Jika kita menyaksikan dan mendengar diskusi politik terkait isu teranyar ‘ DPR tandingan’ yang melibatkan dua pihak KIH dan KMP, koalisi hebat melawan koalisi merah-putih, saya jamin perut akan terasa mules, otak menjadi bingung, dan gigi gemeretak saking gemas!. Mengapa??? Ya karena siapapun tidak akn menyangka anggota dewan yang belum lama dilantik akan berprilaku pragmatis begitu. Demi mengejar kepentingan kelompok dan eksistensi pribadi, mereka rela dan tega membelah Senayan jadi dua, yang mestinya menjadi simbol persatuan dan kedaulatan rakyat. Dipicu oleh split di tubuh PPP, dan rasa kesal pada aturan dan tata tertib DPR yang meminggirkan, mereka mampu melakukan akrobat sekaligus gempa politik yang berpotensi melahirkan gelombang tsunami politik yang pasti akan memprak porandakan cita-cita dan kebaikan bersama. Paling tidak dalam waktu dekat membuat mekanisme pemerintahan tidak berjalan efektif alias terganggu metebolismenya. Kedua belah pihak yang diwakili protagonisnya juga sangat piawai menyembunyikan realitas kontra indikasi argumentasi mereka masing-masing. Mereka jadi bersifat a historis, sok benar dan merasa berhak sendiri ( entitlement ). Makanya ketika dua pihak yang berseteru dikecam rakyat yang merasa telah kehilangan wakil dan juru bicara atau figure panutannya, ya saya hanya bisa mengatakan “ They deserve it!:”
Mengapa juga PDIP sebagai yang dominan dalam KIH sekarang ngotot mempersoalkan UU MD 3 yang bersemangat demokratis dan telah memberi peluang KMP menyapu bersih semua unsur pimpinan di DPR, lalu melakukan mosi tak percaya dan beriniiatif membuat ketua DPR tandingan, padahal di tahun 2007 sampai 2009 mereka yang begitu keras menentang MD 3 lama alias Susduk yang bersemangat otomatisme. Lantas apakah mosi-mosian itu ada legalitasnya atau just self justification? Entahlah.
Sementara KMP tanpa tedeng aling-aling telah berprilaku seperti kartel yang maunya membabat semua pesaingnya dalam usaha dan menjadikan mereka hanya seperti pekerja ‘Outsourching’ meminjam istilah Effendi Simbolon, politisi PDIP, wakil ketua DPR tandingan yang menggantikan Pramono Anung yang konon gerah dengan manuver KIH…….KMP ibarat Mike Tyson yang mengajak boxer Crist Jhon, bukannya melatih dan mengayominya. Tentu saja dalam pertandingan kalah kelas atau jumlah, KIH kalah. Anehnya pihak KIH mau saja diajak tarung, nantilah setelah kalah total mereka baru berceloteh“ terang aja ellu pade menang, abis curang, pake atuan yang ngga bener!”
Sampai di sini saya tak sanggup bicara lagi, menulis tentang DPR tandingan hanya bikin sesak dan hati pilu. Mending saya kutip saja pandangan Bertrand Russell tentang ‘Power’ : “ Shall we worship Force, or should we worship Goodness? If Power is bad, as it seems to be. Let us reject it from our hearts. In that lies Man’s true freedom; . . . In action, in desire. We submit perpetually to the tyranny of outside forces; but in thought, in inspiration, we are free, free from our fellow men, free fro this petty planet on which our bodies impotently crawl, free even, while we live, from the tyranny of death . . . To defy with Promethean constancy a hostile universe, to keep its evil always in view, always actively hated, . . . appears to be the duty of all who will not bow before the inevitable. But indignation is still a bondage, for it compels our thought to be occupied with an evil world; and in the fierceness of desire from which rebellion springs there is a kind of self-asertion which is necessary for the wise to over come…”
V.J. McGill dalam artikelnya “ Russell Political and Economic Philosophy “ menjelaskan,” Nyatalah bahwa Russell begitu meyakini bahwa sifat haus kekuasaan adalah bahaya utama bagi kemanusiaan dan sifat possesif itu buruk karena menyebabkan eksploitasi manusia atas manusia, “ ( Evidently he has become convinced that the thirst for Power is the primary danger to mankind, that possessiveness is evil mainly because it promotes the power of man over man)
Tapi perilaku politik predatoris yang terkesan ada pada kedua kubu, KIH dan KMP dinetralisir atau dmoderasi oleh pernyataan Jacques Rancire berikut , “ Dalam upaya masuk ke dalam pertukaran politik, kita perlu menciptakan adegan yang mengucapkan kata-kata yang dapat terdengar, yang objek-objeknya menjadi mungkin terlihat, dan dapat mengakui individu. Dalam hal inilah kita dapat berbicara tentang puisinya politik. “
Seperti puisi yang bisa membongkar urutan dan fungsi kata-kata yang sudah ditentukan secara gramatikal, politik adalah moment kreatif yang memikirkan kembali tatanan social dari batas-batas yang biasanya ada. Bagi Ranciere, politik adalah kegiatan yang menyalakan kesetaraan sebagai prinsip. “ Jujur saja, demokrasi adalah lembaga politik simbolik dalam bentuk power orang yang tidak berhak melaksanakan kekuasaan – sebuah keretakan dalam orde legitimasi dan dominasi. Demokrasi adalah power paradox bagi mereka yang tidak dihitung”
Secara umum dapat dikatakan bahwa di Senayan, politik dalam ruang kedap suara berupa komunikasi dan lobby-lobby tidak jalan, sehingga memunculkan dramaturgi adegan kekerasan simbolis berupa kata-kata tak nonoh, serta pisikal dengan merusak benda dan alat-alat serta oleh para wakil rakyat. Dalam hal ini politik telah menjadikan ‘Power’ sebagai tujuan, dan violence menjadi instrument untuk mencapai tujua itu. Sungguh tak terbayangkan sebelumnya, bahwa akumulasi rasa kecewa pada sifat greedy politik akan memunculkan “ DPR tandingan”. Benarlah apa yang pernah dikatakan Hannah Arendt bahwa Upaya untuk mengendalikan atau mempredikasi selalu dikalahkan oleh sifat alami tindakan politik, “ Tidak ada yang lebih sering terjadi daripada yang benar-benar tak terduga.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar