Kamis, 19 Juni 2014

SPANYOL YANG ANTIKLIMAKS


“ Kehidupan sebagian besar pria ditentukan oleh lingkungannya. Mereka menerima keadaan itu dan beranggapan nasib yang menimpa mereka tidak hanya harus diterima dengan tawakal melainkan juga dengan rasa syukur. Mereka seperti trem-trem yang berlari dengan puasnya di atas rel dan mereka memandang rendah terhadap mobil kecil yang harganya murah dan sudah tidak baru lagi yang keluar masuk lalu lintas jalan raya dan dengan sigapnya menambah kecepatan ke arah luar kota.”

Di atas adalah pembuka cerpen ‘ Sejarah Mayhew’ karangan W. Somerset Maugham yang saya baca tadi malam sebelum berlangsungnya laga penentuan bagi Spanyol di piala dunia. Mayhew dalam cerpen adalah sosok protagonis tunggal yang jalan hidupnya tiba-tiba melengkung kearah yang tak terduga. Tadinya seorang pengacara sukses dengan kepribadian menarik, cerdas, tegas dan pasti seperti metafora kereta yang lurus meluncur di atas rel menuju stasion terakhir. Namun oleh sebuah tawaran manis untuk tinggal di sebuah rumah di atas bukit indah di Capri yang berhadapan dengan Teluk Naples, maka sejak itu hidupnya berubah secara total.

Oleh pesona Gunung Vesuvius yang sering dilihatnya dari rumah barunya di Capri, yang mengingatkannya pada masa kejayaan kaisar Tiberius, Kaisar Roma ke dua, Mayhew lantas terobsesi untuk menjadi seorang sejarawan besar seperti Edward Gibbon yang telah menulis “ The History of the Decline and Fall of Roman Empire” atau sekaliber Theodor Mommsen, sejarawan ahli Romawi yang berpengaruh. Ambisi jiwanya yang kelewat besar, telah mengabaikan kemampuan tubuhnya sendiri untuk senantiasa bekerja tanpa henti; ia memandang tubuhnya sebagai perkakas hina yang harus senantiasa tunduk pada perintah jiwanya. Di ujung cerita ‘Mayhew’ gagal dan mati.

Jika hendak menarasikan nasib kesebelasan Spanyol saat ini, maka akan seperti kehidupan Mayhew yang dilecut ambisi lalu tanpa henti bekerja, sepanjang waktu, akhirnya habis dan mati di tangan kesebelasan Chile 2 nol tanpa balas. Chile hanya beruntung memetik kemenangan atas kesebelasan asuhan Vincente de Bosque yang telah kepayahan, dan mengalami mutasi cel permainan yang tidak lengkap lagi, hingga hanya tersisa permainan tiki-taka tanpa arah. Masih mending kesebelasan Indonesia U – 19 yang punya team work dan daya dobrak serta naluri mencetak goal yang tinggi, yang pada malam sebelumnya mengalahkan keebelasan pra PON Riau 4-0. Pedro dkk, tadi malam sepeti telah ada di puncak jenuh yang kehilangan inspirasi dan orientasi permainan. Rasa percaya diri juga sudah hilang setelah dibantai Belanda 5-1.

Juara bertahan yang tak bisa bertahan lagi itu, juga dibebani oleh nama besar dan reputasi sepakbolanya yang mendunia sampai ke pelosok-pelosok kampung di seluruh jagat , oleh aksi-aksi pemain kelas dunia di Barcelona dan Madrid. Kompetisi ketat sepanjang tahun untuk berebut tempat di LA Liga, menyebabkan para pemain Spain tidak tampak fresh lagi, berbeda dengan kesebelasan Chile, yang tampak bak singa lapar menanti mangsa di piala dunia, tentu saja setelah persiapan dan latihan-latihan yang panjang dan matang. Mereka seperti telah membaca gaya dan taktik Torres cs, mendapat kunci untuk mematikannya, lalu menemukan cara untuk menyerang balik secara cepat dan efektif.

Dua kesebelasan yang diseeded dari semenanjung Iberia telah mati kutu oleh lawan-lawannya dari daratan Eropa dan Amerika Latin. Blitzkrieg ala Hitler dari Jerman yang lugas, cepat dan dingin telah mementahkan permainan indah dan sensual ala Portugal yang dikomandoi pemain termahal dunia Ronaldo dengn skors telak 5-0. Dan semalam permainan penuh ambisi dan penuh beban, indah tapi payah dari Spanyol, telah melakukan bunuh diri, oleh pisau yang disodorkan Vargas dkk. Adios Amigo!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar