KHOTBAH DI ATAS BUKIT
Negara dan bangsa ini sepertinya “ Tak Putus Dirundung Malang”, sehingga tak pernah mampu membuat Layar Terkembang untuk berlayar menjauh dan menjudahi Arus kehidupannya yang seperti hidup Perawan di Sarang Penyamun. Selama ini kita tlah Salah Asuhan, atau mungkin telah jadi Atheis dalam arti tak percaya pada Sunnatullah kendati mengaku Pencari Tuhan. Sebelum kita mengalami keadaan seperti Tenggelamnya Kapal Van der Wijk, atau berada pada Jalan Tak Ada Ujung, mari kita dengar Kotbah di Atas Bukit di bawah ini.
Saudaraku-saudaraku, betapa malunya kita mendengar kasus seorang professor yang Purek di sebuah perguruan tinggi negri ternama dan terbesar di Indonesia timur. Dengan mengkonsumsi barang terlarang dan berbuat tak nonoh, beliau sungguh telah mencemarkan nama baik almamaternya, daerah dan institusi guru yang konon telah diberi gelar mulia “ Palawan tanpa tanda jasa”. Kalau seorang pendidik besar saja bisa terjerat narkoba, bagaimana dengan mahasiswa, masyarakat umum atau awam, remaja bahkan anak-anak SD. Ini darurat, ya, sungguh darurat, BNN mesti cepat bermetamorfosis menjadi seperti lembaga sekuat dan sebergengsi KPK. Paling tidak bernama “ Komisi Pemberantasan Narkoba” dan para komisionernya direkrut lewat proses Fit & Profit Test oleh anggota dewan yang katanya terhormat, kendati masih banyak yang doyan komisi dan uang semir.
Di tengah berita suram itu, ada yang memberi sedikit hope, yakni diangkatnya Faisal Basri untuk menjadi mandor lembaga pengelola minyak yang baru. Beliau yang terkenal bersih itu mesti mereformasi banyak hal. Disamping merubah mental birokratisme, juga mesti melikwidasi BP Migas dan konconya, badan SKK Migas. Urusan migas atau pertambangan mesti dikelola oleh sebuah Perusahaan Negara yang dibentuk berdasar Undang-undang dan menjadi pelaku utama dalam ekspor dan impor migas atau bahan energy lainnya. Tidak boleh lagi membeli dan menjual minyak ke luar negri lewat pihak ketiga yang diatur oleh para mafia migas. Aturan lama harus dirombak yang mengisaratkan keterlibatan pihak ketiga, insititusi maupun Negara. Masa untuk menjual minyak saja harus ditenderkan kepada para pedagang minyak, seperti Petral. Atau untuk mengimpor harus lewat Singapore. Mekanisme dan cara akal-akalan ini telah membuat produksi minyak bangsa ini menjadi stagnan dan hanya jadi ajang bancakan para rent sekkers, penguasa dan pengusaha.
Insentif dan opportunity harus diberikan secara luas, misalnya dengan mempermudah perizinan untuk eksplorasi minyak. Kita masih butuh uang dan tehnologi para investor, asing maupun dalam negri Mereka berpengalaman dalam urusan migas dan tambang. Hanya saja nantinya urusan penjualan dan pembelian bukan domain mereka. Negaralah yang harus berperan dalam hal ini. Bayangkan saja dengan mengimpior minyak langsung dari Angola sebesar 100 ribu barrel, kita telah menghemat 11 triliun. Kalau hal ini bisa terjadi secara permanen maka rasanya kita tidak perlu meanaikkan harga jual BBM untuk mengurangi subsisdi minyak pada rakyat yang memicu inflasi dan demo brutal dimana-mana. Pola inilah yang dilakukan oelh semua Negara-negara OPEC yang jumlahnya 70 an termasuk Malaysia dengan Petronasnya yang sungguh sangat digdaya. Pertamina kini kalah dan ketinggalan kauh dari petronas padahal mereka dulu belajar tentang minyak di sini. Dan sebagai langkah awal bagi datangnya secercah sinar, UU Migas No. 22 Tahun 2001 harus dirubah atau diamandemen, karena di dalamnya ada klausul yang memberi kewenangan para mafia migas atau pihak ketiga untuk bermain.
Musim penghujan telah tiba, tapi khusus di wilayah Jabotabek, masih akan mengalami banjir yang besar dan memaksa warga untuk mengungsi ke tenda-tenda penampungan atau rumah, sekolah, bahkan tempat ibadah yang tanahnya lebih tinggi. Pasalnya, sodetan Sungai Ciliwung belum rampung. Konon baru akan operasional pada akhir tahun 2015. Semua akibat ulah warga yang banyak tak mau mengoper tanahnya, sehingga sebagain sodetan ke banjir kanal timur dibuat di bawah tanah ( deep Tunnel). Sodetan dari Ciliwung ke Cisadane juga percuma jika muara di Tanjung Burung tidak dikeruk dan mengalami pendangkalan serta penyempitan akibat ulah warga yang ngga perduli lingkungan. Pada akhirnya juga masalah banjir bukan saja terbentur pada masalah tekhnologi, tapi sangat ditentukan oleh prilaku warga yang rata-rata belum pro lingkungan. Jika tak ada perda yang tegas untuk tidak membuang sampah sembarangan pada got, kali dan Sungai, maka rekayasa teknologi apapun yang diterapkan tidak akan banyak gunanya. Keadaan menjadi serba runyam dengan ulah para pengembang perumahan yang mesuplai air bagi para tenantnya lewat cara memompa air dari air tanah dan bebatuan paling dalam, bukan air permukaan. Akibatnya, tanah di Jabotabek kian menurun dan menjadi jauh lebih rendah dari permukaan laut. Akibanya banjir rob akan semakin menggila nantinya. Projek Giant Sea Wall yang konon berbiaya sangat buesarrr itu, bukanlah solusi tepat. Karena dalam jangka panjang akan merusak ekosistem laut dan daratan, dus merusak kelestarian lingkungan alam. Semua kota-kota besar di dunia mengalami problem ketersediaan air bersih, dan Tokyo adalah yang tercerdas mengatasi permasalahan akut itu. Tak memompa air terlalu dalam atau membuat projek seperti GSW untuk menampung dan membuat air tawar, tapi Tokyo mendatangkan air dari Chiba yang jauh dari metroplolitan Tokyo, dan warganya tidak ada yang kehausan atau sampai mandi pake air aqua seperti yang saya saksikan di Pontianak beberapa tahun lalu.
Tentang hubungan dan pengaruh timbal balik antara kota dan penghuninya, mantan wakil presiden Amerika Serikat, Hubert H. Humphrey pernah mengatakan : “ I have been deeply concerned about the quality of life in our nations, in our cities and of course, in rural Amerika. I have often wondered whether the obsolescence and the deterioration of our cities reflect what has happened to people in our culture or whether the deterioration of our cities has resulted in the deterioration dan deprivation of the human spirit. It is my personal view that we must not only help to rehabilitate the phisycal strucrure of this world in which we live but also help to rehabilitate those who are denied, who had become despairing, deprived, and who have been regrettably the victims of iadequacy of environment and opportunity.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar