BLOG INI UNTUK BERBAGI RASA DAN PIKIR, LEBIH BAIK SALAH TAPI MEMBERI DARI PADA BENAR TAK MEMBERI
Senin, 28 April 2014
PELABUHAN RATU, MUSIK DAN IMPUN
Episode I
Menurut Nietzche, berpikir sebagaimana dikatakan oleh para epistemologi, tidak pernah terjadi, ia hanya friksi arbiter, muncul dengan menyeleksi suatu unsur dari proses yang mengeliminasi semua yang tidak berguna. Sebuah penyusunan artificial untuk tujuan intelligibilitas. Kritik Nietzsche terhadap pemujaan akal sampai pada suatu kesimpulan,” Akal dalam bahasa diibaratkan sekedar sebagai seorang tua yang dungu.”
Konstatasi Nietzche di atas sebenarnya tak bermaksud menafikan peran dan fungis akal yang penting dalam kehidupan, hanya tak mau melihat manusia jadi berkepingan alias jadi tak utuh sebagai totalitas produk lingkungan, sosial, pikiran, perasaan dan spiritual, dengan menempatkan akal sebagai determinan dan variable utama pembentuk kepribadian atau kedirian manusia. Terutama dalam ilmu Sosial, humaniora dan dalam lingkup kesenian, terkadang suatu teori yang maunya dibilang ilmiah, disimpulkan secara tergesa-gesa dan cenderung bias demi melayani sebuah disposisi ideologi.
Dalam bidang musik, Jacques Attali membagi musik dalam tiga modus, yaitu, Ritual, Representasi dan Pengulangan. Dalam semua budaya, fungsi awal sebuah musik adalah dalam rangka ritual. Pada fase ini, musik masih bisa diharapkan memberi effek katarsis yang mengeliminir “ kebisingan bathin.” Pada tahap representasi, musik telah menjadi media ekpresi atau penyampaian aspirasi serta nilai-nilai pribadi atau kolektif suatu komunitas atau etnik. Musik lebih mensosial, dan jadi bahan tontonan dan tuntunan. Pada modus pengulanganlah musik mengalami pembedahan habis-habisan dan melulu dicari jeroannya yang bau untuk diumbar dan diberitakan sebagai penyakit yang dapat membunuh atau menumpulkan perasaan. Mengurangi kecepatan berpikir dan meninabobokan kecerdasan.
Bagi para teoritikus dan terapis musik tertentu, Jazz, rock’n’roll, disco, hip hop, R&B, dangdut dan semua produk budaya massa dan industry yang digandakan dan disebarkan luas dengan kaset, plas disc, memori card, USB, video, youtube, adalah inferior secara moral, nalar dan keindahan. Musik industri itu dengan sendirinya tidak menghasilkan ketegaran intelek, validitas estetik, otoritas moral budaya tinggi ala musik-musik Bach, Mozart, Chopin, Wagner, atau Bethoven. Celoteh mereka lagi, bahwa kultur massa menciptakan penumpulan perasaan umum, sebelum orang meningkatkan kesadarannya, kesadaran itu segera mati,” indah bukan teorinya?
Episode II
Pada hari Jumat, 25 April bersama Prof. Zubairi Djurban, ahli penyakit dalam terkemuka dan ketua tim pemerikasa kesehatan capres dan cawapres, saya menuju Pelabuhan Ratu untuk merayakan ultah perkawinan kolega professor yang adalah salah satu dirjen kementrian kesehatan. Tapi perayaan ultah perkawinan itu lebih banyak dilewati dengan bermusik dan bernyanyi lagu-lagu pop barat dan Imdonesia atau lagu-lagu daerah yang adalah produk budaya massa atau industri, sambil berdansa di aula, restoran bahkan di kebun yang dikelilingi aneka bunga dan buah-buahan. Mereka yang mau merelease stressor kota besar, dan menterapi jiwa dengan musik dan alam itu adalah para dokter senior yang sangat ahli dibidannya masing-masing. Semua menikmati lagu dan dansa yang ada, dan tampak bahagia dengan ketawa-ketiwi yang lepas bebas.
Metode rekreasi dan terapi jiwa itu telah dilakukan berkali-kali oleh para alumnus FK UI angkatan 70 an itu, di Ciater, Pangandaran, Situ Gunung, Puncak. Pelabuhan Ratu bahkan ke Derawan, Berau Kaltim, dan selalu saja mereka puas dengan healing yang didapat dari alam dan musik. Dan lagu-lagu yang dianggap bisa menggembirakan dus membahagiakan ya lagu-lagu sederhana dengan akor tiga batu dan mampu mereka apresiasi dan nyanyikan. Jika seorang dokter menyanyikan lagu-lagu serius dan berat, akan diprotes oleh mereka, lantas berteriak, dangdut.. Disco… atau rockn roll….!
Seorang professor yang saya tanyai tentang fenomena itu menjawab, “ Saya sendiri memang suka mendengar lagu-lagu pop atau dangdut, karena langsung memberi terapi jiwa, alias langsung menghibur dan menggembirakan, kalau musik-musik Bach, Chopin atau Bethoven, mungkin cocok buat para spesialis musik ya. Atau mahasiswa sekolah musik……” Tentu saja, sebagai dokter ahli, mereka tidak akan bicara sembarangan tentang kaitan musik dan kesehatan jiwa. Sepertinya memang sebagus apapun sebuah teori, kebenaran atau aplikasinya tak bisa digeneralisir pada yang bernama kehidupan!.
Saya sendiri bila malam tiba, lebih suka menikmati nada dan irama musik alam, desau angin pantai dan debur ombak yang menghantam karang pantai Suka Ratu sambil tiduran di atas bale-bale beranda bungalow rumah panggung. Dan bila pagi datang, melihat orang-orang seperti menari di pantai dengan jaring genggam berbentuk parabola menghimpun impun ( sejenis ikan kecil) yang di bawah ombak dari tengah. Impun akan banyak datang pada setiap tanggal 25 atau 10 hari terakhir bulan Qomariah, terutama pada bulan Maulid, Rabiul Awal. Pada saat ini, semua warga Pelabuhan Ratu tak terkecuali akan ke Pantai untuk ngalap berkah Impun yang enak dan mahal harganya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar