Sepertinya sudah menjadi kesepakatan banyak para pemimpin, ilmuwan, intelektual dan budayawan seluruh dunia bahwa agama adalah sumber vitalitas dan kebangkitan sebuah bangsa dan peradaban. Piramida Mesir, Maya dan Astec adalah manifestasi dari etos religius bangsa pembangunnya. Kita tahu bahwa Angkor Waat, Borubudur atau Candi Prambanan adalah wujud agama Buddha yang mewujud dalam ketinggian peradaban Indonesia atau Kamboja . Peradaban dan kebudayaan Islam tak kurang hebatnya dibakar oleh semangat keagamaan yang bersumber dari kitab sucinya,’Al Qur’an’. Etos Qur’ani bukan saja telah melahirkan tokoh penyair dan sastrawan Islam sendiri, seperti Omar Kayam, Syech Sana’I, Fairiduddin Attar atau Jalaluddin Rumi, tapi juga telah beranak pinak melahirkan karya-karya penulis dunia atau Eropa seperti Cervantes , Gothe, bahkan Rosseau. Ketinggian sastra Melayu/Indonesia juga berangkat dari pengaruh Islam lewat racikan awal seorang Hamzah Fansuri.
Lalu apakah sesungguhnya ta'rif agama itu? Saya sejak muda telah mengenal pengertian agama secara tradisional oleh Uztad K.H.M Syafi’I Hadzami. Menyempal dari ta'
rif umum yang berasal dari bahasa melayu dan membatasi agama pada arti “tidak kacau”, beliau mengatakan dengan dasar argumentasi yang kuat bahwa agama itu berasal dari kata Iqomah yang artinya ‘mendirikan’. Jadi agama adalah ‘Iqomatuddin’ atau mendirikan agama. Aqama menjadi Agama dalam dialek Hadratulmaut.
Sedang dalam bahasa arab agama itu adalah Addin, Assyari’ah, atau Almillah yang masing-masing bermakna patuh, sesuatu yang dinyatakan dan mengkitabkan atau mengumpulkan. Jadi Agama adalah sesuatu yang harus dipatuhi, karena telah dinyatakan dan dikumpulkan atau dikitabkan oleh Allah kepada ummatnya.
Untuk menjadi sebuah agama yang dipatuhi dan ditaati, tidak diselewengkan dan diatas namakan saja, maka agama tersebut harus memliki seperangkat nilai-nilai absolute yang bisa mengorientasikan kehidupan ( supreme morality), terutama dalam gerak perubahan yang akan terus berlangsung dalam sejarah manusia. Turbelensi yang pasti mengiringi suatu gerak kedepan atau pembaruan hanya bisa diredam dan direlatifkan oleh sebuah keyakinan yang kuat dan kokoh menghujam dalam hati sanubari. Jika tidak, maka akan terjadi anomi, alienasi, dan kecemasan yang meluas.
Banyaknya orang yang terjebak dalam gerakan ekstrim dan radikal, karena agama telah mengalami reduksi nilai yang berlangsung secara pelan dan tak disadari. Agama tak lagi seperti yang dimaknai Max Weber sebagai “ a total system of meaning to all of life, individual and social.” Relativisme nilai-nilai agama membuat orang seperti limbung dan linglung tanpa pegangan yang kokoh. Agama yang menenangkan dan mendamaikan bak oase di padang pasir sudah lama menghilang di hati banyak penganutnya. Ketika agama kehilangan peran sebagai ‘directive system’ atau ‘ defensive system ‘ seperti yang diteorikan oleh Thomas O’dea, maka ada dua kemungkinan yang akan terjadi pada pemeluk agama, ‘bunuh diri massal atau membunuh orang secara massal’. Yang pertama kerap dilakukan oleh sekte-sekte keagamaan yang bersifat esoteric, dan yang paling ekstrim adalah bunuh diri massal pengikut pendeta Jim Jones di hutan Guyana, Amerika. Sedangkan yang kedua, telah dilakukan mereka yang tergabung dalam gerakan-gerakan Islam keras dan radikal, ISIS, atau Al Qaedah. Pembunuhan massal terhadap kaum Yahudi oleh Hitler, dan pembantaian terhadap para tuan tanah atau kontra revolusi oleh kaum komunis dimana-mana juga punya semangat keagamaan yang rendah dan membabi buta. Dan jangan lupa, agama Yahudi yang telah berubah menjadi gerakan Zionis Internasional, juga gemar melakukan genocide.
Mengatasi semua fenomena penghancuran peradaban oleh sementara penganut agama ekstrim, adalah, mau-mau tidak agama harus dikembalikan pada perannya yang memberi kekuatan etik spiritual dan menjadi referensi utama bagi suatu gerak perubahan masyarakat ( Directive System). Dan kembali menjadikan agama sebagai bastion atau kekuatan residensial ditengah guncangan gerak sejarah yang terus bercresendo secara tajam tanpa kompromi ( Defensive Syistem). Dan agama yang punya kemampuan tersebut secara paripurna seharusnya adalah agama Islam. Karena Islam punya doktrin keluar ‘ rahmatan lil alamin’ dan kedalam , sebagaimana bunyi hadis yang diriwayatkan HR. Buchari, Abu Daud, Annasai,’ Al muslimu man salimal muslimuuna millisaanihi wa yadihi.” ( Orang Islam yang sejati , adalah orang yang selamat orang Islam lainnya, dari gangguan lidahnya dan tangannya).
b
Tidak ada komentar:
Posting Komentar