Selasa, 24 Juni 2014

REVOLUSI MENTAL DAN NASIONALISME


Dua istilah besar, revolusi mental dan nasionalisme adalah ibarat mantra yang sekarang dibacakan dimana-mana oleh kedua capres dan cawapres dalam rangka jualan kampanye mereka. Suatu keinginan yang tulus memang untuk mewujudkan suatu keadaan bangsa yang berkarakter dan lebih mencintai tanah air. Perluanya revolusi mental diusung oleh kubu Jokowi-JK, sedang jargon nasionalisme oleh kubu Prabowo-Hatta. Jika kedua frasa di atas digabung maka akan menjadi ‘ Nation and Charakter Building’ ala Sukarno yang dijabarkan dalam prinsip “ Trisakti”, berpribadi dalam kebudayaan, berdikari dalam ekonomi dan mandiri di jalur politik.

Rasanya semua kita akan bangga jika bangsa kita punya kualitas mental yang mumpuni, serta jiwa nasionalisme yang mantap, tapi untuk mewujudkannya cita-cita mulia tersebut, tidak akan semudah membalikkan telapak tangan. Semua presiden yang pernah ada di republik ini secara eksplisit dan implisit telah mencita-citakan hal-hal yang besar dan mulia itu, namun tak pernah sedikitpun terlihat adanya perubahan yang significan pada bangsa ini dalam hal kebanggaan pada mental yang baik dan nasionalisme. Setiap usaha yang sungguh dari sementara pemimpin untuk membuat perubahan mendasar, akan dipatahkan oleh segelintir orang yang justru berada dilingkar kekuasan dan punya potensi untuk memberi suri teladan bangsanya. Dengan kata lain penyelewengan, korupsi, dan abuse of power justru dilakukan oleh kalangan penguasa sendiri. Sehingga apapun yang telah dibulat tekadkan jadi mentah lagi, alias hancur berkeping-keping.

Program nasionalisme, pemihakan pada penguasaha pribumi atau program ‘ benteng’ di Jaman orde lama justru telah melahirkan ‘ Ali-ali yang keluar masuk kantor dan instansi membawa kop surat dan proposal fiktif untuk mendapatkan projek dan monopoli belaka, lalu menjualnya kepada mitra kerjanya si ‘Baba’ yang jiwa nasionalismenya masih banyak meragukan- kecuali yang berfaham asimilasi seperti Soe Hok Gie dll-. Ledakan partisipasi dan preferensi yang tak terkendali itu menjadi kontra produktif. Kebijakan Sukarno untuk memberi kebebasan kepada kepala daerah atau komandan militer untuk mencari dana sendiri buat keperluannya, nyaris mebuahkan desintegrasi dengan pembrontakan secara sporadis dimana-mana.

Niat tulus rezim orde baru untuk melaksanakan UUD dan Pancasila secara murni dan konsekwen juga mengalami impasse alias jalan buntu. Ideology pembangunan yang diterapkan memang telah membuat perubahan yang berarti, tapi harus dibayar dengan dikekangnya kebebasan dan partisipasi politik masyarakat. Apa yang tampak dipermukaan hanya semu belaka. pemerintah menjadi sangat pragmatis sekali dan sangat tergantung pada gonjang-ganjing politik dan ekonolmi dunia, terutuma oleh fluktuasi harga minyak dunia. Tak ada kemandirian dan kepastian sasaran nasional. Para pemimpin dari kalangan sosialis dan liberal saling bersaing mempengaruhi kebijakan nasional, dan Suharto memamfaatkan keduanya. Kadang sangat sosialistis, kadang sangat bersikap liberal.

Prinsip liberalism di awal munculnya orde baru dengan kebijakan ‘tax holiday’ serta welcome pada semua modal asing, telah membuat Hariman Siregar dan Mahasiswa marah lalu membakar Jakarta dan mobil-mobil Jepang. Mafia Bekeley tak habis-habisnya berseteru dengan Habibie cs untuk mempengaruhi kebijakan negara, yang berakhir dengan jatuhnya Suharto dan munculnya gerakan reformasi serta Camdessus dengan IMFnya yang memangkas semua proteksionisme negara ala Keynesian.

