demi kepentingan diri, keluarga dan kelompok.”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar