Sungguh merupakan nikmat dan karunia Allah bahwa ummat Islam diwajibkan berpuasa di bulan Ramadhan dan hari raya Idul Fitri. Kedua moment ibadah dan celebrasi itu terhubung secara sicnifican dan fungsional. Bulan Ramadhan atau bulan puasa adalah bulan ibadah dan tarbiyah, masa pengendalian diri dan pencarian diri yang akan bermuara pada hari kebebasan dan kemenangan di hari lebaran, saat terbebasnya manusia dari gaya gravitasi nafsu duniawi dan materialisme, moment kemenangan atas dominasi dan hegemoni Tuhan-Tuhan palsu yang adalah anak kandung manusia modern sendiri. Dengan secara rutin dan tekun melatih diri untuk mengendalikan diri fisik dan batin, maka ujungnya adalah penemuan diri yang otentik, yakni kembali ke fitrah sebagai manusia suci kembali seperti bayi yang baru lahir dan tabula rasa, belum dikotori oleh limbah dunia dan kehidupan.
Sebelumnya, selama sebelas bulan yang lain, manusia benar-benar berada di ruang hampa atau krisis spiritual akibat ambisi kerja dan achievement. Banyak yang mengalami keterasingan ( alienasi) oleh kian besar dan kompleksnya dimensi benda-benda, alat-alat ciptaanya sendiri yang kemudian berkuasa sekali dan membuat manusia pribadi menjadi ‘ insignifican’ dan ‘powerless’. Kehilangan diri dan terisolasi secara eksistensial ditengah besar dan sifat impersonal organisasi, teknologi dan mesin sosial politik dan ekonomi yang ada. Bayangan perang, konflik multidimensi, bencana alam, kemiskinan, pengangguran, kriminalitas dll, ,membuat manusia rentan dan rapuh. Ketakutan membayangi sepanjang hidupnya, rasa putus asa, cemas dan disorientasi mengikuti setiap nafasnya. Seperti tidak ada jalan keluar. Rangkaian laku dan tindakan over kompensasi dilakukan oleh manusia kesepian, seperti tenggelam di dunia kerja dan mengejar karier, dugem, hiburan remeh temeh, hingga yoga atau meditasianism, justru makin menambah derita batin dan tak memberi dampak yang berarti, “Whistling in the dark doesn’t bring light”
Komersialisme, konsumerisme, hedonisme, suksesisme dan advertising begitu mendominasi dan menggelapkan mata dan hati. Propaganda politik dalam rangka pileg dan pilpres juga cenderung menaikkan tensi darah, perasaan kecil dan tidak penting para voters. Slogan-slogan yang diulang-ulang yang kadang hanya menekankan pada sesuatu yang tak punya relevansi dan prospek, mematikan kepekaan dan jiwa kritis kita. Ajakan-ajakan yang irasional dan lebih mengarah pada idolatry dan devotional begitu memborbardir keseharisan kita selama masa-masa kampanye. Debat-debat politik yang membosankan dan hanya merupakan pelampiasan rasa kesal dan benci belaka hampir meraja dan merata di semua media sosial dan media massa, elektronik ataupun cetak. Pokoknya tak ada pencerahan sama-sekali kecuali hanya menimbulkan rasa kewajiban untuk memilih sebagai warga negara sebuah republik merdeka yang katanya demokratis. Kita seperti digiring kesuatu tempat gelap tapi berisik dan tak tahu apa sebenarnya yang menanti di ujung labirin pendapat dan jargo-jargon yang rata-rata semuanya indah dan menawan.
Manusia membuat gedung setinggi awan, memujanya lalu hilang di antara lantai dan pintu-pintunya. Kota-kota besar terutama Jakarta tak lebih dari sebuah padang pasir tempat kesepian dan kesendirian tumbuh mekar dan menggigit. Kita terjebak dalam keramaian sekaligus mengalami kesunyian dan keterasingan yang dalam. Musik yang terdengar sepanjang waktu dan di segala tempat justru mematikan jiwa artistik kita. Manusia tiba-tiba merasakan dirinya sebagai partikel kecil tak berarti di tengah dimensi kehidupan dan penghidupan yang tak lagi bisa dikontrol dan dikendalikan.
Sebagai negasi atas insignifcansi dan directionless manusia, Nietzshe, menawarkan solusi absurd dengan menganjurkan manusia menjadi ‘ superman’ atau manusia super luarbiasa. Dan ini telah menginisiasi munculnya diktator-diktator seperti Hitler, Mussolini, Lenin, Stalin atau Jendral Franco. Dan yang kemudian menggiring manusia pada perang dan nihilisme. Manusia yang mencoba bebas dari ketakutan dan kecemasannya malah terjatuh ke dalam pelukan para diktator yang tidak becus, para taghut dan new fir’aunisme. Dengan kata lain, manusia yang mencoba lari dari raksasa-raksasa ciptaannya sendiri yang telah jadi berhala kejam tak berhati, malah terjebak dalam cinta buta dan tak berujung pangkal tanpa prospek Ilahiyah
Nah, beruntunglah kita kaum muslimin punya kawah candradimuka bernama bulan puasa yang menggodok dan mengojlok kita untuk menjadi manusia taqwa dan bertauhid. Dengan bertawakal dan berserah diri pada Allah SWT, serta senantiasa berdzikir, bertahlil, bertahmid, bertakbir, serta bersalawatul rasul, apa dan siapa lagi yang bisa mengalahkan kita. Dengan Sahadat kita yang merupakan negasi sekaligus affirmasi akan keberadaan Allah Yang Maha Esa, Dia semata sebagai ilah, maka kita akan terbebas dari segala berhala-berhala dunia atau ilah-ilah lain dan hawa nafsu sendiri.
“ Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya, sebelum datang azab kepadamu, kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi). Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya.” ( QS 39:54-55).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar