Siapakah manusia itu? Pertanyaan yang bernada eksistensial ini seperti sudah menjadi naluri anak manusia yang menyata dari jaman ke jaman. Ada yang berkata bahwa manusia hanyalah wujud yang terdiri dari anasir-anasir yang saling berhubungan secara positif atau pun negatif, saling menguatkan atau saling beroposisi. Dalam hal ini manusia hanya dipandang sebagai tubuh tak berjiwa. Hanya makhluk biologis serupa hewan dan tanaman. Responnya terhadap lingkungan dan dari dalam dirinya adalah reaksi alamiah terhadap semua stimulan yang muncul. Di sini dapat dikatakan manusia tidak ada apa-apanya. Tafsir manusia begini bisa datang dari penganut faham evolusionis, materialism, atau naturalis.
Menurut Darwin, penggagas teori evolusi, manusia tak lebih dari hasil tertinggi dari suatu mata rantai evolusi atau perkembangan yang serba teratur mengikuti hukum-hukum mekanik. Seperti hewan atau tumbuhan, hidup manusia ditentukan oleh hukum ‘ struggle for life’. Akan terjadi yang kuatlah yang akan menang dalam ‘ survival of the fittest. Dalam proses homo homini lupus di mana manusia satu menjadi srigala bagi yang lain, manusia akan sampai pada kesempurnaan wujudnya. Sedangkan Julien Offray De Lamettrie, seorang materialis sejati, mengatakan bahwa manusia tak lebih dari binatang tak berjiwa, materi belaka bak sebuah mesin ( L’homme machine, L’art de jouir, histoir naturelle de l’ame ).
Sedangkan Karl Marx, Hegel, Feuerbach, dan Engel, disamping sebagai penganut-penganut materialis atau naturalis, mereka adalah teoritikus yang menenggelamkan manusia individu dalam lautan massa sosial atau masyarakat. Seorang manusia hanya berarti dalam hubungannya dengan masyarakat. Sedangkan masyarakat akan berkembang berdasarkan pada hulum-hukum atau kekuatan materi ( historis materialism ) Khusus bagi Hegel, negara adalah yang menjadi subjek utama serta menjadi pusat segala orientasi.
Tentu saja tafsir alami dan materialism di atas menyalahi makna sebutan manusia sendiri yang terdiri dari kata Mano dan Usa. Mano artinya batin, Usa artinya luhur, jadi manusia adalah makhluk yang luhur, terdiri dari potensi rohani dan jasmani, yang tidak sama dengan makhluk Tuhan lainnya. Tentu saja keluhuran manusia tidak datang secara taken for granted. Dalam tinjauan Islam, ia mesti istiqomah beribadah dan beramal saleh, mengalami proses bermusyahadah, riyadhah dan melakukan suluk yang lama dan intesif untuk tiba pada kategori ‘ insan kamil ‘ yang mempunyai kwalitas-kwalitas jiwa terpuji. Kita bisa memasukkan banyak sekali sifat jiwa yang disebut terpuji itu. Mulai dari yang jamal, jalal sampai kwalitas kamal. Hanya Islam yang menggagas keberadaan manusia sebagai “ Homo Whorshiper” , Allah berfirman dalam Azzariat 56, “ Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku “
Namun dalam puncak pencapaian kepribadiannya yang bertema Iman, Islam dan Ihsan, atau “ Ahsanu taqwim”, manusia bisa jatuh sejatuh-jatuhnya menjadi seburuk-buruk ciptaan ( Asfala safilin), dari Abdullah menjadi abdul hawa ( budak nafsu). Hal ini bisa terjadi karena manusia telah karam dalam jebakan kehidupan dunia yang materialistik dan hedonistik. Di sini manusia mengenyampingkan aspek rohahiahnya, lepas dari priskripsi-preskripsi moral yang merupakan kesadaran yang bersifat ekstensialis untuk menjadi makhluk yang suci.