Orde reformasi yang gegap gempita dan penuh harapan, ternyata hanya bagai kembang api di langit malam saja. Pada era ini, partisipasi politik menjadi tak terkendali dibarengi dengan mobilisasi massa yang selalu saling berhadap-hadapan secara beringas. Ketidak puasan dan demonstrasi nyaris terjadi setiap hari. Bentrok antar suku, ras dan agama merebak. Semua prilaku politik menjadi sangat eksesif sekali. Yang liberal menjadi sangat liberal, sampai institusi agama juga diobok-obok. Yang sosiallis menjadi begitu menakutkan seperti komunis dengan kekerasan dan pemaksaan kehendak yang nyata. Yang Islamis kian garang dan radikal, bahkan ada yang kian jumud. Jangan tanya yang nasionalis, ada yang sudah nyaris menjadi chauvinis dan xenophobia dalam bernation state.

Ekstremitas yang muncul di atas, bukan saja disebabkan oleh kian menguatnya cengkraman globalisme yang mengandaikan penguatan pula pada ranah regionalisme dan eksklusivitas, tapi juga karena ekses kian mahal dan sempitnya kesempatan partisipasi politik ekonomi akibat kecendrungan monopoli sumber-sumber tersebut oleh kelompok oligarki. Permainan zero zum game, membuat semua aliran dan ideology saling curiga dan mengkonsolidasi diri. Ketakutan kehilangan lahan dan akses ekonomi politik telah membuat para elite melakukan penyimpangan-penyimpangan lalu menimbun-nimbun harta dengan cara yang instan dan tidak halal. Ketua partai takut kehilangan pengikut, gubernur, bupati dan kepala daerah takut kehilangan jabatan dan jadi keong lagi, pengusaha erzats capitalism takut patronnya jatuh, dan rakyat takut inflasi dan kelaparan, kaum buruh takut di PHK dan hidup melarat, dsb dsb

Jadi revolusi mental bagaimana serta nasionalisme model apa yang bisa dimunculkan dari meluasnya pragmasime masyarakat dan penguasa tersebut. Karakter bangsa apa yang bisa lahir dari pemujaan materialisme, konsumerisme dan hedonisme yang sudah begini akut. Pada masyarakat terlanjur, apa yang bisa dilakukan? Tinggal pilih revolusi ala Lenin atau Khomeini. Atau akan balik menyadari bahwa sorga tidak bisa dibangun dalam satu hari, “ Rome was not build in one day” mulailah dengan hal-hal kecil seperti mendidik anak-anak kita mempunyai karakter terpuji dan mencintai produk sendiri termasuk mencintai permainan tradisional seperti gansing, petak umpet, takadal, gala asin, congklak, ilir-ilir dsb. Bukannya menjadi budak komsumerisme produk-produk asing seperti gadget, game yang aneh-aneh, dan mobil-mobil mewah. Pabrik mental juga sudah tersedia dan melimpah, seperti nilai-nilai agama, budaya dan kearifan lokal, tinggal diaktualisasikan saja, jangan didiamkan apalagi dianggap penghambat dan “ out of date”

Arnold Toynbee mengatakan,” Saya yakin bahwa suatu peradaban adalah perwujudan dari agamanya. Saya amat setuju bahwa agama telah menjadi sumber vitalitas yang telah menyebabkan kehadiran peradaban di dunia dan telah mempertahankam kehadirannya….yang saya maksud dengan agama adalah suatu sikap hidup yang mambuat orang mampu mengatasi kesulitan sebagai manusia, dengan memberikan jawaban yang memberi kepuasan spiritual pada pertanyaan mendasar ( ultimate meaning) tentang teka-teki alam semesta dan peranan manusia di dalamnya, dan memberikan ajaran praktis untuk hidup di alam semesta, setip kali suatu bangsa kehilangan keimanan pada agamanya, peradaban pastih runtuh oleh perpecahan sosial domestik dan serangan militer asing….”




Tidak ada komentar:

Posting Komentar