Dalam persfektif Martin Heideger, seorang penganut filsafat Eksistensialis yang atheis, manusia yang jatuh menjadi sekedar basyar itu mengalami “ situasi terlempar “ ( Geworfenheid ). Hal ini terjadi karena modus keberadaan manusia yang merupakan konsekwensi kebebasannya yang mutlak menjadi salah (Schuld ). Dalam hal ini manusia bereksistensi dengan tidak otentik, ia tenggelam dalam pandangan orang lain yang mencegah dirinya untuk menjadi pribadi yang utuh dan genuine. Ia kehilangan dirinya di dalam dunia yang tak dimengertinya. Tiba-tiba saja ia mengalami kecemasan ( angst ) atau terasing (alienasi ), dan ingin keluar dri situasinya. Dalam kejatuhannya ( Verfallenheit ), manusia menjadi takut pada kematian, sesuatu yang tak bisa dikalahkan dan menjadi batas dari eksistensinya. Untuk melupakannya, manusia kemudian melakukan konpensasi, dengan bekerja keras atau menyibukkan diri.
Bagi Heidegger, jalan menuju kehidupan yang sejati, keputusan yang pasti, pengetahuan yang benar dan kepada eksistensi yang sebenarnya terletak dalam suatu kepastian yang temporal, dalam menanggung kepastian yang terakhir yaitu kematian. Memasukkan kematian dalam eksistensi bukan berarti hanya mau tahu bahwa manusia akan mati,melainkan mendahului kematian. Manusia harus menyadari akan kehinaanya tanpa ilusi atau khayalan sehingga manusia akan terlindung dari hal-hal yang semu. Dengan ketekunan (Entschlossenheit) manusia akan lepas dari eksistensi yang tidak sebenarnya. Jadi dengan ketekunan mengikuti kata hatinya itulah cara bereksistensi yang sebenarnya dan guna mencapai eksistensi yang sebenarnya. Di dalam ketekunan ini seluruh eksistensi akan jelas sehingga orang akan mendapat pengertian dan pemikiran yang benar tentang manusia dan dunia. Dari dalam kata hati itu akan muncul kegembiraan.
Namun bagi Soren Kierkegard, seorang eksistensialis yang beragama, cara untuk melepaskan dari segala tekanan pendapat umum atau tingkah laku umum, adalah dengan memunculkan manusia sebagai subjek yang individual dalam hubungannya dengan yang kongkrit, yaitu dengan yang sungguh ada. Dengan kata lain, manusia harus terjun ke alam kemutlakan. Di sini minatnya tidak lagi pada diri sendiri ( ego ), melainkan kepada Tuhan. Demikianlah manusia dalam stadium religious, ia ada dalam waktu, tetapi terhubung juga dengan keabadian. Dengan imannya manusia mengalami transformasi yang pada gilirannya akan mengetahui eksistensinya yang sejati.
Konsep ‘Schuld’ dari Martin Heidegger di atas, mirip dengan konsep ‘ Avidya’ dalam ajaran Brahmanisme atau Zen Buddhism. Bahwa manusia mengalami avidya atau hidup dalam kekeliruan karena ia mau terkurung dalam dunia yang maya. Avidya juga berarti terperangkap dalam pikiran-pikiran atau pengetahuan yang menyesatkan dan telah menimbulkan keakuannya. Ini disebut ‘ Ahangkara, yakni ketika manusia tertarik pada hal yang bukan-bukan atau hal sebenarnya bukan ‘hal’. Tiap-tiap tingkah laku yang berdasarkan ahangkara ini keliru, karena dasarnya keliru. Tingkah laku yang keliru ini mempunyai akibat yang disebut ‘ karma’. Karma inilah yang menghalang-halangi kesatuan manusia dengan Brahma.
Jika dalam satu kehidupan manusia belum terbebas dari karma, maka manusia mesti terlahir kembali. Dengan demikian akan ada yang disebut rentetan kehidupan atau rentetan kelahiran atau samsara.jika suatu rentetan kehidupan sudah terputus, karena karma sudah lenyap, habis jugalah samsara dan bebaslah manusia dari segala ikatan dunia ; kebebasan ini disebut Moksha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar